Pendeta Evans dan Temuan Bintang Mati

18423863_10155318239671617_2171209398230821662_n

Oleh: DrJonatan Lassa*

Pernah anda bermimpi menjadi ilmuan dan penemu teori alam semesta? Atau pernah anda bermimpi menjadi ilmuan besar namun berakhir menjadi ‘pendeta biasa’ (atau ‘guru biasa’) di daerah pelosok sekitar pegunungan Mutis di Timor ataupun di puncak Wanggameti di Sumba?

Apakah itu berarti akhir dari mimpi anda mengakhiri pergulatan ilmu pengetahuan?

Tidak bagi Robert Evans. Pendeta Evans menjawab melalui penemuan-penemuan penting di sela-sela kesibukannya sebagai gembala. Ia seolah berpacu di dalam waktu mendahului para ilmuan di Eropa dan Amerika Utara. Robert Evans dikenal sebagai pendeta di waktu siang dan atronom di waktu malam. Ia adalah contoh nyata bahwa menjadi pendeta di selatan bumi (80km dari Sydney Australia) yang jauh dari sumber-sumber utama pengetahuan antariksa di Utara tidak harus berarti akhir dari menjadi penemu. Amatiran atau professional, itu bukan soal.

Bagi jutaan pendeta lain dan manusia lainnya, melihat ke arah bintang kerlap-kerlip mungkin saja berarti melihat keindahan alam semesta. Atau anda bisa saja girang sambil menyayikan lagi How Great Thou Art, sebuah pujian kepada keaggungan pencipta yang sangat lekat dengan masa kecil anak-anak di Timor? Lain bagi Evans, berbekal teleskop amatiran 16 inch, dia mempelajari pola bintang-bintang di langit dan menemukan masa lalu, menemukan bintang-bintang mati dan sejarah alam semesta. Sebagaimana manusia, bintangpun hidup lalu mati. Ia mengejar supernova, fenomena bintang raksasa berukuran lebih besar dari matahari dalam tata surya kita yang tiba-tiba runtuh dan terjadi ledakan yang melepaskan energy berlipat ultra besar dibanding matahari.

Evans menemukan lebih dari 30 Supernova di awal tahun 2000 secara visual dengan teleskop sederhana. Sepuluh temuan Supernova sejak tahun 1981, Evans hanya menggunakan teleskop 10 inch (25cm). Tahun 2005 menandai 50 tahun konsistensi hobi memburu Supernova, dengan demikian Rober Evans membukukan lebih dari 40an penemuan dan itu setara 11,000-12,000 jam belajar.

Orang bertanya mengapa Evans begitu bertalenta? Saya mencatat, Evans melatih diri dengan sedikitnya 8000 jam belajar astronomi sebelum pertemuan pertama tahun 1981 (asumsi 110 hari pengamatan pertahun dengan 2-3 jam pengamatan). Yang jarang dicatat dalam berbagai buku termasuk oleh Bill Bryson, penulis tersohor terkait ilmuan, adalah bahwa ketekunan mencari dan mempelajari astronomi dilakukan Evans kurang lebih 25 tahun sebelum penemuan pertama.

Evans memberikan petunjuk yang menguatkan hukum sukses 10 ribu jam. Bila anak anda mau menekuni matematika hingga 10,000 jam, maka ketika mencapai titik itu, kemungkinan besar ia menjadi ahli atau professor matematika level dunia. Bila hanya 5000 jam belajar, itu mungkin berakhir menjadi tutor matematika di universitas kecil yang jarang didengar. Bila hanya 2500 jam belajar, besar kemungkinan anak anda hanya menjadi guru les matematika di Kota Kupang.

Kutipannya yang paling saya sukai adalah “ketiadaan bukti adalah sebuah bukti,” hasil refleksinya dari upaya mengejar supernova yang seringkali berakhir pada tidak menemukan apa-apa namun memberikan waktu bagi peneliti bintang memahami perilaku semesta angkasa.

Orang bertanya, mengapa tidak ada orang NTT menjadi ilmuan tingkat dunia? Jawabannya bukan pada tidak ada orang pintar, tetapi pada fakta bagaimana kaum orang tua kelas menengah NTT mau menerapkan hukum 10000 jam tanpa membuat anak-anak kehilangan kebebasan dan haknya sebagai anak. Tentang hukum 10 ribu jam, mungkin perlu di kritisi tetapi secara pribadi kami menggunakannya untuk anak-anak kami. Sewaktu di Kupang, buku-buku sangat terbatas terutama cerita-cerita berbahasa inggris. Kami berlangganan buku digital bernama Meegenius seharga Rp. 60 ribu per bulan. Lewat program ini anak-anak bisa membaca 2-3 buku ringkas @40-60 halaman sebelum tidur. Kini kami membiasakan mereka membaca 2-3 buku seperti karya-karya James Peterson dalam seminggu, sambil berharap yang terbaik untuk masa depannya.

Kembali kepada cerita awal. Evans memang diperkenalkan bapaknya pada astronomi ketika berumur 10 tahun. Itu mirip masyarakat kelas menengah NTT membeli laptop atau computer bagi anak-anaknya dan berharap menjadi pintar. Soalnya bukan pada memiliki laptop tetapi bagaimana seperti Evans, menjadikan alat menjadi kuda dalam berpacu meraih pengetahuan baru. Orang pintar itu diciptakan dan tidak pernah dibawa sejak lahir. Rahasianya bukan rahasia: bila tidak banyak yang anda cari, tidak banyak yang anda dapatkan.

[Tulisan ini di muat di Satutimor.com 28 Desember 2013;  dipersembahkan kepada IB, seorang teman masa SMA yang memutuskan jadi guru di daerah terpencil di NTT dan merasa mimpinya menjadi seorang ilmuan telah pupus. Kami bertemu setahun kemudian di tahun 2014 ketika IB berkunjung ke NIE Singapore saat di mana saya masih bekerja di NTU Singapore]. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: