
Tidak masalah bila anda salah mengira. Ini memang soal romantisme. Walaupun jembatan Taccoma Narrows Bridge (TNB) yang baru (selesai 2007) ini tidak masuk dalam daftar tujuan wisata mainstream bagi pengunjung di Seattle, saya memasukannya dalam daftar pertama untuk dikunjungi. Selain penggunanya yang melintasi Tacoma dan Tanjung Kitsap di Washington State, mungkin hanya mereka yang jogging dan orang-orang aneh yang pernah mengenyam pendidikan teknik sipil khususnya yang sempat mengambil mata kuliah Dinamika Struktur maupun Disain Jembatan yang mengingat dan mengunjunginya. Bill, seorang bapak yang uzur, bingung mendengar pertanyaanku soal arah TNB bila harus berjalan kali dari perhentian bus yang terakhir di 6th Avenue di Tacoma.
TNB tidak seelok sepupunya seperti Manhattan Bridge di New York City atau Golden Gate Bridge (San Francisco), apalagi mau disandingkan dengan keterkenalan Seri Wawasan Bridge (Putrajaya, Malaysia) ataupun The Helix Bridge di Singapura. Tetapi kegagalan strukturnya di era awal perang dunia ke dua menjadi soko guru dalam disain jembatan-jembatan serupa (suspension bridge alias jembatan kabel). Bukan karena ledakan perang dunia ke kedua atau gempa, tetapi runtuhnya TNB pertama akibat angin sepoi-sepoi empat bulan setelah konstruksi tepatnya 7 November 1940. Kecepatan anginya hanya sekitar 65-70km per jam (Bandingkan Cyclone Kategori 1 yang ‘hanya’ berkisar antara 90-120 km/jam); atau kategori 5 yakni di atas 280 km/jam).
Dua puluh hingga tiga puluh tahun lalu, mungkin karena modeling komputasinya belum terlalu maju, textbook kebanyakan menyalahkan fenomena resonansi, istilah dalam studi dinamika struktur. Contoh bagi awam seperti keran air saya yang kalau dalam kondisi full speed, tidak ada getaran dan tidak ada air yang bocor keluar. Tetapi bila dalam kondisi perlahan, bunyi keran waktu menyiram bunga cukup besar dan sering diikuti dengan bocor. Contoh yang lain bisa anda lihat sepeda motor yang pelat nomornya longgar. Bila motor larinya perlahan, ributnya bukan main. Tetapi bila kebut dengan kecepatan stabil, hampir tak terdengar ataupun terlihat ada getaran.
Dalam bahasa teknisnya, resonansi adalah sinonim dari frekuensi alamiah (natural frequency). Secara teoritis, jika sebuah struktur (fisik jembatan atau bangunan) yang mengalami beban getar (vibrasi) sebesar frekuensi alamiahnya, maka akan terjadi perpindahan (istilah tekniknya displacements) pada tingkat maksimum alias resonansi. Semakin besar resonansi, tegangan pada struktur tersebut makin membesar. Daerah-daerah sambungan pada struktur tersebut akan mengalami kegagalan.
Akar masalah kegagalan sebenarnya bermuara pada penghematan biaya yang awalnya untuk aman mesti berharga US$ 11 juta (setara 192 juta dollar hari ini) menjadi US$ 8 juta (setara 139 juta dollar). Jadi akibat defisit 53 juta dollar (nilai hari ini), keamanan jembatan dikompromikan.
Masalahnya mulai diketahui ketika masa pengerjaan jembatan ini. Berbagai upayapun dilakukan. Tetapi solusi yang tepat tidak mendapat jalan di tangan pengambil kebijakan proyek. Dari video di atas terlihat jembatan secara keseluruhan mengalami torsi.
Singkat kata, para ilmuan baik Fisika maupun Teknik Sipil dunia kemudian meninggalkan konsep resonansi. Tulisan tulisan yang terbaru setuju soal pengaruh angin (aerodynamic effects) pada pembentukan gaya torsi (puntir) jembatan ini. Tetapi penjelasan ini saja tidak cukup. Ada karakter relasi kompleks yang membentuk semacama kombinasi aerodynamics-aeroelastics di mana terjadi amplifikasi (pembesaran) torsi mengayun yang meningkat dengan kecepatan angin. Ada semacam fenomena vortivitas (yakni kecenderungan partikel cair untuk rotasi / sirkulasi pada titik tertentu) dalam skala besar yang berada di atas dan bawa dek jembatan. [Silahkan lihat Arioli and Gazzola 2017]
Bersambung!