Bagaimana Menjadi Mahasiswa Yang Sukses?

Salvador Dali, Andorra
Salvador Dali, Andorra [Source; Creative Commons, Terence, Wikipedia]
Saya kuliah di sebuah Universitas Katolik di Kota Kupang. Awalnya tidak terlalu bersemangat karena tidak ada niat kuliah. Sekedar menyenangkan hati mama. Tidak pernah berharap akan menjadi mahasiswa sukses yang 20 tahun kemudian mampu berkarir secara internasional di beberapa negara termasuk saat ini di Australia.

Saat itu awal September 1993. Toko buku Istana Beta letaknya di depan kampus lama di Kelurahan Merdeka Kupang. Saya kosnya di sebuah rumah alang-alang – mungkin satu-satunya rumah beratap alang-alang di Merdeka Kupang saat itu. Jarak rumah kos ke Toko Buku suci hanya 150 meter. Saya mencoba singgah di toko buku tersebut. Dan mata saya langsung kepada sebuah buku berjudul “Management Waktu: Suatu Pedoman Pengelolaan Waktu Yang Efektif dan Produktif”. Penulisnya Harold L Taylor. Covernya warna hitam edisi 1990 yang saya baca. Tahun terbitan bahasa inggrisnya adalah 1981.

Saya tidak ingat lagi persis isinya. Yang diingat adalah buku tersebut saya baca sampai selesai dengan penuh gairah. Mungkin ini buku pertama yang saya baca secara tuntas hanya dalam waktu 2 jam seumur hidup saya. Tipis bukunya. Tetapi itu merupakan langkah awal yang memberikan ‘sense of purpose’ bagi saya. Tentang bagaimana pentingya membagi waktu. Menentukan waktu tidur 7-8 jam sehari. Membaca 3-4 jam sehari. Sisanya mengikuti kuliah, mengunjungi keluarga satu persatu dari keluarga papa dan mama di Kupang sambil makan siang/malam gratis. Tiap weekend mengikuti kegiatan mahasiswa. Sedangkan hari minggu agendanya mengunjungi rekan-rekan eks SMA 1 SoE yang bertebaran di Kota Kupang.

Nah, tulisan saya ini ditujukan buat adik-adik calon mahasiswa baru di Indonesia. Anda termasuk yang beruntung yang tidak lebih dari 700ribu orang (dari lebih kurang 1.4-1.5 juta lulusan SMA) tahun 2015/2016.

Di Indonesia kini lagi musim orientasi mahasiswa baru. Kuliah pertama mungkin akan mulai pada bulan September khan? Di Australia kami baru saja memulai semester baru. Seru bagi semua yang mau belajar serius! Mengapa seru? Ya, seru saja karena waktu akan terasa begitu cepat mengalir dari satu semester ke semester lainnya. Dan anda kemudian akan tiba di titik mana tidak ada kesempatan kembali memperbaiki masa depan anda selain penyesalan atas masa lalu.

Rencanakan Hidup Anda!

Dalam sebuah makan malam 6 bulan lalu di rumah rekan saya dari India, seorang teman bule Australia bertanya kepada kami: apa yang membuat kamu mau menjadi akademik? Bagi teman saya yang dari India, ceritanya tentu indah. Dia adalah juara di kelas nya juga di sekolahnya dan yang terbaik di kota negara bagiannya. Kita tahu kampus-kampus universitas India kelasnya mungkin di atas kelas universitas kita di tanah air. Sangat jarang kita dengar alumni-alumni kita bisa go international bila belum mendapatkan ijazah dari universitas di Barat. Tidak bagi India.  Ribuan ilmuan India bisa bekerja di negara mana saja walaupun tamat hanya dari universitas di negara bagian di India.

Sedangkan saya adalah kebalikannya. Hidup tanpa rencana! Ketiadaan prestasi kadang membuat orang tidak memiliki ambisi. Rangking sebagai prestasi naik turun, tergantung kondisi lingkungan. Dan Masuk jurusanpun karena tetangga yang menyarankan! Bayangkan! Hidup tanpa visi! Tidak selalu buruk. Karena hidup tidak selalu bisa diprediksi. Saya tidak berencana kuliah setelah tidak lulus PMDK ke Universitas Indonesia. Maklum. Nilai raport saya tidak konsisten walau tamat dengan nilai tertinggi. Pendaftaran ke universitaspun 100 persen dilakukan mama karena saya asik camping setelah selesai SMA. Meski kemudian saya kemudian harus kuliah di Timor Barat dengan kondisi kampus yang pas-pasan, tapi bagi kami saat itu, tidak ada pilihan yang lebih baik. Dan bagaimana tidak bersyukur? Tidak banyak yang bisa kuliah. Tidak ada waktu untuk disesali. Hidup di mana pun toh harus kita hidupi secara lebih strategis dan taktis sambil berharap ada peruntungan di tiap saat.

TIPS Sebagai Mahasiswa Baru

Seorang adik bertanya pada saya “Kalau anda ditakdirkan lahir kembali ke bangku kuliah sebagai anak semester 1, apa yang anda akan lakukan?” Pertanyaan ini menjadi menarik. Dua hal yang saya pikirkan.

Saya mencoba meneruskan yang sudah saya lakukan sebelumnya: Pertama, punya sense of purpose: kemana saya akan pergi setelah kuliah S1? Ini tentu penting sekali. Arah hidup lebih penting dari sekedar bolak balik ruang kuliah tiap hari! Karena hari ini bukan soal hari ini. Tapi soal ke mana anda akan pergi? Saya akan membeli buku tentang management waktu dan soal strategi menjadi mahasiswa yang sukses. Punya gaya hidup yang terencana! Kedua, biasakan diri membaca 3-4 jam sehari. Selama SD hingga SMA di pedalaman Timor Barat, kami tidak punya buku bacaan. Praktis tidak banyak yang dibaca selain buku pelajaran. Saat kuliah, sejak semester 1, saya ingat tiap minggu saya bisa menghabiskan 2-3 buku bacaan di luar bacaan wajib anak-anak teknik sipil tempo dulu. Tidak peduli di mana anda kuliah. Toh, kita tak pernah bisa memilih tempat lahir. Bila anda tinggal di pedalaman Flores, Sumba, Timor, Papua hingga Sulawesi dan Kalimantan, tidak perlu tangisi soal hal-hal ini. Saya pembaca setia Majalah Konstruksi yang saat itu di Kupang cukup mahal. Di tempat kuliah saya, ada bundelan Majalah Konstruksi yang cukup menolong anak-anak kampung seperti saya membayangkan teknologi-teknologi terkemuka di tanah jawa saat itu. Tentu anda punya kelebihan hari ini. Dengan internet, anda bisa belajar kalkulus langsung dari MIT dan professor-profesor top. Membayangkan teknologi yang rumit-rumit tidak lagi sepenuhnya harus menunggu lama. Kuliah di kampung, tidak harus membuat kita tertinggal. Ketiga, terus belajar bahasa asing terutama bahasa inggris. Saya termasuk yang cukup laris sewaktu tamat kuliah. Tidak pernah menganggur walaupun sering kali mengundurkan diri dari tempat kerja karena perbedaan prinsip dan diskriminasi alumni. Belajar Bahasa Inggris secara mandiri karena harus berhemat uang saku. Tetapi cerita awalnya tidak mudah.  Dinding kos saya sering kali saya tanduki karena marah, sering melupakan vocabulary yang dihafal hari kemarin. Teman-teman saya yang IPK tidak mentereng sering mendapatkan pekerjaan lebih cepat karena mampu berbahasa asing. Keempat, berorganisasi secara lebih taktis sejak awal. Tanpa pengalaman berorganisasi, kita tidak punya eksposure yang cukup dalam kerja tim dan conflict management dan leadership skill yang sehat. Saya harus membuat analisis yang lebih rasional tentang organisasi mana yang saya harus masuki: termasuk melihat kualitas almunus-alumnus yang bisa memberikan role model bagi saya. Tetapi jangan lama-lama dalam memutuskan karena tidak ada organisasi yang sempurnah!

Sedangkan yang akan saya lakukan adalah: Pertama, membaca buku Soe Hok Gie. Saya sering mencari model mahasiswa ideal saat itu. Yang sering saya dengar adalah cerita-cerita anak-anak di kampus-kampus besar seperti ITB dan Petra. Maklum, dosen-dosen idola kami alumnus kedua kampus tersebut. Tetapi masih sekedar rajin baca dan berbahasa. Sosok Soe Hok Gie saya baca ketika semester 9, saat masa skripsi manakala kuliah sudah hampir selesai. Dalam dirinya, saya temukan sosok demonstran yang intelektual bukan pengekor. Ada gairah bergelora tentang baigaimana membuat dunia kita lebih baik, tentang perubahan sosial. Tentang intelektual yang terlibat dengan persoalan-persoalan sosial kebangsaan. Demonstran yang anti nyontek dan tidak korupsi uang kepanitiaan pembubaran panitia ospek. Betapa menyesal saya menjadi puritanist dalam melihat organisasi sosial. Menghindari para anggota senat yang sering saya pikir tidak layak karena tukang nyontek. Mental pemberontak saya tidak tersalur secara baik dan kemudian tidak terlatih, selain melalui tulisan-tulisan protes. Kedua, saya akan membaca tetraloginya Pramodya Ananta Toer sejak semester 1. Mengapa? Karena dalam Bumi Manusia, ada spirit tentang menjadi berdaulat secara pengetahuan. Minke memiliki visi kedaulatan berpengetahuan. Dan spirit ini yang justru hilang dari kampus-kampus. Tentang bagaimana dosen-dosen hanya menjadi rantai konsumerisme pengetahuan barat tanpa mampu memproduksi sendiri pengetahuan baru dengan harga yang tidak terlalu mahal. Ketiga, saya akan menggantikan ilmu teknik sipil saya dengan jurusan lain: salah satu dari ke empat ini: matematika, fisika, sosiologi dan filsafat. Bukan karena saya tidak mencintai teknik sipil, tetapi karena tidak ada yang menjelaskan soal pentingnya ilmu-ilmu dasar tadi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Tetapi bila saya harus tetap di teknik sipil, maka saya akan mencitainya dua kali lebih sungguh. Keempat, mencari duit untuk lebih banyak travel ke luar pulau sejak masih mahasiswa. Visi ini penting! Tanpa melihat dunia yang lain, mungkin kita tidak pernah benar-benar menghargai dunia tempat kita lahir dan bertumbuh.

Sekian dulu ya! Selamat menempuh studi sebagai mahasiswa baru! Sebagaimana ibu dan ayah, Indonesia juga menanti karya mu!

2 Replies to “Bagaimana Menjadi Mahasiswa Yang Sukses?”

  1. Wah, sangat inspiring, Pak. Terimakasih sudah berbagi! Kalau mengenai sense of purpose saya sering baca buku Dale Carniege dan sangat banyak terinspirasi dari Youtube (ada banyak youtubers yang biasanya berbagi mengenai gaya hidup). Kalau di youtube saya biasanya nonton youtubers berbahasa inggris sehingga selain belajar mengenai gaya hidup yg produktif saya juga mengasah kemampuan berbahasa Inggris saya.

    Sekali lagi terimakasih, Pak. Ini sangat menginspirasi saya untuk jadi lebih baik lagi.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: