Potensi diskursif presiden: Sepeda dan Buku

Sumber Tribun Medan / Twitter Jumat, 10 Februari 2017 07:49
Sumber Tribun Medan / Twitter Jumat, 10 Februari 2017 07:49

Mengapa bukan buku tapi sepeda? Tanya Rocky Gerung!

Dalam logika politik kawanan Indonesia yang semakin Boolean, yang diframing “salah-benar”, binari hitam-putih, 0-1, “kita-mereka”, maka berpendapat tegas di ruang publik selalu dikotak-kotakan dalam ‘pro dan anti’ kelompok/pihak yang dikritik. Karena itu, kritik Gerung pada Presiden Jokowi pun ditanggapi beragam dalam nuansa binaris, salah-benar dan Sono versus Sini.

Jalan keluarnya hanya 1. Mari bersama-sama terapkan logika fuzzy aja. Jadi tidak 0, tidak 1. tetapi ada sekian pilihan dari 0.00001 hingga 0.999999. Pilihan inilah pilihan Republik yang ragamnya ragam sekali. Pulau dan sukunya super ragam.

Kita perlu buku. Kita perlu sepeda. Bukan sepeda atau buku. Keduanya dan banyak lagi.

Namun tetap menarik mencermati apologetik di Facebooknya Pak Jokowi “Mengapa Sepeda“? “Mungkin ada yang bertanya, mengapa sepeda? Mengapa seorang Presiden senang membagi sepeda lewat kuis di setiap acara dan kunjungan? Mengapa bukan uang, televisi, atau telepon genggam? Saya senang bersepeda sedari dulu. Bersepeda itu mandiri dan bekerja keras. Kemajuan, kelajuan, juga kecepatan dihasilkan dari usaha sendiri, gerak tubuh sendiri, tanpa mesin atau dorongan tenaga orang lain. Seberapa cepat kita ingin sampai ke tujuan tergantung seberapa keras kita mengayuh. Bersepeda itu gambaran kebersamaan dari anggota tubuh yang beragam bentuk, fungsi dan posisinya. Dengan mengayuh sepeda seluruh anggota badan bergerak dalam harmoni. Dua tungkai kaki mengayuh pedal seirama, mata memandang awas ke depan, tangan menggenggam kemudi seraya jari waspada menarik tuas rem. Bersepeda itu bergerak maju dalam keseimbangan. Jika jalan menanjak, badan sedikit membungkuk. Jika berbelok ke kanan atau ke kiri, tubuh ikut menyelaraskan. Satu yang tetap, titik berat pesepeda selalu ada di tengah-tengah. Bersepeda itu untuk semua orang, semua usia, lintas suku dan peradaban. Lagipula, bersepeda itu sehat, baik buat lingkungan sekitar karena bebas polusi. Pendeknya, bersepeda itu adalah bekerja keras dan mandiri, melaju dalam harmoni dan keseimbangan. Dan karena itulah, saya senang berbagi sepeda di setiap acara dan kunjungan.”

Kita tau bahwa besar kemungkinan ada staff di Istana yang mendukumentasikan video dan statement di atas. Terhadap sepeda, postingan di atas sekedar bertanya “Mengapa bukan uang, televisi, atau telepon genggam?” [Bisa disimpulkan, buku tidak berada pada lapisan mental teratas penulis postingan di atas – entah di lakukan staff istana ataupun didikte Pakde secara langsung dan langsung diposting tanpa edit].

Menarik juga bahwa diluar postingan di atas, intelektual-intelektual pro-istana mencoba membangun argumentasi dan bukti tambahan: postingan-postingan buku dan fasilitas pengiriman buku gratis ke daerah-daerah oleh Presiden.

Sejumlah argument tambahan soal mengapa pentingnya sepeda tentu diutarakan dalam ribuan postingan media sosial. Ada yang berargumen soal mengurangi konsumsi karbon lewat penggunaan sepeda.

Sudah tentu, kita butuh semakin banyak sepeda. Perang melawan malnutrisi abad 21 dalam wujud obesitas perlu dilakukan lewat banyak jalur. Obesitas adalah masalah malnutrisi anak, remaja hingga pemuda yang berakibat pada berbagai penyakit seperti hipertensi, gagal ginjal, gagal jantung, diabetes dsb. Obesitas akan menjadi masalah public health nomor wahid yang dalam banyak hal tidak berada dalam agenda pemda-pemda di tanah air.

Sepeda hanya salah satu jalan keluar. Tetapi juga perlu perbaikan jalan dan pengadaan trotoar. Membuat sistim transportasi dan jalan raya semakin ramah pada pejalan kaki dan pengguna sepeda.

Perlu Juga Buku 

Saya mengusulkan Pak Jokowi membagi buku-buku dalam perjalanan-perjalanan beliau. 1 sepeda bisa setara 20 buku Bumi Manusia si Pramoedya Ananta Toer. Tidak usah takut soal gosip murahan bahwa ini buku kiri. Ini buku penting bagi generasi muda dan tua. Buku ini bicara soal kedaulatan rakyat dalam berpengetahuan sendiri. Spirit ini tidak begitu tegas terdapat dalam buku-buku lain yang lahir kemudian di tanah air. Buku ini buku eksistensialist NKRI yang sejati.

Tentu, pak Presiden bisa mengumpulkan data soal 50 buku terbaik yang wajib di baca anak-anak di tanah air. Tetapi bisa juga dibalik: Istana membeli buku-buku dari penulis-penulis di daerah seperti NTT dan Papua lalu membagikannya pada anak-anak di Jawa dan Sumatra. Dan sebaliknya anak-anak di NTT dan Papua di bagikan buku-buku dari penulis-penulis muda di Kalimantan dan Jawa. Supaya keberagaman pandangan dan visi ekologis bisa dibagi secara lebih cepat.

Tentu pak Gerung ada benarnya. Presiden itu bukan saja panglima militer tertinggi, tetapi juga panglima peradaban Indonesia tertinggi. Ia memiliki potensi paling besar soal membangun diskursus pentingnya membaca buku. Potensi diskursif presiden ini bisa menjadi kekuatan pengubah sosial yang menyembuhkan dan membangun kesadaran kritis.

Pak Jokowi, kita butuh anda hadir juga dalam gerakan literasi secara lebih sistimatis. Sebagaimana anda agresif dalam membangun jalan-jalan fisik di Papua dan Kalimantan, demikian pula anda perlu membangun “jejaring jalan” yang bersifat mental batiniah. Membagi buku adalah  salah satu jawabannya.

 

Salam!

J.A. Lassa

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: