Oleh Jonatan A. Lassa*
Salah satu prinsip tentang bukti keberhasilan dalam pengurangan risiko bencana maupun sistim peringatan dini bencana adalah tidak terjadinya bencana yang diprediksikan, walaupun sempat terjadi goncangan akibat gempa ataupun letusan vulkanik. Peristiwa gempa dan letusan vulkanik sering tidak pasti soal skala dan intensitasnya. Selalu ada ketidakpastian. Karena itu ethos pengurangan bencana diletakan pada nilai yang tinggi pada tindakan antisipatif walaupun prediksi horor malapetaka tidak terjadi.
Jasa keberhasilan sistim peringatan dini akibat tsunami bukan terletak pada terjadi tidaknya peristiwa yang diprediksikan. Misalkan, sebuah prediksi tsunami jarak jauh Jepang yang berpotensi menghantam Biak di Papua, lalu masyarakat diungsikan, tetapi ketinggian (inundasi) tsunami yang tiba di pantai Biak hanya 10cm sehingga tidak kasat mata. Sebagian masyarakat awam mungkin akan marah-marah dan mengatakan bahwa pemerintah terlalu mengada-ada. Yang pasti, keselamatan tersebut patut diberi penghargaan karena secara by design, sistim menyelamatkan walaupun tidak terjadi hantaman tsunami di pantai Biak.
Sebaliknya, situasi yang berseberangan dapat terjadi di mana tidak ada peringatan dan pada saat yang sama fenomena tsunami 10cm tidak kasat mata sehingga tidak ada yang merasa ada yang salah. Bila ada sebagian pihak menilai bahwa kondisi yang kedua adalah lumrah, maka sesungguhnya keselamatan masyarakat pantai Biak hanyalah berisifat kebetulan. Dalam ketidakpastian ancaman (alam maupun non-alam) yang paling penting adalah adanya sistim response yang tepat pada peringatan betapa skala hantaman badai ataupun gempa maupun letusan tidak terjadi.
Salah satu prinsip pengambilan keputusan dalam krisis adalah keputusan harus diambil dalam konteks di mana data terbatas dan sama sekali tidak cukup waktu karena menunggu berarti bencana yang lebih besar terjadi. Bila terlambat mengambil keputusan, situasi dapat menjadi ekstrim dan tidak terkontrol. Hal yang terlihat remeh dan “tidak ada hubungan” dapat menjadi variabel penentu krisis yang besar. Dunia nyata yang kompleks sering memberikan sedikit pilihan dengan ketiadaan informasi yang cukup. Dalam konteks Bank Century hal ini menjadi menarik. Argumentasi pihak-pihak terutama dari mantan petinggi Bank Indonesia ngotot mengatakan bahwa ada kemungkinan dampak sistemik dalam konteks Bank Century.
Budiono, mantan Gubernur Bank BNI menjalankan prinsip crisis leadership, yakni bahwa keputusan pemberian status Bank Century berpotensi gagal dan berdampak sistemik tanpa harus menunggu lebih lama. Bukti ketepatan kebijakan tersebut adalah tidak terjadinya krisis yang sistemik di Indonesia. Tidak ada penyesalan ketika Budiono ditanya dalam Mata Najwa. Dengan kata lain, Budiono mengatakan bahwa keberhasilan penanganan Century tidak bisa didiscount oleh lemahnya informasi yang dimiliki BI yang berujung pada penggelontoran uang sebesar 6.7 triliun, tetapi pada krisis yang sudah lewat tanpa bayangan. Triliuan Rupiah tersebut dianggap sebagai intervention cost, ketimbang sebagai praktek korupsi. Walau Mata Najwa kurang kritis berhadapan dengan Budiono, tetapi argumentasi Budiono mirip seperti argumentasi mantan Sekertaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang sering menguatkan pemimpin dunia bahwa keberhasilan penanggulangan bencana terjadi ketika terjadi hasil manfaat pengelolaan risiko tidak kasat mata (not tangible) yakni bencana yang tidak terjadi (terhindari).[While the costs of disaster prevention have to be paid in the present, its benefits lie in a distant future. Moreover, the benefits are not tangible; they are the disasters that did not happen.” – Kofi Annan 1999].
Bayang-bayang krisis ekonomi Eropa dan Amerika Serikat dan hantu krisis ekonomi Indonesia menjadi preseden dibalik keputusan Budiono di 2008. Sebuah langkah yang sangat logis.
Masalahnya ada pada rentetan ketidak-pastian dari data soal CAR, asumsi-asumsi dibalik data, ketidakpastian hubungan antara perbankan Indonesia dan internasional dst. Ketidakpastian data berujung pada ketidak-pastian pemahaman atas peristiwa Century 2008. Efeknya secara hukum dipertanyakan legalitas dan lemah legitimacy hukum dan politik. Dalam konteks Indonesia yang sangat korup terutama rentetan peristiwa tertangkapnya petinggi partai Demokrat membantu membentuk kepercayaan bahwa kasus Bank Century berdimensi lain dan berpotensi moral hazard, yang sangat mungkin terdapat free raiders yang dicurigai menunggangi para teknokrat Bank Indonesia. Tahun 2008 adalah tahun pengumpulan logistik untuk Pemilu 2009, sehingga logika konspiratif pun dipakai untuk menyerang partai penguasa (pemenang pemilu).
Bantahan sang pemilik Bank Century soal kebutuhan banknya yang hanya sekian ratus milyar Rupiah digunakan untuk mempertanyakan keakuratan asumsi Bank Indonesia jumlah alokasi anggaran untuk penyelamatan bukan hanya Bank Century tetapi juga potensi efek sistemik pada perbankan Nasional.
Mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa beliau “bisa mati berdiri” bila angka capital adequacy ratio (CAR) ataupun angka penyelamatan Bank Century dengan penyertaan modal sementara terus berubah-ubah sebagaimana dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut beliau, Bank Indonesia “hanya waktu 4,5 jam untuk memutuskan apakah Bank Century akan ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik“. Bagi Sri Mulyani, keputusan penting harus di ambil demi melindungi sistem keuangan nasional yang bernilai Rp 1.700 triliun. Dalam perdebatan Jaksa dan Sri Mulyani, terungkap hal menarik. Yakni bahwa ada 82 juta rekening yang pemiliknya perlu dilindungi dari kepanikan bila risiko kegagalan Bank Century dan belasan bank serupa benar-benar terjadi.
Dalam bahasa management risiko nilai investment cost 6.7 triliun hanya 0.4% dari total nilai yang hendak diselamatkan. Logika yang senada dipakai oleh Budiono. Sri Mulyani juga menambahkan bahwa tujuan yang senada adalah mencegah runtuhnya kepercayaan masyarakat. “Dalam sejarah sistem keuangan dunia, katanya, tidak pernah ada negara yang bisa lolos dari krisis psikologis masyarakat.” Sebagian publik percaya pada Sri Mulyani dan Budiono. Dalam hal ini orang bertanya kalau dua-duanya jujur, lalu apa dan siapa yang salah?
Dalam studi risiko, istilah amplifikasi risiko merupakan sebuah fenomena psikologi masyarakat yang bertalian erat atau tercermin dalam kepanikan yang gampang tersebar lewat media. Argumentasi Sri Mulyani demi mencegah terjadinya amplifikasi risiko akibat imaginasi hantu krisis 1997/1998, maka intervensi harus dilakukan. “jika nasabah Century tak mendapat kepastian, maka masabah bank lain pun resah dan akan menarik dana sehingga perbankan akan hancur. “
Mungkin letak kekisruhan Century juga terletak pada informasi yang tidak sepenuhnya dipahami oleh politisi senayan. Masalahnya adalah bila informasi dibuka telanjang, maka kepanikan nasabah akan dengan mudah terjadi dan dampaknya bisa lebih buruk. Perdebatan menarik adalah apakah semua informasi yang sensitif terkait kinerja perbankan perlu dibuka telanjang? Tidak membuka informasi tetapi saat yang sama dibutuhkan uang skala triliuanan dalam membantu bank yang dipersepsikan skala kecil juga bukan perkara mudah karena harus dipertanggung jawabkan kepada rakyat.
Pembelajarannya adalah bahwa proses produksi data dan asumsi-asumsi soal CAR dan sejenisnya ada dalam kuasa Bank Indonesia. Proses kriminalisasi (criminalized) ataupun unkriminalisasi (Un-criminalized) merupakan dua kutup dari kontinum ketidakpastian data. Pengetahuan masing-masing pihakpun terbatas dan dalam konteks politik Indonesia yang tidak pernah jernih akibat korupsi, dapat membuat para teknokrat yang jujur berhadapan dengan proses hukum. Dalam konstruksi dan anatomi problem yang kompleks, ambiguitas sering terjadi dan dibutuhkan pemahaman yang lebih kompleks dalam menyelesaikan persoalan Bank Century.
Dalam tradisi ilmu sosial Indonesia yang semaput panjang selama era Suharto, ilmuan-ilmuan dan para insinyur di bawah Suharto sering mengatakan “tanyakan apa yang salah dan bukan siapa yang salah”. Ini terjadi dalam studi-studi terkait bencana, krisis, pertanian, perbankan dan seterusnya. Yang dilupakan adalah studi-studi teknis engineering sering berhubungan dengan barang (apa), sedangkan studi-studi sosial dan hukum sering berurusan dengan siapa melakukan apa dan siapa yang bertanggung jawab.
Kontroversi seputar Century menjadi menarik secara akademis dan merupakan mata air yang kaya yang bisa digunakan untuk menghasilkan pembelajaran baik di sektor perbankan, studi crisis management dan leadership, studi hukum dan perbankan, ekonomi politik krisis perbankan hingga studi ekonomi politik dan sosiologi politik korupsi. Mungkin calon-calon pemenang Nobel prize asal Indonesia bidang ekonomi di masa mendatang adalah mereka yang mampu membuat analisis ekonomi hukum dengan studi empirik kasus Bank Century.
Demi Indonesia yang lebih baik, pilihan intelektual dan peneliti Indonesia yang non-partisan adalah mendokumentasikan pembelajaran dari kasus yang kompleks ini demi pembelajaran bersama.
* Co-Founder, IRGSC Indonesia.