Aktivis 1998 dan Catatan Politik Kepartaian

Mahasiswa-with-tag1

Oleh: Dominggus Elcid Li

Gerakan mahasiswa 1998 menemukan salah satu titik dukanya kemarin. Salah satu pentolannya Andi Arief, tertangkap nyabu. Kalau dilihat dari kacamata hukum negara pemakai narkoba memang kriminal. Tetapi dibanding pembunuh Munir, penculik para aktivis, koruptor triliunan rupiah, kejahatan ini tidak lah besar-besar amat. Apalagi kalau kita paham sindikat narkoba turut berumah dalam “penjara” tanpa mampu disentuh tuntas. (Di kampung saya, Kupang, ratusan peti mati tidak menjadi alasan bagi penegak hukum berbicara atas nama keadilan. Padahal manusia dijual. Bukan hanya Narkoba. Lebih sialan lagi dokumennya saya serahkan sendiri ke tangan Presiden Jkw, dan BAP-nya saja tidak pernah dibuat).

Menjadi orang vokal di Indonesia tidak mudah. Apalagi kritik tandas muncul dari mulut anda. Seluruh ruang teknologi komunikasi pasti bukan lah wilayah steril. Jadi kalau mau nakal macam nyabu dan semacamnya pastikan anda paham risiko.

Foto yang dipakai Kompas cetak hingga foto lain dari media online, yang menunjukkan Andi ada di balik jeruji menegaskan arogansi kekuasaan. Di level mana orang berhak dipermalukan? Apakah jika anak Jakob Oetama bos Kompas atau salah satu keluarga Jokowi jika terkena kasus foto dari angle atas dengan latar depan terali itu bisa dipasang terbuka? Keadilan itu tidak tampak. (Apalagi jika orang paham soal kasus Cebongan sekian tahun silam, dan Jokowi hanya beraksi bersihkan kali bersama Kopassus di Jakarta. Padahal gelombang protes dari NTT begitu kuat. Ya, hukum kita hukum orang kuat. Siapa kuat, kejahatannya didiamkan. Apalagi pakai embel-embel jiwa korsa. Artinya apa? Artinya hukum masih dalam tawanan naluri kuasa.)

Berselancar dalam tubuh Partai Demokrat tidak mudah. Di situ ada Trah SBY-Sarwo Edhie. Andi muncul dengan gaya pendekar mabuk. Prabowo dihantam pakai kardus, dan PDIP pun hendak digrudug. Orang menunggu nahkoda Demokrat hendak diserahkan pada siapa. Setelah Anas dari HMI meringkuk dalam tahanan KPK, kini Andi dari SMID ada dalam tahanan. Pernah muncul harapan, ada generasi 1998 yang bisa muncul di level puncak partai politik. Harapan itu masih lah jauh. Kans Andi mungkin sudah tertutup, setelah Anas.

SBY sebagai jendral tukang baca buku menampung para aktivis seperti Andi yang mungkin dikenalnya ketika ia menjadi Danrem di Jogja di era 1990-an. Sekian aktivis lain masih banyak dalam rombongan Demokrat. Sekian lagi sudah menyingkir. Patah arang. Entah Demokrat pasca SBY akan berujung pada siapa dan apa?

Di PDIP maupun elemen Pro Jokowi, aktivis 98 juga banyak. Pesan mereka memenuhi media sosial jelang pilpres. Ya, tapi sama saja mereka lebih banyak sebagai kru, bukan sebagai tokoh elit partai politik.

Di tubuh PDIP Megawati tentu sedang berpikir panjang bagaimana mempertahankan denyut nadi pasca dia, entah di mana ia akan meletakkan trah Sukarno? Dan di mana ia akan menempatkan anak-anak idiologis. Darah biru politik di negara-negara pasca 1945 bukan hanya milik Indonesia. India, Myanmar dan Pakistan juga sama. Bagaimana mempertahankan format partai PDIP pasca Megawati masih menjadi pertanyaan terbuka.

Selanjutnya, salah satu elemen penting Orde Baru adalah tentara. Hingga saat ini tentara masih lah mempunyai peran vital. Bekas tentara yang bernalar tiba bergantian di posisi puncak. Ada Luhut, ada Prabowo, ada Hendro, ada Moeldoko, ada Gatot, ada Djoko, ada Kivlan, ada banyak lagi. Mereka tumbuh dan besar dalam disiplin tentara. Ada dalam barisan dan garis komando yang tegas. Meskipun di era politik kepartaian warna merah-putih dan hijau menjadi dua kategori pembagi.

Para aktivis 1998 pun tersebar dimana-mana. Sebagai gerakan mahasiswa, tidak ada disiplin tegas semacam tentara. Ikatannya lebih cair. Tahu sama tahu saja. Berhadapan dengan ‘politik tentara’ di era kepartaian, para aktivis 1998 tidak punya koordinasi yang memadai. Di era pemilu presiden pun mereka berantem sendiri, ya beda majikan.

Soal disiplin pribadi, para aktivis 1998 lebih tidak disiplin lagi. Terutama jika dibandingkan tentara. Coba lihat menteri parlente eks aktivis 98, kita pasti sakit kepala. Mode pakaian Prabowo lebih sederhana dari aktivis. Aneh juga, ini rakyatnya melarat tapi dandanan menteri khas pria metroseksual–tapi miskin prestasi. Seolah sudah lupa omongan orasi sendiri.

Ditangkapnya Andi dan Anas adalah catatan untuk para aktivis 1998. Jejak masa lalu saja tidak cukup, tetapi harus tanpa cacat sama sekali. Tidak mudah memang, tetapi ini jalan yang kita pilih.

Kadang dalam diskusi sehari-hari, ada kawan yang bercerita ‘disiplin kita harus sebaik tentara’. Saya katakan ‘Kita lebih baik dari tentara’. Bukannya saya tidak menyenangi TNI atau pun POLRI, tetapi saya tahu rezim tentara di bawah Soeharto pun gagal. Artinya apa? Untuk mempertahankan Indonesia, kedisiplinan kita harus jauh lebih baik dari tentara. Keyakinan ini lah yang harus kita punya dan buat. Disiplin tidak mencuri uang negara, disiplin untuk tidak memperkaya diri sendiri, disiplin untuk menyatakan sesuatu hanya sesuai dengan isi realitas. Tidak lebih.

Untuk mempertahankan Indonesia kita perlu untuk tidak menjadi anjing peliharaan. Mampu untuk mengolah libido dan kegilaan dasar. Serta mampu menjadi bagian dari rakyat tanpa kata-kata: bukan omongan.

Ya biasa saja. Selama disiplin kelompok ini tidak ada, selama itu pula aktivis 98 tidak lebih dari gerombolan bersejarah. Selama itu pula cita-cita generasi 1998 tidak pernah dianggap serius. Berpolitik tidak mungkin zonder disiplin. Terutama di level pribadi.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: