Dunia Samaran, the Second Self dan Eksistensialis Kreatif

14192194_10207773113352471_4960224716272340694_n

MASIH ingat salah satu pepatah “mau menjadi penulis yang sukses, jadilah lelaki!”? Bahkan Joanne Rowling harus menggunakan hanya J. K. Rowling – K adalah initial tanpa kepanjangan –  karena penerbitnya takut kalangan remaja laki-laki tidak akan membaca Harry Poter. Rowling kemudian membungkan dunia menulis yang di dominasi maskulinisme – tentang bagaimana seorang perempuan dapat menjadi penulis hebat, sukses dan kaya. Pendapat di atas sedikit demi sedikit terkikis. Konon, dulunya, ketika konstruksi jender masih dimonopoli konservatisme tingkat akut,  beberapa penulis perempuan  berhadapan dengan pasar pembaca yang bias. Karena itu sering muncul penulis-penulis presudonym (pseudonim) – sering dikenal dengan nama pena atau nama samaran. Samaran laki-laki padahal aslinya perempuan.

Sedangkan para penulis lelaki menggunakan nama pena lelaki lainnya. Seperti Eric Arthur Blair dengan nama pena George Orwell dengan novel-novelnya yang terkenal (1984, Animal Farm, dsb.) ataupun Mark Twain yang ternyata bernama Samuel Langhore Clemens. Motivasi tiap penulis samaran berbeda-beda. Sedangkan bagi Stephen King menciptakan presudonym Richard Bachman adalah bagian dari menguji apakah popularitasnya yang membuat bukunya laku ataukah karyanya yang menjadi penentu. Bagi penulis lain, ada yang karena harus berhadapan dengan tekanan pembaca pada jender penulis. Dunia samaran adalah dunia ciptaan di mana awalnya anda berharap mengungkapkan ‘kebenaran’ yang anda yakini (entah sangat benar atau sekedar ragu, atau sekedar karena membuka katup-katup tekanan jiwa dan kanal resistensi diri), dengan nama yang lain. Pada tingkat tertentu, George Orwell mungkin merupakan sosok pribadi yang baru, pribadi yang lebih liberatif dan juga empowered.

The second self

Studi atas fenomena Pseudonym bisa anda lihat pada Google Scholar memberikan link kepada lebih dari ribuan artikel terkait pseudonym. Saya bukan ahli psikologi terkait hal ini. Namun bisa saja ada yang berpendapat bahwa mana kala seseorang menggunakan presudonym, maka ada tendensi mereka memberikan kualitas komentar/pikiran yang berkualitas. [Lihat Sonderman dalam People using pseudonyms post the highest-quality comments]. Dunia samaran menjadi identitas personal yang secara total baru ketika anda dalam kedok samaran merasa terhina oleh kritik-kritik orang lain.

Fenomena pseudonym, sebagai self yang lain kadang bisa menjadi semacam the second self (pribadi kedua). Ide saya dipengaruhi oleh konsep the second self dari Sherry Turkle di MIT.  Ia menulis The Second Self: Computers & the Human Spirit yang di publikasikan 31 tahun lalu, tepatnya tahun 1984. Turkle melihat fenomena anak-anak maupun orang dewasa bermain game komputer dan kemudia berteori (atau menjelaskan) fenomena di mana komputer bertanggung jawab pada gelombang baru dari apa yang dia namakan sebagai determinisme mekanikal yang sekaligus menjadi titik kebangkitan mistisisme dan kerohanian. Sebagaimana Alan Turing memiliki visinya sendiri tentang ‘mesin yang berpikir’ sebagai cikal-bakal komputer abad 20, Prof. Turkle melihat bahwa komputer bukanlah alat (tool), melainkan bagian dari kehidupan sosial dan psikologi kita. Turkle kemudian memang dikenal sebagi salah satu pemikir besar dalam the psychology of computation.

Membaca dan memahami zaman melampaui manusia-manusia lain, Turkle muda (usianya 36 tahun ketika The Second Self dipublikasikan) melihat bahwa sebagaimana kita menggunakan fasilitas hitung maupun game, kesadaran kita tentang kita manusia seolah diprogram ulang menjadi pribadi yang lain. Jadi teknologi bukan hanya mengubah cara manusia bekerja secara lebih cepat tetapi juga mempengaruhi cara kita berpikir.

Eksistensialisme Abad Digital

Mungkin saja dalam era digital dan sosial media hari ini maupun 2100, manusia kemudian mungkin dengan gampang berkembang menjadi multiple-self, self sebagai sebuah unit identitas kepribadian. Fenomena-fenomena ini kemudian dipelajari secara sistimatis. Sebagai misal, Shao dkk. dari Universitas Temple di USA  (lihat Identity construction on Facebook: Digital empowerment in anchored relationships) ataupun oleh Joan DiMicco  di IBM T.J. Watson Research (Lihat Identity Management: Multiple Presentations of Self in Facebook).

Saya sering bertanya-tanya bagaimana orang-orang memutuskan menggunakan beberapa identitas di sosial media yang dengan secara deliberatif membangun identitas secara berbeda-beda secara ‘konsisten’. Kadang sulit membayangkan secara praktis.  Mungkin saja mengelolah 1 self saja sudah sulit. Mengelolah self yang baru dalam wajah pseudonym bisa sangat melelahkan bila tidak dilakukan dalam dengan alasan yang jelas dan visi yang teguh.  Dan mungkin saja dalam kadar yang intensif seperti pseudonym via sosial media yang agitatif-sektarian sebagai sebuah fenomena yang membosankan dan melelahkan.

Tetapi menarik melihat dalam terang ilmu pengetahuan tentang self, tentang pribadi kita, manusia.

Dalam nada yang positif, kita mungkin cenderung membangun second self, sebagai sebuah proses yang memungkinkan kita menjadi pribadi yang lain, yang tidak terkungkung dalam penjara-penjara psikologis, kultural, politik maupun ekonomi yang di alami oleh the first self.

***

Ketika masih kuliah di Kupang tahun 1990an, jelas kami tidak memiliki akses pada studi-studi awal seperti Sherry Turkle.* Jadi kami membaca sosok-sosok eksistensialist yang lebih yang lebih kuno  seperti Soren Kierkegaard si existentialist  yang terkenal itu. Karena mengagumi kepribadian Soren Kierkegaard (1813-1855) termasuk bagaimana dia memboikot perjamuan kudus (salah satu sakramen Kristen/Katolik), memberikan inspirasi pada semangat muda kami untuk ‘melawan gereja’ yang menindas. Praktek pseudonysmnya terkadang menarik untuk dicontohi.

Bagi Kierkegaard, hidup bukanlah masalah yang harus diselesaikan, tetapi realitas yang perlu dialami/dihidupi. Sebagaimana Kiekegard berujar, once you label me, you negate me – saya berusaha untuk tidal melabel siapa pun. Psikologi second-self di atas memiliki perbedaan dengan “psikologi topeng” yang dalam dalam psikologi populer mungkin dikenal dengan kemampuan manusia dalam depersonalisasi (lihat Man and His Mask). Meminjam Alan Moore (dalam V for Vendetta), “You wear a mask for so long, you forget who you were beneath it.”

Dalam konteks di mana kita begitu mampu menciptakan second-self ataupun multiple-self, kita dengan gampang terjatuh pada fenomena split personality dengan standard etika yang sesuai karakter manipulatif, penciptaan topeng-topeng. Dan dengan sedikit modifikasi atas Alan More dalam V for Vendetta mungkin menarik diingat bahwa di balik tiap topeng, ada yang lebih dari sekedar daging. Di dalam topeng ada ide dan ide-ide bersifat antipeluru.

Yang menarik dalam pengalaman sebagai manusia saat ini adalah kapasitas manusia dalam melakukan unself, sebuah proses dalam terminasi self, sebuah titik berangkat sekaligus titik tiba pada kesadaran manusia yang dari debu dan akan menjadi debu. Ini tentu mirip ketika anda menghapus account palsu anda dari Facebook.

***

Saya mencoba memahami pikiran-pikiran Truckle karena riset personal saya tentang imaginasi risiko dan kebijakan publik dalam kaitannya dengan theory of self. Yang ternyata ketika membacanya, ada goncangan dalam jiwa – antara tekanan bahwa ‘kok bisa dia sudah berpikir dilevel yang sangat tinggi 31 tahun lalu?’ – sedangkan saya belum memproduksikan apa-apa ketika menyentuh ‘kepala 4’. Di sini saya termotivasi memotivasi generasi-generasi muda NTT maupun anak-anak Indonesia untuk menjadi pemikir-pemikir masa depan. Ayolah kita serius membangun pengetahuan setinggi langit. Dan tidak pernah berhenti bertanya. Untuk maju, kita mungkin harus memiliki beberapa kadar eksistensialist yang kreatif. [S]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: