
Oleh: Dominggus Elcid Li
Tulisan ini tidak membahas tentang Pilpres. Tulisan ini tentang kawan-kawan, para sahabat yang memilih berjuang untuk masuk dalam partai politik dan berusaha untuk terpilih dalam Pemilu 2019. Meskipun kadang saya merasa diteror dengan foto-foto para caleg yang dipasang di tiap pertigaan, perempatan dan bahkan di dapur, tetapi, konon kita perlu berusaha untuk optimis, dan tetap memberikan penghargaan kepada mereka yang maju. Dalam semangat yang lebih optimis tulisan ini coba dibuat, dan semoga nada sarkastik tidak muncul di sini (ini peringatan untuk diri sendiri, bukan untuk pembaca). Saya berusaha.
Setelah sekitar duapuluh tahunan bekerja sebagai aktivis LSM, aktivis perempuan, jurnalis, staf ahli, tukang tulis pidato, tukang bawa map politisi senior, hingga pemadam kebakaran untuk apa pun yang dikerjakan para senior partai, sebagian kawan kini ada di posisi yang sangat memungkinkan mereka terpilih. Sekian bulan ini para calon legislatif bekerja keras, mulai dari berkunjung ke konstituen, calon konstituen, dan mempersiapkan diri sebagai calon pejabat publik. Hal yang tidak mudah dilakukan di era iklim ‘apa-apa serba duit’.
Dulu saya pernah merasakan keringat dingin karena maag, dan rakyat bawah yang ingin kami ajak untuk bergabung selama dua jam menyandera dan bertanya apakah apa sudah siap ‘uang sekian ratus ribu’ untuk per kepala dikala uang sepeser tidak ada di kantong ketika mengerjakan demokrasi partisipatoris. Mimpi tentang demokrasi ideal, model pertukaran ide dan pembelaan terhadap mereka yang paling lemah tenggelam dalam kenyataan bahwa anda juga disandera oleh orang-orang miskin ini. Untuk scene ini perasaan yang paling tepat dikisahkan lewat para ronin (samurai tak bertuan) dalam Seven Samurai-nya Kurosawa, yang berjuang untuk mempertahankan desa, dari serangan rampok. Dan para penduduk desa yang senantiasa mencurigai para ronin menyembunyikan makanan. Keinginan para samurai untuk mengadu nyawa untuk mempertahankan kepentingan orang banyak, tidak selamanya dipercayai orang kecil yang sekian abad ditipu, ditipu, dan ditipu.
“Suuudah Pak, jangan omong banyak, bayar putus ko abis!” Ini kejujuran yang pahit yang bisa ditemui di lapangan. Selanjutnya, setiap SMS dan telfon cenderung ditanggapi seperti Putu Wijaya yang menunggu Telegram. Permintaan uang, mungkin bisa bikin orang parno. Itu bisa saja kabar kematian. Ya, kematian harapan-harapan yang gugur.
Ironi semacam ini membuat fantasi tentang rakyat kadang hilang timbul dimakan kemarahan. Jika sebagian yang sudah kebal, mereka punya trik mematikan. Bagi mereka yang baru pertama, biasanya pasti shock. Sebagian lain langsung trauma sebelum mencoba.
Mencari celah untuk tetap bisa idealis dan bernafas dalam sistem tidak mudah. Jika setiap hari menelan pil pahit, apakah mungkin orang mampu untuk bertahan dengan kaki-kaki idealnya? Ataukah ruang-ruang aneh itu juga mengubah orang menjadi profil seseorang yang dulu ia hindari dan ia kutuk dalam orasi di atas aspal-aspal panas itu?
Pengalaman bekerja di dalam sistem demokrasi transaksional membuat orang seharusnya tidak gegabah untuk memvonis hitam-putih. Ketika memilih bekerja dalam sistem, lidah anda sebagian sudah digembok. Ada sekian aturan struktur partai yang harus ditaati. Ada sekian idealisme yang harus tidak diucapkan. Ada sebagian diri yang harus hilang. Yang paling pahit, ada sebagian perkawanan yang harus hilang. Harga dari langkah menuju kekuasaan adalah Homo Homini Lupus. Manusia adalah serigala untuk sesamanya.
Di belantara per-caleg-an semacam ini, orang berhadapan dengan sekian plot cerita. Ujungnya selalu terbuka. Happy Ending, tidak selalu terjadi. Tetapi, bukankah keberanian untuk mencoba, dan mengalahkan sindrom manusia parno itu juga merupakan sebuah prestasi? Anda berani untuk maju. Anda berusaha siap untuk menang. Anda mungkin sudah siap untuk kalah. Anda sudah habis-habisan, dan ini seperti main judi.
Jika punya modal finansial, gaya penjudi lebih cocok. Dengan gaya profesional, sumbangan bisa diarahkan dengan tepat kepada konstituen. Dengan gaya orang partai, seluruh mesin harus bisa berjalan. Dengan gaya orang suci, anda dilumat hingga sumsum.
