- Divided Society – copied from sscm.ac.uk
Jonatan A Lassa [Pos Kupang 24 Mei 2006]
ALOR, kemajemukan dan pluralitas adalah realitas sosial yang sudah berusia tua. Dari sisi kemajemukan bahasa, pluralisme keagamaan, Alor punya romantisme tersendiri seperti pela-gandong di Maluku. Ke-Alor-an perlahan tercabik. Visi kebersamaan Alor-Pantar hilang karena kepentingan-kepentingan sesaat.
Konon, sering dikisahkan pluralisme sang Raja Alor yang menanggapi para misionaris agama bertahun-tahun lalu. Baik misionaris Kristen, Islam maupun Katolik disambutnya, dan tiap-tiap misionaris agama mendapatkan pengikut masing-masing satu anak kandungnya. Relasi agama-agama di Alor diikat, sebelumnya diikat oleh hubungan darah dan saling kawin. Keunikan ini tentu tidak eksklusif milik Alor, tetapi juga Poso dan Ambon.
Masyarakat kita terpecah (lagi). Setidaknya sebagian kecil masyarakat Indonesia di Alor. Rumah dibakar dan dirusak, kelompok pemuda berbeda saling menyerang, ada yang mengungsi, polisi tidak berkutik karena kedua kelompok memiliki senjata rakitan dan panah, adalah cerita tipikal awal mula konflik berkepanjangan Sulawesi Tengah dan Maluku yang sudah berusia 8 tahun. Ramalan berbagai pihak beberapa tahun lalu tentang potensi konflik Alor akhirnya terjadi.
Disayangkan, masyarakat di level akar rumput, seolah kehabisan cadangan toleransi untuk hidup dalam semangat solidaritas horizontal. Hubungan darah, suku yang menjamin hubungan timbal-balik seolah menguap habis, ditelan nafsu fundamentalisme agama yang memupuk kebencian satu dengan lainnya di alam bawah sadar. Khotbah tentang damai dan kasih di gereja dan mesjid seolah menguap begitu saja tanpa relevansinya di kehidupan nyata.
Pelanggengan keretakan sosial
Sewaktu penulis meneruskan email Rm. Leo Mali yang menawarkan untuk menggantikan Tibo CS di berbagai yahoogroups di kalangan terpelajar Indonesia di luar negeri, muncul berbagai tanggapan positif maupun negatif. Yang mengejutkan adalah terlalu banyak negatifnya, dan terkesan kita sudah hidup begitu terpecah. Memori dan alam bawah sadar kita tiba-tiba terungkapkan secara tiba-tiba yang menunjukkan bahwa kita hidup saling curiga.
Yang menyedihkan adalah praktek saling curiga ini dilanggengkan oleh kaum intelektual Indonesia. Di level komunitas akar rumput, dari orangtua, pemuda dan anak-anak, kita hidup secara terpecah-pecah. Retak sosial masyarakat Indonesia sangatlah kasat mata. Yang pernah menegasikan tesis Samuel Huntington tentang “The Clash of Civilization” justru menegaskan secara tidak langsung bahwa “The Clash of Civilization” menjadi self-fulfilling prophecy.
Dari pemetaan risiko konflik beberapa tahun lalu di Alor, ada berbagai perspektif lokal yang mulai memperhitungkan repatriasi kaum sekolahan kembali ke Alor, yang terkesan semakin kental spirit fundamentalisme. Dari berbagai sumber lokal, yang tentunya tidak bebas asumsi konspiratif, didapatkan bahwa keretakan sosial ini cukup terasa setidaknya empat tahun terakhir.
Retak sosial di Alor
Dalam pertemuan diskusi kampung untuk manajemen bencana di Desa Alila Timur, Kecamatan Alor Barat Laut, tepatnya Mei 2003, komunitas warga mengatakan bahwa kekuatan utama masyarakat di Alor adalah “Nilai persatuan dan kesatuan dalam masyarakat cukup tinggi dibuktikan dengan relasi antarumat beragama yang baik di mana sering mesjid dan gereja dibangun bersama oleh dua umat beragama”. Praktek ini terjadi bukan hanya dalam konteks masyarakat rural tetapi juga urban seperti Kota Kalabahi. Cerita ini mencerminkan internalisasi nilai-nilai pluralis yang diturunkan secara paternalistik dan mampu bertahan relatif lama.
Masyarakat Desa Alila Timur mengatakan bahwa mereka memilikipersoalan-persoalan berulang (cyclical) seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, angin topan, hama kutu kelapa, tikus dan diare. Ketika ditanya konflik sebagai sebuah potensi bencana, bahkan tidak terbanyangkan oleh mereka. Mungkinkah perbedaan belum dimanipulasi saat itu?
Hal yang kontras terjadi ketika dilakukan pemetaan social capital di Kalabahi, Ibu kota Kabupaten Alor, di mana komunitas pemuda begitu terpecah-pecah dalam kampung Kristen dan Islam. Retak sosial ini terus dilanggengkan setiap tahun, ketika pertandingan olah raga antarkampung. Tawuran pemuda antarkampung ditarik ke konflik agama. Evolusi sosial ini tiba-tiba baru saja dirasakan sebagai sesuatu yang baru saja terjadi kini.
Dalam perjalanan mengelilingi Alor tiga tahun silam, dari Ibu kota Kalabahi, lewat Kecamatan Alila, hingga Kokar, kita akan melihat realitas komunitas desa yang hidup terbagi-bagi sebagai “desa Kristen”, “desa Islam” – berselang seling. Perjalanan ini mengingatkan penulis pada kondisi Poso di tahun 2002. Walaupun demikian, pelabelan desa berbasis agama antardesa ini, pada dirinya sendiri mengandung potensi konflik, bila perbedaan dimanipulasikan sebagai alat peretak sosial.
Secara kultural, dengan terbaginya Alor dalam bahasa lokal yang sangat ragam, yang secara inheren, perbedaan kultural ini bisa dimanipulasi untuk menciptakan konflik, walaupun sifatnya evolutif. Yang seharusnya terjadi adalah perbedaan dikelola menjadi sumber daya sosial bagi pembangunan, bukan anti pembangunan dalam bentuk konflik.
Peranan negara tentunya diharapkan untuk mampu meredam tindakan manipulasi perbedaan menjadi konflik berdarah. Instrumen kebijakan tidak harus direduksikan menjadi “proyek” toleransi beragama semata. Terminologi “pilot proyek” toleransi umat beragama, seolah toleransi itu sebuah visi jangka pendek yang tergantung pada berbagai variable seperti ketersediaan dana dan waktu. Seolah pengalaman hidup bersama masyarakat yang sudah berusia ratusan tahun telah sirna.
Haruskah reinkarnasi konflik Poso dan Ambon terjadi di Alor? Jawaban tegas terhadap pertanyaan di atas adalah tidak. Tetapi supaya tidak terjadi lagi reinkarnasi konflik Poso dan Ambon di Alor, maka harus ada resolusi berbasis komunitas yang serius dilakukan. Upaya serius perlu dilakukan secara langsung oleh komunitas sendiri dengan daya, akal dan kemauan mereka sendiri, sebelum semuanya terlanjur.
Salah satu isu yang mengemuka adalah skenario pembentukan Kabupaten Alor Barat, yang nantinya lebih homogen secara agama. Ini yang terjadi di Maluku dan Sulawesi Tengah dan yang ditakuti adalah skenario ini harus memakan nyawa manusia tak bersalah yang dilakukan oleh pihak-pihak haus kekuasaan.
Secara elitis diperlukan resolusi simbolik, antarberbagai elite-elite dari pihak yang berbeda, pemimpin agama, representasi negara dan penegak hukum dan lembagaadat dan sebagainya. Menjadi soal ketika resolusi simbolik di level atas tidak otomatis ‘trickle down” ke level komunitas. Resolusi konflik dan peace building multi level perlu dicari bentuknya yang paling tepat. Intinya, resolution from the bottom lebih sustainable karena masyarakat kecil sangat berkepentingan dengan damai.
Ke-Alor-an yang majemuk harus dipertahankan. Ancaman terjadi karena bangkitnya keradikalan garis keras berbasis agama (yang lahir di hampir semua agama kini) yang baru mau mengakar, harus putuskan jaringannya.
Polisi dan intelijen sudah sejak dini seharusnya serius menelusuri pergerakan logistik senjata untuk konflik seperti senjata tajam dan bahkan senjata rakitan maupun otomatis harus menjadi agenda utama.
Belajar dari pengalaman Poso dan Ambon, di Alor kiranya aparat bisa berkomitmen penuh untuk rakyat semata. Aparat kepolisian haruslah kompak dan tidak terpecah dan tidak turut melanggengkan masyarakat sosial yang telah terpecah. Semua pihak harus mampu menyelesaikan masalah ini dengan menjadi mediator yang bijak tanpa harus memperkeruh suasana. Bukan sebuah pikiran baru dan sulit, tetapi diperlukan ‘revolusi’ internal di dalam lembaga negara tersebut.
Pos Kupang 24 Mei 2006
http://www.indomedia.com/poskup/2006/05/24/edisi24/opini.htm