Bila anda ingin mengambil PhD di negara-negara yang sudah mengalami enlightenment, kerap anda akan dituntut memiliki proposal PhD (S3). Dan salah satu yang akan dilihat adalah bagaimana atau apa pertanyaan penelitian anda!
Sejak sebelum punya mahasiswa bimbingan yang bersifat formal, saya sering ditanyain para junior soal bagaimana sih merumuskan/mencari/mendapatkan pertanyaan riset dalam rangka studi/riset master dan doktoral? Karena sering banget (jujur sudah di atas >20an yang nanya dalam 1 tahun terakir), maka saya putuskan menjelaskan secara ringkas di sini. Hitung-hitung membayar utang pada rekan-rekan di tanah air.
Pertama, anda perlu tau soal pemikiran besar di balik investasi PhD. Tidak seperti yang sering saya lihat di beberapa kasus di tanah air, sebaliknya di Australia, Jerman, UK, US dan Singapore (negara-negara di mana saya bekerja dan menimba ilmu), PhD itu bukan soal sepele dalam kaca mata sistim produksi pengetahuan. Tiap PhD tesis diharapkan melahirkan pengetahuan baru atau setidaknya berkontribusi pada pengetahuan.
Dan tiap mahasiswa PhD harus mampu menemukan celah pengetahuan (knowledge gap) yang perlu diisi. Kadang disebut sebagai ‘research gap’.
Tergantung tingkatan dalam proses pendidikan S3 anda, proses menemukan celah ini bisa saja berbeda-beda tingkat kedalamannya. Bila anda baru berusaha melamar, biasanya supervisor lebih kompromistis dalam hal mengkritisi pertanyaan riset anda. Proposal anda mungkin akan dinilai sebagai sebuah draft awal yang akan ditingkatkan kualitasnya begitu anda lolos hingga tahap seleksi final termasuk jaminan beasiswa. Tetapi bila hingga akhir tahun pertama (atau sebelum ujian konfirmasi – dalam konteks Australia), anda belum juga memiliki pertanyaan riset anda, maka mungkin anda dalam kondisi yang perlu bantuan serius.
Beberapa calon mahasiswa PhD cenderung naif dalam hal ini. Seringkali, yang masih sangat awam dengan riset, cenderung mencoba menyelesaikan masalah yang ada di dalam masyarakat melalui penelitian. Masalah yang dipersoalkan atau yang diproblematisasi cenderung masalah yang dipersepsikan sebagai masalah aktual, penting dan urgen diselesaikan. Hal ini tentu sah-sah saja. Tetapi dalam perspektif akademis, problematisasi ini bisa saja terjadi ketika tidak ada masalah aktual yang urgen tetapi membutuhkan penjelasan sistimatis demi pembelajaran: ‘mengapa tidak ada masalah; atau mengapa masalah-masalah klasik negara bisa diselesaikan oleh negara-negara terntentu?’ Anda bisa saja bertanya mengapa Singapura bisa menjadi negara yang begitu maju dalam banyak sektor yang tidak bisa diprediksikan 50 tahun silam? Dalam hal ini problematisasi dalam spirit akademis bermaksud untuk mempermasalahkan mengapa negara X tidak memiliki masalah A atau B seperti yang terlihat di negara Y dan Z. Jadi problematisasi yang saintifik itu tidak serta merta mensyarakatkan adalah realitas ontologis yang bersifat negatif dalam kondisi rawa paya.
Nah, problematisasi di atas perlu dimatangkan lagi lewat tahap lanjutan. Yakni identifikasi research gap atau knowledge gap. Sejatinya ini harus didasarkan pada sebuah observasi atas literatur maupun ‘masalah’ yang menjadi ketertarikan anda. Katakanlah ada 100 paper yang pernah dituliskan terkait studi sosial banjir dari berbagai negara. Anda tentu tidak bisa serta merta menyatakan tertarik untuk studi banjir level PhD di kabupaten anda karena sebelumnya belum ada penelitian terkait di kabupaten anda. Yang diperlukan adalah dari 100 paper itu anda perlu lihat pola dari penelitian sebelumnya. Misalkan: pertanyaan yang pernah diajukan, apakah ada kemiripan? Apa pertanyaan yang belum pernah ditanyakan? Dan, apakah metodenya ada persamaan/perbedaan? Yang yang sudah diketahui sejauh ini? Apakah anda mampu menidentifikasikan yang sudah dan belum diketahui? Di mana saja riset-riset sebelumnya dilakukan? Apakah ada bias konteks yang kemudian diambil dan menjadi narasi yang dominan dalam penyelesaian masalah di konteks yang lain yang mungkin saja setting budaya maupun konteks ruang waktu tidak terlalu relevan buat konteks di mana anda berada?
Anda tentu bisa terus bertanya: bagaimana dengan konteks anda saat ini? Bagaimana bila konteks kita bisa digunakan untuk berkontribusi bagi pengetahuan soal banjir? Anda bisa tiba pada pertanyaan terkait model-model pengelolaan (tatakelolah) banjir yang top down versi tunggal pemerintah maupun yang berbasis komunitas, berbasis pasar (insurance and risk transefer) hingga model hybrid (seperti public private partnersip dsb.).
Dan bila anda memang termotivasi belajar soal pengelolaan risiko banjir, apakah anda sudah membaca PhD Thesis si Gilbert White tahun 1945 berjudul Human adjustment to Floods? Studi PhD itu mirip mencoba mengendarai mesin waktu ke masa silam, kembali pada pertama kali topik anda pertama kali dipikirkan orang. Yang ditakuti, adalah pemborosan sumber daya karena anda tidak menambah sedikitpun kontribusi selain tiba pada kesimpulan-kesimpulan karya-karya 100 tahun lalu.
Terasa sulit? Mungkin saja. Tetapi dengan terus melatih diri, anda sangat mungkin tiba pada titik di mana pertanyaan penelitian anda menjadi lebih tajam. Dan di titik ini anda bisa melihat potensi di mana riset anda bisa berkontribusi pada pengetahuan global soal masalah yang anda hadapi dalam konteks lokal anda. Ini tentu di kenal dengan universalisasi dari pengetahuan yang diproduksi oleh anda.
Ilustralisi yang tepat mungkin seperti ini: Anda datang ke sebuah wilayah jelajah yang baru anda temui di sebuah pulau baru yang tidak anda kenal. Dua pilihan untuk anda: Pertama, anda bisa bertidak seperti orang Eropa ketika datang ke Benua Amerika atau Australia. Misi ekspansif anda membuat anda berpikir andalah orang pertama yang tiba di benua tersebut. Tak peduli sudah 50-80 ribu tahun ada penduduk asli, anda dengan seenaknya mengklaim soal “temuan baru” anda. Tetapi ada pilihan ke dua bagi anda: Begitu anda menginjakan kaki di benua baru, anda perlu tanyakan secara lebih jujur: apakah sudah ada orang yang menginjakan kaki mereka sebelumnya di tempat ini/itu? Bila ya, coba observasi dan petakan wilayah mereka sambil buat ancang-ancang yang lebih manusiawi: kira-kira posisi anda berada di mana? Apakah anda sekedar berdiri di atas tapak yang sudah dibangun orang lain? Ataukan anda harus membuat koloni baru yang tidak serta merta sebuah wilayah rampasan (baca: plagiat).
Semoga menolong untuk sementara.
[Bersambung di lain waktu]
J.A.L.