
Jonatan A. Lassa *
Dalam perjalanan darat Singapura-Kuala Lumpur dalam menjemput anak-anak dan istri menjelang Natal tahun 2015, bus trans Singapura-Malaysia AeroBus saya relatif kosong. Duduk agak jauh di samping saya seorang perempuan berwajah Asia.
Karena menempuh delapan jam perjalanan, saya berinisiatif memulai percakapan. “Apakah anda orang Singapura?”, dijawabnya “bukan”. “Dari Malaysia?”, dijawabnya “Bukan”. Lalu saya mencoba bertanya: Indonesia? Filipina? Vietnam? Dari Indocina? Jepang? China? Di jawabnya juga bukan dan sambil tertawa dia bilang “Ayo tebak lagi”. Melihat wajah saya bingung, dia bilang “Thinking out of the box” (Berpikir di luar kotak). Saya senyum dan menganalisis dialek Bahasa Inggrisnya, terasa seperti orang yang lama tinggal di Amerika Serikat. Bukan soal muda karena tidak sedikit anak-anak Singapura memiliki accent Amerika. Lalu saya berkata “Amerika Serikat?”. Dia tersenyum dan bilang tepat. Ditanya “How do you guess?” (Bagaimana anda menebak). Saya bilang, Bahasa Inggrismu terasa American. Mungkin itu hanya hiburan karena salah menebak sebanyak hampir 10 kali. Tidak sial!
Identitas Asia
Setelah memutuskan kembali bekerja di salah satu universitas di Singapura sejak awal 2014, saya bertugas untuk mengkaji bukan hanya soal Asia Tenggara tetapi juga Asia Timur (khususnya China dan Jepang) serta Asia Selatan (khususnya India). Bidang kajian saya adalah soal dampak iklim dan bencana atas pangan serta kebijakan iklim dan pangan di negara-negara tersebut.
Karena bekerja sebagai akademisi/peneliti, sering kami mengunjungi berbagai konferensi di berbagai negara. Salah satunya adalah konferensi Tahun 2014 yang saya datangi adalah di Kathmandu, Nepal. Pengalaman selama di Pesawat hingga taxi dalam perjalanan ke hotel, saya sering disapa dalam bahasa lokal. Menyelusuri pemukiman-pemukiman kota Kathmandu, saya sering dianggap sebagai orang lokal. Dua teman dekat saya yang berasal dari Nepal sering berkata “Kamu sangat Nepal” Wajahmu sangat Nepal”.
Sejak bekerja di Singapura di tahun 2011/2012 hingga kini saya sering dikira sebagai Malay (Malaysia) ataupun Filipina. Di warung dan kantin Malayu, saya sering dikira Malay ataupun Indonesia. Sebagian kecil mengira saya Singapura keturunan Malay. Sedangkan satu-dua orang tua di Singapura mengira saya Malay peranakan.
Mengelilingi negara-negara di ASEAN menjadi tugas rutin. Secara ras, saya merasa begitu nyaman di Manila. Bagaimana tidak, hampir 90% orang Manila yang saya temui mengira saya orang Filipina. Yang terburuk mungkin saya dikira Pinoi (orang Filipina) yang sombong karena tidak bisa berbahasa Tagalok.
Kembali untuk sekian kalinya ke Thailand, saya sering di kira sebagai orang lokal di Bangkok. Hampir 6-7 hotel yang pernah saya tinggali, receptionist sering berbahasa Thai sebelum berbahasa Inggris bila wajah saya menunjukan kebingungan.
Hal yang sama terjadi di Vietnam. Mengunjungi Hanoi dan Ho Chi Minh City dan dianggap sebagai orang lokal. Sering dikira sebagai orang Vietnam ataupun Filipina. Kembali ke Timor Barat di Atambua tahun 2000 manakala tiga petugas UNHCR menjadi korban amuk masa pengungsi, saya di ingatkan teman-teman bahwa saya bisa menjadi target sweeping karena berwajah indo Asia Tenggara (Vietnam Filipina).
Identitas Asia Tenggara
Ketika tinggal di Kupang selama beberapa waktu, saya mendapati bahwa sering kali saya dikira sebagai orang luar. Sering dengan anak-anak kami berbahasa Inggris dan karena anak-anak saya berdarah Timor, Rote, Sabu dan China, perawakan mereka sering dikira ‘orang Barat”.
Bagi yang kenal secara pribadi, saya dikenal sebagai orang SoE, orang Mollo, orang Timor, peranakan Timor-China, atau Timor China. Sedangkan sebagian orang Kupang memanggil saya Mas (Orang Jawa); Sebagaian kecil beranggapan saya orang barat. Ada yang mengira dari Manado. Di Aceh, tidak sedikit yang menggangap saya orang Padang atau Menado, tergantung gaya guntingan rambut.
Di bulan September 2015, saya mengikuti sebuah konferensi perubahan iklim dan pertanian di salah satu universitas di Hanoi (Vietnam). Yang menarik adalah seorang kenalan baru dari UGM, dengan tepat menebak saya sebagai orang Indonesia. Woow. Saya girang luar biasa. Bagaimana mungkin Profesor ini bisa dengan jitu menebak saya sebagai Indonesia? Saya lalu ingat seorang Prof dari Universitas Terkemuka di Kupang yang pertama kali bertemu manakala kami hendak berbicara soal potensi penelitian untuk kebijakan publik di NTT, saya ditanya apakah saya “beli Fam”? Saat itu saya terkejut bagaimana “si Pendatang” di Timor yang mungkin baru 1-2 generasi tinggal di Kupang dan berasal dari pulau dekat Pukuafu ini mempertanyakan Ke-Timor-an saya dari nenek moyang saya yang sudah 14 generasi di Mollo, yang menduduki tepat di kaki gunung Mollo?
Yang menarik dari mengunjungi berbagai tempat di ASEAN. Menyusuri kawasan padat dan hiruk pikuk di Hanoi, saya sering berpikir sepertinya saya pernah berada di Hanoi pada suatu masa yang lalu. Jejeran jualan Kujawas (jambu hutan), anonak (srikaya) dan pucuk labu pumpkin dan labu Jepang (labu siam) membuat saya mengingat kebun dan dapur ibu saya 20-30 tahun yang lalu di SoE.
Yang paling berkesan secara pribadi adalah sebuah impian kalau harus terlahir kembali setelah reinkarnasi (seandainya), maka saya memilih kota yang buah-buahannya mirip dengan SoE. Dan itu adalah Hanoi.
Diversitas Pangkal Kemajuan Bangsa
Menariknya, semua kemiripan maupun perbedaan dalam studi-studi dan teori kompleksitas terkini menunjukan bahwa keragaman (diversity) dan kompleksitas adalah dasar dalam membangun masyarakat manusia yang lebih tahan banting pada berbagai ancaman. Di dunia universitas di Amerika, Europe maupun Singapura, dipahami dengan jelas bahwa keragaman menjadi pangkalan kekuatan dalam memproduksi pengetahuan-pengetahuan baru.
Kita begitu mirip, sekaligus begitu sama, sekaligus berbeda. Dengan mudah saya merasa Asia Tenggara bahkan Nepal sebagai rumah (home). Kalau suatu hari harus kembali ke Nepal untuk mengunjungi Himalaya, maka salah satu yang saya akan lakukan adalah melihat ke langit menembus awan dan atmosfer. Di balik awan dan atmosfer, kita hidup dalam galaxy yang indah dan menawan sekaligus menjadi bagian dari alam semesta yang kompleks, misterius dan sepi.
Di ‘atas sana’ di ruang semesta yang begitu luas, galaxy tata surya kita bukan satu-satunya. Ada begitu banyak sistim tata surya dan galaxy indah lain namun sepi. Yang menjadi menarik adalah bahwa Planet kita adalah satu-satunya yang sejauh ini kita ketahui berpenghuni makluk hidup. Ditemukannya beberapa planet yang berpotensi memiliki air diluar galaxy kita memberikan harapan baru bahwa selain kemungkinan ada kehidupan lain selain di Bumi, kita juga mencari tempat lain di mana manusia bisa menjadikannya tempat alternatif di masa depan.
Walau demikian, bumi dan kita sebagai spesies manusia dan kehidupan itu sendiri seharusnya dirayakan setiap hari. Sayangnya, hal ini tidak selalu mungkin. Sebagian besar kita masih bergumul dengan hal-hal dasar untuk survival (bertahan hidup). Sebagian lagi terjebak dalam cengkraman sesama manusia dan menjadi korban perbudakan yang tidak mampu melihat indahnya kehidupan. Sebagian lagi tidak pernah merasa cukup atas apa yang dipunyai.
Yang jelas, kita mungkin benar-benar memiliki kemiripan fisik dan budaya yang relatif sama tetapi sekaligus sangat ragam. Kita mungkin begitu berbeda yang terkonstruksi secara sejarah, fisik lingkungan, budaya, ekonomi dan politik.
Memikirkan tentang indahnya semesta dan betapa ragamnya manusia, saya sering bingung – kebingungan yang eksistensial tentang mengapa kita begitu sibuk membeda-bedakan suku dan agama.
Bila Pemilu 2014 dan Pilkada Jakarta 2017 membuat kita begitu kaget dengan perbedaan, rasanya begitu pilu. Sebagaian kita begitu mudahnya tersulut emosi sempit untuk menghilangkan sesama, menghisap sesama kita hanya karena perbedaan kulit dan keyakinan sebagaimana kita saksian sepanjang tahun 2014 maupun 2017?
Di ASEAN dan Eropa, ada peningkatan mobilitas orang melewati batas-batas negara. Proses-proses pelintasan ini tidak bebas dari jebakan-jebakan klasik seperti perdagangan orang dan berbagai kekalahan dalam kompetisi. Pertanyaannya bukan soal kita siap dalam logika kompetisi ekonomi global kapitalistik yang secara faktual sudah dijalani dalam beberapa tahun terakhir. Pertanyaan yang penting di jawab adalah bagaimana kita sebagai bangsa melihat perbedaan sebagai kekuatan untuk bergerak bersama? Apakah solidaritas sebangsa setanah air mampu ada dan menembus batas-batas tembok-tembok kepercayaan, sosial dan ekonomi?
Salam!
*Draft awal dipublikasikan oleh Satutimor.com edisi Akhir Desember 2015.
Oh begitu rupanya, terima kasih infonya
saya ingin menanyakan kutipan ini “Walau demikian, bumi dan kita sebagai spesies manusia dan kehidupan itu sendiri seharusnya dirayakan setiap hari.” , maksudnya dirayakan bagaimana?