Ya, fantasi demokrasi transaksional, jelas bukan seperti demokrasi deliberatif seperti yang diceritakan Habermas. Di Indonesia, jauh lebih rumit. Modal sosial menjadi pertaruhan. Segregasi yang telah tercipta sekian lama, dengan mudah berubah menjadi luka dalam kontestasi. Bukan cuma rakyat jelata, maupun emak jelita, tapi para aktivis sendiri tiba-tiba menjadi manusia narsis melankonlis. Saya menjadi lebih besar, dan merasa paling menderita di atas sekian fenomena sosial yang menolak untuk dibaca tuntas.
Orang kadang menyindir Mr. P yang mengucapkan ‘Saya lebih aktivis daripada aktivis’. Namun, kenyataannya, kesimpulan hitam-putih semacam ini lah yang dominan di layar media sosial. Ada banyak kemarahan, ada banyak kekecewaan, ada banyak permusuhan yang tidak perlu. Ada banyak argumentasi yang juga tidak perlu untuk diungkapkan. Bukan soal benar atau salah. Tetapi, ada perasaan orang tidak mau mendengarkan orang lain bicara. Monolog dalam keramaian semacam ini semakin membuat demokrasi transaksional tidak mendapatkan pembahasan yang memadai. Yang sibuk dibicarakan adalah luka-luka yang seolah orang lain tak mampu mengerti. Dan hanya saya seorang yang mengerti.
Satu sisi para aktivis begitu tersedot terhadap momentum pilpres, di sisi lain urusan legislatif yang teramat penting ini dilewatkan. Para anggota dewan ini bukan pemain figuran, mereka ini lah nadi kebijakan publik. Yang begerak dari level kecamatan hingga ibukota negara. Perjuangan para caleg di ruang-ruang kecil menentukan apakah Indonesia dijual atau tidak. Jadi bukan hanya soal presiden. Skenario film hitam putih yang menempatkan eksekutif sebagai satu-satunya penentu adalah kegagalan analisis.
Pukulan yang diterima di kepala kawan-kawan mahasiswa di Aceh, atau pun sengketa tambang garam di Kabupaten Malaka (NTT) yang merontokan sekian hektar lahan mangrove di wilayah hutan adat tentu bukan soal siapa presidennya. Tetapi mengapa di era “yang katanya demokrasi” ini para anggota DPR yang seharusnya membela kepentingan orang banyak, malah hanya diam, dan membiarkan para mahasiswa dan tetua adat dirampok oleh nalar investasi tanpa belas kasihan. Kenapa mereka yang membela “R” (Rakyat), berubah menjadi “r” (rampok)?
Dari Aceh hingga Papua perampokan ini terjadi, dan tidak mungkin level pertaruhan oligarki hanya ditempatkan di level kepala negara. Level pertarungan harus ditempatkan mulai dari level kecamatan.
Bergerak di level Indonesia pun, tidak bisa bermain parokial. Orang Bali urus orang Bali, orang Aceh urus orang Aceh. Orang Papua urus orang Papua. Orang Minang urus Orang Minang. Itu tahun sebelum 1928. Dalam wilayah Indonesia sesulit apa pun elemen kritis harus mampu menemukan pengertian sehingga tidak saling bunuh dalam pasar demokrasi terkini. Orang Indonesia 2019, sibuka meletakkan luka di wilayah parokial. Luka orang Aceh, luka orang Minang, luka orang Papua, luka orang Bali, luka orang Timor, dan luka orang Indonesia malah tidak ada.
Marah dan takut adalah reaksi awal. Jika anda tergolong orang yang mengerti persoalan maka marah atau takut tidak menjadi bagian dari laku hidup sehari-hari. Maksud saya marah yang sifatnya personal. Kalau marah untuk para garong, itu harus. Aneh jika tidak marah. Tetapi marah karena tidak dimengerti oleh sesama aktivis lain ini lah yang paling soal.
Soal identitas agama, yang dianggap menjadi sumbu kemarahan. Itu lebih soal ketakutan. Semua orang takut terhadap dunia yang berubah. Soal dapur yang tidak berasap. Soal ‘si dia yang asing’ yang menguasai rumah sendiri. Soal para pembaca huruf yang lupa membaca realitas dengan mata terbuka, hanya dengan kemarahan, apalagi menari di atas luka-luka kawan sendiri. Sudah lah, anda bukan aktivis, kalau hanya mengerti luka sendiri. Jika kawan sendiri tidak dimengerti, apalagi konsep rakyat. Jika budi saja tidak ada, tidak ada guna bicara soal siapa yang lebih suci.
NB: tulisan ini saya persembahkan untuk para sahabat yang menjadi caleg. Selamat berjuang Sahabat!