
Oleh JA Lassa
Sinopsis [tulisan pertama]: Mana yang anda pilih? memilih PhD promotor/supervisor yang sangat terkenal dan setengah dewa? Atau memilih supervisor yang masih muda, ambisius dan mau bertumbuh bersama dengan anda? Artikel ini membahas untung rugi dua pilihan ini serta strategi tentang bagaimana mencari pembimbing yang tepat.
Pernah bermimpi melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral alias S3 di luar negeri? Mengapa tidak anda coba-coba untuk bermimpi. Tak perlu hemat dalam bermimpi. Atau, anda tidak pernah bermimpi menjadi doktor setelah menempuh S2? Jangan kuatir anda tidak sendirian! Saya tentu pernah tidak mampu bermimpi soal S3 kecuali setelah dua semester terakhir S1 di Kupang dulu. Tetapi mimpi itu pun tidak selalu final di tiap waktu. Setelah menempuh S2 di UK 2005 (Beasiswa Chevening) dan sering terekspos dengan para senior di kampus, dan mendapati mereka bukan sekeramat yang dikira, saya pikir ada gunanya mencoba. Toh, “Hidup adalah rangkaian percobaan, biarkan nasib menjadi penentunya” (Eka Kurniawan dalam “O”). Atau bila anda tidak percaya pada obsolutisme takdir, maka biarkan semesta langit bumi dan penciptanya yang menjadi penentu di atas percobaan anda.
Tiga hal utama tentang bagaimana memilih/memulai pendidikan doktor adalah pertama, anda mesti memiliki panggilan untuk berbakti pada pengetahuan dengan melahirkan pengetahuan baru. Idealnya harus ada sesuatu kebaruan, ada celah dalam pengetahuan yang setelah anda teropongi, anda terpanggil dan secara aktif berkontribusi menutupi celah ilmu tersebut. Kedua, anda wajib mencari tempat alias lingkungan (rumah) yang tepat. Apakah universitas bersangkutan memiliki program pengembangan kapasitas yang baik buat mahasiswa doktor? Karena soal perjalanan riset doktoral bukan semata menulis tesis, tetapi tentang kesempatan membangun dan mengembangkan diri. Ketiga, mencari calon pembimbing atau promotor yang tepat.
Hal pertama di atas adalah wajib, namun terkadang menemukan celah bisa ilmu bisa dilakukan dengan bergabung pada proyek-proyek riset doktoral yang sudah diidentifikasi dan sedang call for applicants (lihat contoh di UK). Bila anda melamar sebuah posisi PhD yang diiklankan dengan topik yang sudah ditentukan, maka supervisor anda kemungkinan besar adalah pimpinan proyek atau profesor yang memimpin riset tersebut. Model proyek PhD begini biasanya lebih jelas. Tetapi tidak berarti lebih mudah.
Langkah kedua di atas bisa anda lakukan riset online tentang jurusan dan bidang kajian spesifik yang anda minati yang tersedia di bawah kolong langit ini. Misalkan, bila anda mencari pembimbing studi bencana, maka ada sekitar 50an universitas di dunia yang menawarkan berbagai program pascasarjana berbasis riset. Proses ini harus mengerucut pada short listing program/topik riset S3 yang anda minati pada universitas-universitas di atas. Anda juga perlu mencari profil para pengajar/profesornya. Tentu yang menjadi daya tarik adalah dua-duanya: dosen/profesor yang mengajar/meneliti maupun reputasi jurusan/universitasnya.
Bila langkah pertama (topik riset) sudah mantap, anda perlu investasi waktu menuliskan secara ringkas tujuan riset anda, pertanyaan penelitian yang ‘sexy’ (bisa yang belum pernah diajukan sebelumnya atau bisa pada potensi menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian yang bernilai jutaan dolar (million dollar questions).
Langkah kedua di atas bisa di abaikan bila anda mampu mendapatkan calon pembimbing/promotor bagi anda. Di Jerman, anda bisa mengikuti/diterima di program doktoral sebuah universitas / pusat riset lalu universitas yang menjadi mak comlang untuk mempertemukan anda dengan pembimbing utama anda. Model PhD seperti ini punya risiko: anda tidak bisa memprediksikan supervisor macam apa yang anda pilih. Tugas anda jelas tidak mudah untuk membuat si pembimbing terkesan dengan kerja anda selain kerja kerja keras yang estra tetapi juga smart.
Model yang lain tentu bisa ditempuh, tergantung konteks. Yang lumrah adalah anda mengontak dan mendapatkan calon supervisor yang bersedia membimbing anda, lalu anda melamar secara formal di universitas host tempat supervisor tersebut mencari makan. Dalam proses melamar, tentu anda perlu mencantumkan secara jelas calon supervisor sehingga memudahkan administrasi di universitas tujuan untuk tidak secara acak tetapi menunjuk calon supervisor yang sudah membangun jalur komunikasi (in)formal dengan anda.
Hidup adalah soal memilih. Tidak mudah untuk semua hal. Anda mau memilih universitas dengan ranking dan reputasi tinggi dengan profesor yang juga setengah dewa? Sangat mungkin anda mendapati dua atau lebih bakal calon pembimbing dalam sebuah universitas. Bila anda sudah jelas pada short listed universitas dan calon pembimbing, bagaimana anda memutuskan si Profesor A atau si Dr B?
PhD adalah soal perjalanan melewati lembah gelap. Kompas anda adalah pertanyaan penelitian anda. Arah lebih penting dari gerak. Anda membutuhkan peta, team pendukung dan petuah. Karena itu wajib supervisor anda bisa bekerja sama secara profesional sekaligus bersahabat sepanjang perjalanan melewati lembah tersebut.
Tetapi soal arah, bagi saya bukan sekedar kompas kecil (pertanyaan penelitian) yang membantu anda menemukan ‘utara yang sejati” dari penelitian anda. Seharusnya ini juga soal “utara yang sejati” dari masa depan anda – memenuhi tujuan hidup anda setelah PhD: apakah anda terpanggil menjadi akademisi? Bila ya, di mana anda bermimpi menjadi akademisi? Karena modal PhD tidak cukup untuk masa depan anda.
Sebagai contoh. Saya memiliki dua teman yang mengambil PhD di sebuah negara tempat saya bekerja saat ini. Sebutlah si X, sejak awal memang memilih universitas Top Tier (Kelas 1), dan juga seorang pembimbing setengah dewa (profesor yang masyur) dengan seabrek prestasi dan puluhan buku. Model memilih seperti ini model yang lumrah. Jujur saja, siapa yang tidak suka memiliki almamater mumpuni? Masyarakat awam akan terpukau.
Sedangkan si Y, memilih universitas Second Tier (Kelas 2) dengan pembimbing yang masih berstatus sebagai dosen senior dan masih muda namun juga ilmuan prospektif. Di negera tempat saya bekerja, dosen senior dengan “research active” status itu setara assistant profesor level senior.
Si X memilih menjadi birokrat di kementrian. Hampir tidak memiliki publikasi peer review journal. Anda tentu bertanya: apa artinya Harvard atau MIT bila karya hanya sejilid tesis dan selembar ijazah? Boleh-boleh saja. Tetapi tidak sesedarhana itu. Sedangkan Si Y, kemudian tamat dengan belasan paper termasuk beberapa peer review articles. Hal ini kemudian mengantarkan si Y ke level post-doctoral bergengsi dan kemudian membawanya pada posisi akademik selevel assisten profesor.
Saya pribadi pernah mengalami situasi yang kira-kira berada di antara dua situasi di atas. Pembimbing saya adalah profesor yang masyur, wakil rektor, yang jarang berada di kantor. Makluk setengah dewa. Yang tidak terlalu termotivasi untuk publikasi bersama. Sebuah paper baru mirip menambah garam pada air laut yang sudah asin. Situasi ini saya sadari. Saya harus berjuang sendiri untuk publikasi, walau tidak banyak karena harus juga hidup sebagai social entrepreuner dengan agenda yang bukan melulu akademis.
Saya mendapati beberapa rekan saya dengan pembimbing yang lebih muda dan memiliki semangat kerja team yang baik cukup sukses dalam membangun publikasi secara bersama. Tidak heran salah seorang rekan saya seangkatan berlabuh dan bekerja di sebuah think tank top di kota Washington. Bisa anda bayangkan, PhD tiga tahun tepat waktu dan 10 peer review paper di tangan dan sering menjadi lead author! Siapa yang tidak tertarik mempekerjakan young PhD fellow seperti ini?
Tentu saja dua model di atas bukanlah binari model. Ada varian lain dari soal model pilihan pembimbing dan aspirasi dan visi mahasiswa PhD bersangkutan. Sebagai misal, beberapa mengambil model bekerja dalam proyek-proyek akademis sambil menulis PhD. Model yang lain mahasiswa PhD yang hanya fokus pada menulis tesis secara cepat dan berambisi selesai 2 tahun lebih sedikit (Tanya: mengapa harus cepat-cepat?). Salah satu senior saya dengan inisial RJK adalah model yang lebih ekstrim: butuh sepuluh 10 tahun untuk menulis sebuah tesis yang hanya 50 halaman. Tetapi semuanya adalah ringkasan dari 40 peer reviewed papernya tak terhitung belasan laporan riset yang diikutinya dalam sepuluh tahun tersebut. Dan hanya membutuhkan 1-2 tahun menjadi profesor riset penuh setelah PhDnya.
Pertanyaan tidak berhenti di sana. Misalkan, ada yang bertanya: “Saya diterima di Europe/Jerman, Australia dan juga di USA. Ke mana saya harus pergi?” Hal ini tidak mudah di jawab. Dan akan saya coba jelaskan di blog post berikutnya.
Bila anda bermimpi menjadi social entrepreuner atau menjalankan sebuah think tank di kota anda setelah PhD, tentu saja ada banyak hal lain selain tulis paper, di bawah ketiak profesor yang terkenal dan bersekolah di universitas top. Toh, di akhir cerita, ini adalah soal ke mana anda ingin pergi setelah PhD? Namun mungkin yang paling hakiki adalah, untuk apa PhD? Untuk apa investasi sebesar Rp. 2-3M hanya untuk sekedar gelar dari universitas bergengsi?
Bila anda bermimpi menjadi akademisi yang berkontribusi pada perubahan sosial, dan berkontribusi pada pembangunan wacana alternatif dalam public space di propinsi atau kota anda, mungkin anda tidak harus bertanya soal perlu tidaknya PhD. Karena di atas semuanya, soal perjalanan ke PhD adalah soal panggilan pribadi dengan tanggung jawab pribadi. Tiap pilihan selalu ada konsekuensi.
Beta ingin bertanya pak JL, apa tanda yang bisa dibaca oleh individu terkait, tentang keterpanggilan itu sendiri?
Halo pak Eman. Tanda-2nya yang paling sederhana adalah, apakah anda sering meragukan hal-hal yang dikatakan dan sering diterima sebagai dogma? Sering-2lah mempertanyakan hal2 yang lewat dalam bacaan anda. Mungkin tulisan berikut ada manfaatnya: bagaimana menjadi seorang productive scepticism. https://www.psychologytoday.com/blog/the-moment-youth/201206/the-art-positive-skepticism
seneng bacanya
Jangan takut bermimpi.Tapi mau tidak mau, suka tidak suka harus berani memilih sesuai rasa keterpanggilan pribadi yg kuat dan bertanggungjawab.Trimakasih untuk tulisan ini,sangat membantu dlm perjln hidup dan karier.
saya sepertinya masuk dalam ceritanya pak, sy bingung memilih yang promotor luar negeri yang sudah profesor ataukah yang masih Associate Profesor?
Pak Ikshan, untuk cari promotor, kalau di Amerika Serikat, yang assistant professor pun gak masalah. Di Australia, professor hanya ‘status administrasi’ dan belum tentu memiliki kapasitas yang lebih baik dari dosen senior atau associate professor. Banyak teman saya yg statusnya Dosen Senior punya mahasiswa PhD belasan orang, punya publikasi lebih banyak, punya grant lebih banyak dan juga punya citation yang lebih banyak. Banyak professor yg gak produktif. Saran saya: lihat portofolio calon pembimbing-nya aja, juga tingkat keaktifan publikasi dan riset si calon. Di Australia, tingkat dosen/dosen senior (setara Assistant atau Associate Prof di US atau Jepang), kadang sudah bisa jadi promotor kalau mereka punya kontrak sebagai Research Active academic dan diijinkan menjadi pembimbing. Di Jerman, assistant/associate professor (Junior Professor / Habil) juga bisa jadi pembimbing sepanjang mereka diijinkan fakultas di universitas yg dituju. [Catatan tambahan: Sistim menjadi professor di Australia, sebagian besar mekanismenya self-promotion yang kemudian di setujui oleh pimpinan. Jadi jangan heran, ada professor yg jarang jadi penulis pertama dalam paper2nya atau juga, berkarir 20-30 tahun tetapi citation-nya hanya 100an di Google Scholar tanpa punya H-Index yg memadai di Scopus. Menjadi professor terkadang tidak ada kejelasan standardnya. Dosen-2 berhak untuk tidak naik level kalau mereka menolak promosi. Naik ke level professor, tuntutan mencari dana tinggi; donor2 juga kadang malas mengontrak professor krn rate-nya ketinggian – di atas $1200-1500 perhari. Teman2 yg fokus di consulting, mereka kadang tetap aja mau bertahan di level C (dosen senior) supaya market price-nya masih masuk akal dalam consulting.]