Teka Teki Silang Pengelolaan COVID-19

Oleh: Dominggus Elcid Li

Hobi mengisi TTS alias Teka-Teki Silang itu banyak manfaatnya, terlebih di era Covid-19. Jika anda adalah penggemar kolom Teka-Teki Silang atau Sudoku di koran atau buku kecil setengah lembar HVS untuk mengasah otak agar tak cepat lupa, atau sekedar ingin membunuh sepi diantara waktu yang enggan diberi makna agar tak terlalu melankolis, maka mungkin anda adalah calon pemimpin yang lama tersembunyi. Ya, mungkin juga kota itu city-state, bisa juga satu negara dengan banyak kota—dengan sekian desanya. Tapi, itu ya hanya jika anda memang mau, sebab tidak banyak lagi penggemar Teka-Teki Silang atau Sudoku yang mau menjadi ‘pejabat publik’. (Bagi yang belum pernah main Sudoku, kalau Teka-Teki Silang itu adalah deretan menurun mendatar kata-kata, Sudoku itu deretan angka-angka.)

Lalu apa urusannya Teka-Teki Silang dan atau Sudoku dengan Covid-19? Ya, untuk menyelesaikan Teka-Teki Covid-19, hal utama yang perlu diperhatikan adalah anda tidak berpikir untuk satu kata saja. Misalnya kata itu ‘ekonomi’ atau ‘kesehatan’. Katakan bahwa kata ‘ekonomi’ adalah jawaban mendatar, dan kesehatan adalah jawaban menurun dengan titik pertemuan pada huruf ‘k’. Lalu kemudian disambung dengan kata ‘pertanian’ atau ‘perdagangan’, atau bahkan ‘pariwisata’ di pojok bawah sebelah kanan mendatar. Permainan ini membantu orang menulis benar dengan berpikir tentang banyak hal, misalnya mencegah agar PAD (Pendapat Asli Daerah) tidak hilang total, tidak mungkin dilakukan tanpa langkah pencegahan maupun penanganan Covid-19 yang tuntas dan segera. Bermain TTS mengajak kita belajar mengoreksi atas nama keterkaitan.

Mungkin anda langsung menjawab, ‘Wah, ternyata mudah menjadi pemimpin publik!’ Besok saya mau jadi presiden, atau walikota, atau mungkin mau jadi Bu Kades dulu sebagai ajang latihan. Tapi ya sabar dulu, bukan itu saja. Bayangkan jika Teka-Teki Silang itu kita ganti jadi Sudoku. Anda yang pernah menjadi juara matematika tingkat kecamatan mungkin langsung berteriak ‘Ah, gampang!’ Persoalannya agak sedikit lebih rumit karena dalam Teka-Teki Covid-19, baik Teka-Teki maupun Sudoku ada dalam satu kolom yang sama, dan beberapa kata belum ditemukan, dan beberapa angka itu sifatnya tak terhingga alias infinite…

Tapi kita jangan masuk ke sana dulu, agar tidak disebut penggemar Novel Utopia. Cukup di bagian dua kata pertama di atas. Ekonomi mendatar. Kesehatan Menurun. Dengan titik pertemuan pada huruf ‘K’. Agar ekonomi bisa bergerak, kesehatan juga harus disentuh. Dan agar kesehatan bisa bergerak, ada kata ‘Teknologi’ yang bertemu dengan huruf ‘T’ pada Kesehatan.

Sayangnya para pejabat publik kita bukan lah penggemar Teka-Teki Silang apalagi Sudoku. Mereka lebih terbiasa hanya menggunakan ‘satu kata’. Kata itu entah ‘ekonomi’, ‘untung’, ‘rugi’, ‘pailit’, ‘bangkrut’. Karena tidak biasa main Teka-Teki, mereka tidak terbiasa menjawab serentak, bahwa antara ekonomi dan kesehatan itu bukan lah pilihan tunggal, tetapi dijawab dalam satu hela nafas. Salah menjawab, hanya membawa kematian.

Kecenderungan terbiasa menjawab ‘kata tunggal’ sebagai jawaban, memang tidak pas untuk main Teka-Teki Silang Covid-19. Sebab ketika yang dipikir hanya satu kata awal, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kata-kata berikut, kolom-kolom Teka-Teki Silang Covid-19 itu tentu kosong, atau tidak terisi.

Berhadapan dengan Teka-Teki Silang Kehidupan yang sulit ada kecenderungan orang segera meninggalkan permainan, atau bahkan melemparkan buku Teka-Teki ke dalam tong sampah sambil berseru, “Ini permainan buang-buang waktu, dan orang sudah mati.”

Ya, persoalannya kematian bagi setiap manusia itu pasti. Tetapi kematian banyak orang dalam rentang waktu yang agak sama katakan lah bagi ‘sebuah bangsa’ amat terkait dengan keputusan dan kerelaan para pemimpinnya untuk main Teka-Teki Silang dengan baik. Tidak hanya berpikir soal satu kata. Tidak hanya berpikir untuk diri sendiri.

Sehingga untuk bisa bermain, harus agak dewasa. Tidak boleh cemberut, lalu berkata “Saya ingin jadi virus untuk lawan Corona!” Ya, mungkin bisa, dalam bentuk ‘vaksin’, jika anda seorang peneliti biomolekuler yang nongkrong di Eijkman, atau kantor sejenis ini. Bisa juga anda mungkin menjawab ‘Saya ingin mencoba mendekati kematian, berikan saya virus corona, saya ingin kenalan dengannya.’ Tapi itu kan masih soal ‘Saya’. Bukan soal virus. Dalam Teka-Teki Covid-19, konsep bahwa saya penting, itu agak tidak penting. Sebab tanpa mengenali secara spesifik spike protein S1, protein permukaan pada virus SarCov2—bagian yang pertama berikatan dengan sel inang sebelum infeksi terjadi, tidak mungkin ada vaksin. Di sisi ini upaya untuk mencoba mengerti asal muasal virus corona bisa berkembang tidak terkendali tanpa mampu dikontrol oleh elemen lain, menjadi renungan tersendiri. Seharusnya riset inti semacam ini dibiayai negara, tetapi ketika negara dikuasai gerombolan perompak-pedagang, isinya kita cuma jadi distributor alat kesehatan bin toekang catoet, meskipun kaum ini sering disebut sebagai yang moelia pedjabat.

Di level industrialis, sudah lama sekian juta ‘saya’ ini merasa menguasai Planet Bumi ini, dan menganggap yang lain ada dalam kendali tangan Si Saya. Upaya melihat kembali rumah bersama dimulai di Eropa lewat renungan Laudato Si yang menjadi bagian percakapan di ruang dalam. Bahkan Si Charles, mantan suami Putri Diana, juga mengulang hal yang sama dalam World Economic Forum di awal bulan ini, ini saatnya memikirkan ulang ekonomi yang berkelanjutan. Tambang mangan dan semen, jelas bukan ya!

Karena Teka-Teki Covid-19 ini luas halamannya tidak sebesar kolom Teka-Teki Silang di Surat Kabar Minggu, tetapi ukurannya sebesar gabungan halaman muka-belakang Surat Kabar Harian, untuk mengisinya butuh kerjasama dengan banyak orang.

Masalahnya ada dua. Pertama, sudah lama kita terbiasa menjawab satu kata, bukan Teka-Teki Silang (mendatar-menurun). Kedua, sudah lama kita berpikir sendiri-sendiri dan bekerja sendirian pula sehingga untuk mengisi Teka-Teki sebesar dua kali halaman koran tidak mudah. Bagaimana mendengar jawaban 30 kawan lain? Atau 5 kawan terdekat yang ada dalam formasi elemen radikal bebas, dan bukan sekedar satuan setengah lusin kurang yang identik? Bahkan di titik ekstrim setengah lusin kurang identic ini ada dalam tawanan imajinasi jenis kelompok yang tersesat secara kolektif, hanya membawa kehancuran pada hidup bersama.

Sebenarnya itu bukan lah hal sulit, jika mau belajar bermain Teka-Teki, dan mau belajar bermain bersama-sama mengisi kolom-kolom Teka-Teki Silang.

Lho kok bermain? Ya, untuk melupakan sejenak ‘ancaman kematian karena salah mengisi kolom’, hal yang paling mudah dibayangkan adalah menganggap ini sekedar sebuah permainan. Kita hanya lah anak-anak yang sedang belajar. Agar beban itu sedikit ringan, dan kita bisa hela nafas seirama lagu zaman kita masih anak-anak, dan menjadi pusat perhatian seisi rumah.

Setiap orang pasti pernah menjadi anak-anak. Tetapi tidak setiap orang pernah mengalami rumah yang penuh tawa. Tidak semua orang beruntung. Makanya ‘Negara’ hadir untuk membantu keluarga, maupun anak-anak yang tidak diberi kesempatan itu.

Lalu ketika negara hanya menempatkan manusia sekedar kawanan (herd), yang dekat sekali dengan konsep ke-hewan-an, dan bukan ke-manusia-an, apakah itu masih disebut Negara? Supir angkot sebuah kota, atau sebuah negara mungkin menjawab ‘Kita tidak punya pilihan’.

Persoalannya, tidak semua pilihan itu terbuka, jika sejak awal ‘logika teka-teki silang’ tidak dipakai. Karena antara satu kata, atau angka sangat terkait dengan kedudukan kata dan angka yang lain pula. Untuk melihatnya butuh seribu mata pemain Teka-Teki.

Nah, rumitnya jika yang diajak untuk bermain bukan pemain Teka-Teki Silang, tetapi mereka yang diajak untuk menemani ‘bermain’ adalah pedagang setengah tukang catut. Baru tiba di kolom pertanyaan kedua, mereka sudah beramai-ramai mengajak, ‘Bagaimana kalau kita jual saja kolom Teka-Teki Silang ini, dapat berapa duit?’

Ini jelas jadi soal. Sebab meskipun anda tahu jawaban Teka-Teki, tetapi dalam mengatur kehidupan umum, ada Pemilu (Pemilihan Umum). Tapi kan, sejak lama Pemilu itu dijual bukan? Bahkan biasanya biar menambah unsur ‘kesegeraan’ yang membuat Pemilu itu serasa penting banget, biasanya ditambah unsur ‘hidup-mati’. Ya, agama. Sehingga makin hari yang terpilih orangnya makin lucu-lucu. Bahkan jika terlalu lucu, bikin kepala pening, sehingga perlu diganti sesering mungkin seperti pampers.

Lalu bagaimana?

Agar bisa bermain dengan baik kita perlu menerima logika Teka-Teki Silang maupun Sudoku. Berikutnya, karena butuh seribu mata anak-anak bahagia yang dipakai untuk menjawab maka perlu ada sistem (bersama). Sayangnya, sistem ini tidak mungkin dibangun, jika hanya dimulai dan diakhiri dengan kata ‘saya’. Karena kita sudah tahu, itu pasti salah. Apalagi jika dimulai dari kelompok yang suka mencuri, dan memanipulasi.

Saya dalam pengertian pejabat publik hanya berarti jika mampu menerjemahkan kehendak umum (general will) itu kata Si Rosseau. Saya mungkin mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan kolektif jika ada dukungan maupun publik berkenan menjatuhkan hukuman untuk yang melanggar, dan diberikan hukuman kata Si Weber dengan konsepnya soal ‘legitimasi’ satu abad kemudian setelah Rosseau.

Lalu, apa hukumannya untuk yang masih menganggap ‘Negara adalah Saya’? Konsep ini diperkenalkan oleh Raja Louis XIV tahun 1655 sebagai _L’etat, c’est moi_. Konsep ini lah yang dilawan Rosseau, yang menjadi salah satu kontributor ide dalam Revolusi Perancis (1789-1799). Pertanyaan di atas, dengan dijawab dengan kesadaran warga, yang menggantikan bangunan monarki absolut lewat revolusi. Embrio Republik pun hadir dengan munculnya Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des droits de l’homme et du citoyen). Itu kalau orang niat bernegara seperti orang-orang di negerinya Macron, yang terampil sekali menggunakan media, dan menjadi pemikir di garda republik. Sedang di sini, berpolitik masih seperti orang piknik, tidak ada pikirannya.

Jika hari-hari ini, di tahun 2020 formasi Negara yang berbentuk republik yang dihantam krisis virus, berbalik arah untuk menegakan prinsip kehewanan, maka telah cukup jauh virus berhasil menggoyahkan pikiran moderen tentang (warga) negara. Bahkan sebagian masuk kembali ke dalam konsep ruang sakral pencipta, dalam wawasan manusia yang terbatas, atau malah sekedar atas nama hubungan darah (primordial). Tetapi, sebagian besar yang muncul di era krisis ini adalah kombinasi antara kedua hal ini, ditambah dengan nalar pedagang setengah tukang catut, yang tidak ada nalarnya. Sebab nasib sekian juta warga disederhanakan seperi mereka sedang bermain lempar koin, ‘untung’ atau ‘rugi’.

Sedangkan posisi sekarang membutuhkan kebersamaan untuk menyelesaikan Teka-Teki sebesar dua kali halaman koran. Di era Revolusi Perancis, makhluk bernama virus belum lagi dikenal. Dalam dunia virologi, virus pertama, Tobacco Mosaic Virus disumbangkan oleh Ivanovsky di tahun 1892 dan Beijerinck tahun 1898. Sedangkan kata virus sendiri mulai dipakai sejak tahun 1728, untuk menyebutkan agen yang menyebabkan penyakit menular. Sedangkan sebagai sebuah konsep modern baru muncul di era Ivanovsky-Beijerink.

Kata sebagai konsep, dan angka sebagai indikator waktu sedikit membantu kita untuk berjalan, dan melihat tanda rambu bahaya, seperti panduan pertanyaan mendatar dan menurun dalam Teka-Teki Silang agar tidak keliru menjawab. Sebagai warga negara sebuah republik kita mempunyai hak untuk menolak keputusan yang keliru, maupun di saat yang bersamaan bekerjasama untuk menjaga warga negara yang lain tidak dibiarkan mati. Sebab membiarkan kematian warga negara adalah anti tesis dari konsep republik maupun warga negara. Persaudaraan (Fraternite) dan Persamaan (Egalite) adalah salah dua dari tiga konsep kunci republik. Dalam kedua konsep ini dimengerti bahwa ‘mereka yang mati adalah saya’, atau dalam Bahasa Dawan, bahasa daerah terbesar yang dipakai di Timor Barat, ungkapannya menjadi ‘Hit auk bian’, atau anda adalah bagian dari tubuh kita. Ini lah konsep dasar tubuh politik republik.

Sebelum lupa, di era krisis akibat pandemi, sebelum mengisi jawaban atas pertanyaan TTS No.2, pertanyaan No.1 perlu dilengkapi yang isinya soal kesehatan harus di-isi dengan benar, agar kita tidak hanya menunda kekalahan, atau masuk dalam krisis panjang tanpa ujung. Di sisi ini bakti terhadap publik menjadi syarat bergerak. Tanpa kecintaan pada manusia yang paling lemah, politik hanya kegiatan yang tidak ada artinya. Sekedar sirkus kawanan hewan, dan kumpulan para predator buas.

Di titik ini ketika konsep warga negara kosong dan diabaikan, partai-partai politik terasa semakin hari semakin menjadi ancaman untuk kehidupan rakyat. Trend berburu rente sampai mati jadi kebiasaan kolektif. Berhadapan dengan fenomena ini rakyat perlu belajar bergerak bersama, mengisi teka-teki silang sendiri, tetap gembira, dan memastikan agar Covid-19 tidak menggerus daya kritis.

*Sosiolog, peneliti di IRGSC, Anggota Forum Academia NTT

Thesis on Rote Since 1900

This is a work in progress. So stay tuned!

COLLECTIE TROPENMUSEUM Een portret van een Roti man met zijn vrouwen in vol ornaat

Haning, Jermi 2019. The Applicability of Customary Fisheries Management Principles for Managing Large-Scale Marine Areas: Rote Island, Indonesia. PhD Dissertation, Massey University, Manawatu, New Zealand.

Klaas, Dua Kudushana Singgih Yejezkial 2019. Assessing the sustainability of groundwater resources in a tropical karstic island (Rote Island, Indonesia) – PhD, Thesis, Swinburne University of Technology.

Listya, A. R. 2018. The Conceptualization and Sustainability of Rotenese Gong Music, Thesis, Doctor of Philosophy, University of Otago.

Balukh, Jermy 2018. A grammar of Dhao, a minority Austronesian language of Eastern Indonesia. PhD Diss. University of Leiden.

Pellu, Lintje H. 2008. A domain united, a domain divided : an ethnographic study of social relations and social change among the people of Landu, East Rote, Eastern Indonesia. PhD Diss. Anthropology, Australian National University.

Mahirta 2006. Human occupation on Rote and Sawu Islands, Nusa Tenggara Timur. PhD Diss. Australian National University [See Mahirta 2009. Prehistoric human occupation on Rote and Sawu Islands, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Oxford : Archaeopress, 2009.]

Basile, Christopher 2003. Tradition and change in Rotinese sasandu-accompanied song. PhD Thesis – Monash University.

Noach-Patty, Maria Agustina 1995. Gender, development and social change in Rote, eastern Indonesia. PhD Diss. University of Hull.

Fox. James J 1968. The Rotinese: A study of the social organisation of an eastern Indonesian people. PhD Diss. University of Oxford.

Muller Irmgard 1967. Die primären Textiltechniken auf Sumba, Rote und Timor. Doctoral thesis, Universität Basel.

Lihat juga: 200 Tahun Perkembangan Penduduk Rote Ndao dan Sabu Raijua

The Art of Evaluation in the Pandemic: Adaptation and Adjustment?

Jonatan A. Lassa

Abstract: Evaluation should be about meaning making exercise. In the middle of COVID-19 pandemic, it is timely to reflect on what are the most valuable (or important) questions for evaluation industry today? Should they be about “How to questions” such as: How to conduct project/ program evaluation in the middle of pandemics? How to scientifically perform a project/program evaluation in the middle of a crisis characterised by VUCA (vulnerability, uncertainty, complexity and ambiguity)? Or, how evaluation industry cope with COVID-19? Long interruptions and delays in evaluation services might bring some existential challenges to the industry. In trying to deal with these questions, I will briefly discuss the history of evaluations science in the last 50 years while briefly outlines a framework for evaluation in the middle of the pandemic.

Disclaimer: Penulis menggunakan Evaluasi (huruf kapital) yang bermakna kata benda – yakni Evaluasi sebagai sebuah disipilin ilmu atau dimulainya kalimat. Sedangkan evaluasi (huruf kecil) bermakna kata kerja sebuah proses penilaian kinerja, capaian atau perubahan sosial. Disampaikan dalam “CIRCLE Indonesia will conduct Webinar with topic Evaluation Approaches in the Context of COVID-19 Pandemic.”

Introduction – Evaluation Science: The field turns > 50?

Usia evaluation science sebagai sebuah disiplin atau sub-disiplin ilmu sosial, belum lama. Setidaknya, pendekatan ilmiah/akademis/ilmu dalam evaluasi baru berusia 50 tahun. Minimal ada tiga gelombang studi evaluasi dengan proxy diterbitkannya jurnal-jurnal ilmiah terkait evaluasi. Gelombang pertama adalah periode paruh akhir 1970an-1980an. Gelombang ke dua adalah 1990-hingga era awal 2000an. Gelombang ke tiga adalah di mulai dekade ke dua abad 21.

Gelombang pertama di tandai oleh lahirnya berbagai scientific journal di Amerika Utara seperti Studies in Educational Evaluation yang terbit tahun 1975 (yang awalnya berfokus pada namun tidak terbatas evaluasi kurikulum dan proyek pembelaran) dan Evaluation and Program Planning yang dalam terbitan pertamanya (1978) lebih jelas dalam posisi filosofis dan reflektif (Lihat Evaluation: Manifestations of a new field). Lahir juga New Direction for Program Evaluation di 1978 memberi posisi yang lebih tegas bahwa Evaluasi  Era ini bisa dikatakan di dominasi atau tepatnya dipimpin oleh American Evaluation Association yang membidani lahirnya Evaluation Review tahun 1977, Evaluation and the Health Professions tahun 1978, dan American Journal of Evaluation tahun 1981. Praktik di Amerika Serikat di kemudian ikuti oleh jurnal Canadian Journal of Program Evaluation oleh Canadian Evaluation Society di tahun 1986. (Lihat Tabel 1).

Yang patut di pahami adalah era ini di juga tandai dengan masifnya distribusi kegagalan mesin birokrasi pemerintah di seluruh penjuru dunia (baik di yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan governance (governing beyond government dengan kesadaran baru atas pentingnya bisnis dan organisasi non-government) (Lihat Lassa 2011). Efek gerakan ini termasuk dorongan lahirnya good governance dan akuntibilitas pemerintah baik di negara maju maupun negara-negara miskin dan berkembang. Alasan utama meningkatnya praktik evaluasi di era 1970an di rekam oleh Flaherty &  Morell 1978 dengan empat observasi: pertama, tuntutan akuntibiltas; kedua, meningkatnya ketertarikan limuan social atas relevansi evaluasi; ketiga, sedikitnya sumber pengetahuan dari ilmu social tradisional; dan berkembangnya metode-metode yang berguna bagi penelitian-penelitian aplikasi.

Gelombang ke dua di tandai paska 1990an-2000an awal, sebuah periode di mana praktik-praktik evaluasi dan akuntibilitas mulai di adopsi secara global di luar Amerika Serikat baik dalam konteks pembangunan domestic maupun bantuan-bantuan kemanusian dan pembangunan luar negeri maupun kerangka-kerangka pembangunan internasional seperti Millennium Development Goals Tahun (2000). Hal ini di tandai dengan lahirnya Evaluation – the international journal of theory, practice and policy yang dipelopori European Evaluation Society di Tahun 1995; Evaluation Journal of Australasia oleh Australian Evaluation Society tahun 2001. Terbitnya Zeitschrift für Evaluation di Jerman tahun 2002. Journal of MultiDisciplinary Evaluation yang di terbitkan pertama kali oleh Simon Fraser University di Kanada tahun 2004.

Name of Evaluation JournalsFocusFirst EditionH-Index / and Q IndexPublishers
Studies in Educational EvaluationGeneral- multidisciplinary197533 [Q2]Elsevier
Evaluation Review  General- multidisciplinary197750 [Q1]American Evaluation Association via SAGE
Evaluation and Program PlanningDevelopment Studies and Planning197854 [Q2]Elsevier Ltd.
New Directions for EvaluationGeneral- multidisciplinary197835 [Q3]Wiley-Blackwell
Evaluation and the Health ProfessionsNursing and Health197849 [Q2]American Evaluation Association via SAGE
American Journal of EvaluationGeneral- multidisciplinary198148 [Q1]American Evaluation Association [via  SAGE]
Performance Evaluation  General- multidisciplinary198159 – Q1Elsevier Ltd.
Canadian Journal of Program EvaluationGeneral- multidisciplinary198613 [Q3]Canadian Evaluation Society
Research Evaluation  General- multidisciplinary199141 [Q1]Oxford University Press
Evaluation – the international journal of theory, practice and policy  General- multidisciplinary 199544 [Q1]European Evaluation Society via SAGE
Journal of Evaluation in Clinical PracticeNursing and Health199565 [Q2]Blackwell
Evaluation Journal of AustralasiaGeneral- multidisciplinary2001N/AAustralasian Evaluation Society [Sage]
Zeitschrift für EvaluationGeneral- multidisciplinary20026 [Q4]zfev.de
Journal of MultiDisciplinary EvaluationGeneral- multidisciplinary2004N/Asfu.ca/
Journal of Development EffectivenessDevelopment Studies and Planning201118 [Q1]Taylor and Francis
International Journal of Assessment and Evaluation  General- multidisciplinary 20132 [Q4]Common Ground Research Networks
African Journal of EvaluationGeneral- multidisciplinary 20133 [Q2]African Evaluation Association via AOSIS

Sumber: Penulis

Gelombang ketiga ditandai dengan gerakan global soal evidence-based policy – – terutama di Global South karena dukungan industry bantuan internasional, termasuk gairah yang besar dari donor-donor untuk memperkuat sektor think tank atau aliran NGO yang berfokus pada pengetahuan di periode ini. Lahirnya African Journal of Evaluation oleh African Evaluation Association (di tahun 2013). Walaupun aksi kolektif asosiasi evaluasi (Voluntary Organization for Professional Evaluation) dari berbagai negara kemudian membentuk secara formal International Organization for Cooperation in Evaluation di tahun 2003, namun secara signifikan baru terlihat dampaknya secara global setelah dekade ke dua. Hal ini juga bisa di lihat dalam konteks berkembangnya InDEC yang dimulai sejak 2007/2008 dan berkembang menjadi sebuah organisasi asosiasi formal di tahun 2012.

Belum jelas apakah akan lahir jurnal-jurnal baru terkait visi pemenuhan capaian Sustainable Development Goals dan Paris Accord, atau tidak dan apakah cukup perkembangan terkait data-science dan big-data untuk evaluasi program akan cukup dengan outlet studi evaluasi yang telah ada saat ini.

Mengapa di mulai dari Sejarah?

Mengapa untuk menjawab bagaimana adaptasi Evaluation Industry dalam COVID-19 harus gali sejarah Evaluasi? Referensi epidemic terdekat adalah krisis SARS 2003, H1N1 2009 ataupun MERS 2012. Tetapi karena skalanya tidak sama, maka bayangan yang bisa dipakai adalah Spanish Flu 1918-20. Sayangnya, ilmu evaluasi belum setua sejarah pandemik di Bumi.

Karena itu tiga alasan utama mengapa sejarah di atas penting dalam menjawab pertanyaan dalam konteks Indoensia. Pertama, perlu ditekankan bahwa ilmu evaluasi walau makin matang sebagai sebuah disliplin/profesi, tetap masih bersifat baru. Kedua, kita tidak punya dokumentasi yang cukup – misalkan bagaimana proses evaluasi program/proyek yang serupa krisis COVID-19 saat ini. Dari penggalian sepintas, melalu berbagai Teknik penggunaan kata kunci, sulit di dapatkan pengetahuan yang memadai terkait bagaimana melakukan adaptasi dalam proses evaluasi di era pandemic.

Ketiga, seperti ilmu kebencanaan yang saya geluti (termasuk soal bagaimana evaluasi dalam konteks bencana dan bencana dalam teropong ilmu evaluasi) yang masih belum tua (misalkan, jurnal bencana pertama kali pun terbit 1977 – lihat Disaster), dan dalam konteks Indonesia, ilmu evaluasi secara scientific belum lama terbentuk.  Dalam konteks community development evaluation (dalam disiplin development studies) di Indonesia, proses terbentuknya komunitas lebih di dorong oleh communities of practice ketimbang sebuah visi akademis.  Sebuah proses yang kontras dengan komunitas Ilmu Pendidikan di Indonesia di mana mulai bermunculan jurnal-jurnal evaluasi di era gelombang ketiga ini seperti Jurnal Evaluasi Pendidikan (JEP) oleh Universitas Negeri Jakarta tahun 2011 dan Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan oleh Universitas Negeri Yogyakarta yang di mulai 2008.

Di Indonesia, Evaluasi di luar komunitas ilmu Pendidikan, misalkan studi pembangunan, ekonomi, perencanaan dan sebagainya, belum ada panduan yang jelas soal arah evaluation science khas Indonesia. Praktisi Evaluasi cenderung dihasilkan dari ‘learning by doing’ atau ‘on the job training’ dan ada kecenderungan ketergantungan pada dogma dan text-book Lembaga-lembaga donor. Karenanya, dalam konteks inovasi (khususnya process innovation maupun product innovation (dalam konteks evaluation tools dsb) kita cenderung masih berjalan di tempat.


Lalu Bagaimana Evaluasi di Era Pandemic?

Lockdown membuat traveling untuk field evaluation menjadi tidak mungkin. Bukan hanya industry Evaluasi yang terkena imbas. Hampir semua kegiatan penelitian di berbagai universitas di duniapun terhambat karena mobilitas adalah bagian penting dalam proses-proses kegiatan evaluasi dan penelitian.

Lalu bagaimana kita melakukan evaluasi di Era Pandemic dalam konteks di Indonesia? Saya berpendapat bahwa jawabannya mesti digali dan ditemukan oleh kita sendiri. Sejauh ini tidak ada pengetahuan mendominasi soal bagaimana melakukan evaluasi di era COVID-19. Untuk beberapa alasan. Pertama, hampir semua komunitas evaluasi internasional, sebagai misal, Australian Evaluation Society juga masih mendokumentasi pengalaman evaluasi di era pandemic ini.[1] Dan tidak banyak yang bisa di baca dari European Evaluation Society ataupun American Evaluation Association. Kedua, peer-reviewed literature terkait evaluasi lebih banyak terkait sisi medis dari COVID-19.

Hal ini berarti kita harus melakukan beberapa pilihan realistis yang coba saya rangkum untuk di diskusikan dalam Webinar hari ini. Pendekatan di bawah ini

Pertama, dan yang paling utama adalah memastikan prinsip dan etika evaluasi itu sendiri, baik ada atau tidaknya badai Pandemik, bahwa keselamatan semua pihak baik evaluator, client/staff dan responden (seperti penerima bantuan  – dalam konteks community development project; maupun stakeholder terkait termasuk pemerintah dan pihak terkait lainnya). Dalam konteks di mana pilihan hanya memungkinkan dilakuakan secara remote evaluation, kita perlu bertanya apakah memang kegiatan evaluasi yang anda lalukan adalah sebuah keharusan (dalam segala alasannya termasuk menolong industri evaluasi tetap bisa hidup). Hal ini termasuk di dalamnya focus pada mental health semua pihak; maupun akses pada bandwith dan teknologi (mobile phones) dan quality of engagements.

Kedua, terkait point pertama di atas, adalah renegosiasi dengan clients terkait scope dan pendekatan penelitian dengan target dan potensi  modifikasi aktiviitas. Hal ini tergantung pada status project evaluation anda, apakah sudah atau belum diikat formal agreement.

Tiga, Pentingnya pendekatan experimental and explorative sambil bertanya: What is possible? Tidak ada salahnya berimajinasi dan mencoba memberikan panduan terkait pendeketan-pendekatan exploratif yang sesuai konteks dan keinginan/kemauan users/clients maupun soal realistisnya akses pada stakeholder program/project dalam konteks remote evaluation atau digital-based evaluation.

Empat, adaptasi metodologis [To be explored/explained in details when time is available].

  • The traditional methods: Desk research methods, Content analysis; Discourse analysis
  • Phone interviews; and precautionary approach to face to face with solid risk reduction measures.
  • Emerging methods: live interviews (Skype, Zoom, Google Meeting etc.); Social media data collection (WA survey tool; Online survey; Facebook); Big-data approach to evaluation; Webinar videos as data; Online FGDs; The use of Kobo and others.
  • Secondary data analysis from both projects and external data. Like research, evaluation is about meaning making. Banyak Lembaga yang sudah memiliki sistim Monev dengan proses rekaman aktivitas monitoring yang rutin dan kaya; Kebanyakan dari rekaman-rekaman ini akan tersimpan dalam hard drive mereka untuk selama-lamanya tanpa bisa di konversi menjadi pengetahuan. Sedangkan data hanya bisa bermakna bila pemahaman atas teori dan konsep tentang (namun tidak terbatas pada) social change sebagai agenda utama proyek-proyek pembangunan sosial dan kemanusiaan. Bila dibarengi dengan penguasaan teknologi seperti Teknik coding yang berbasis aplikasi seperti NVivo atau Atlas.ti atau MAXQDA termasuk yang Open Source / free seperti RDQA.
  • Dalam hal ini industry evaluasi juga wajib adaptive terhadap perkembagan teknologi dan implikasi metodologis.
  • Bila evaluasinya terkait COVID-19 non-medis, maka pilihannya bisa dengan real-time evaluation dengan penggunaan berbagai emerging methods di atas.

Lima, terima kenyataan bahwa tidak semua evaluasi mesti dilakukankarena hidup lebih penting dari kegiatan-kegiatan yang bisa di tunda.

Reference

Anderson, S.B. 1978. Editor’s notes: The expanding role of program evaluation. New Directions for Program Evaluation, https://doi.org/10.1002/ev.1195

Flaherty, E.W., and Morell, J.A. 1978. Evaluation: Manifestations of a new field. Evaluation and Program Planning 1(1): 1-10

Lassa, JA. 2011. Institutional Vulnerability and Governance of Disaster Risk Reduction: Macro, Meso and Micro Scale Assessment. PhD Thesis – University of Bonn.


[1] Lihat AES’s COVID-19 update (16/04/2020)  

New Normal, Sindrom 72 M, dan Bahasa Rejim

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Ketika rakyat berharap ada langkah terobosan yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi krisis yang mulai terasa dalam menghadapi pandemi Covid-19, hal pertama yang diberikan oleh pemerintah adalah memberikan jargon baru: New Normal. Kondisi ini khas sekali terjadi di Indonesia dalam sekian puluh tahun.

Ketika berhadapan dengan krisis perang dingin dan ketidakmampuan elit duduk bersama memecahkan persoalan bangsa, hal pertama yang dipikirkan Soeharto dan kawan-kawan adalah bikin kata baru: Orde Baru. Bahwa isinya kadaluwarsa atau tidak, itu tidak penting. (Ya, bukan cuma itu dibikin juga bahasa gaya baru: EYD. Bahwa itu sempurna menurut siapa, kita juga diam. Bahwa itu adalah bagian dari ‘politik bahasa rezim’, kita juga terlalu penurut untuk kritis.)

Hal serupa kembali terjadi ketika Indonesia dihantam badai krisis finansial, penyakit tua, dan berhadapan dengan marahnya anak muda, maka elit pengrajin kata-kata menghasilkan kata baru: reformasi. Jika orang bertanya apanya yang ‘direformasi’? Maka semua ramai-ramai mulai bersuara menyerupai tawon. Suaranya ribut dan bulat.

Kurang lebih 20 tahun kemudian, kata ‘reformasi’ jarang mau dipakai ulang dalam perbincangan lagi. Orang tahu bahwa kata-kata ini tidak berarti apa-apa. Kata ini lebih menyerupai penanda perampokan besar-besaran yang dilakukan secara legal untuk sesuatu yang seharusnya dijaga. Tapi, sudah lah, orang juga sudah merasa lebih baik dengan menyatakan ekspresi dengan ‘kata baru’.

Apakah kita belajar dari kelakuan yang sama setiap berhadapan dengan krisis? Pandemi yang menghantam Indonesia dan membuka selubung ketidakmampuan sistem maupun struktur untuk berhadapan dengan model perang baru di era bio security, hanya dijawab dengan kata-kata baru: “New Normal”. (Para oposisi karbitan juga tidak lebih kritis, mereka datang dengan jargon baru: Presiden Baru. Embrio akademisi juga sama, cuma jadi bebek. Aktivis bagaimana? Ya hanya bisa halusinasi ‘orde baru kembali’.)

Jadi jawaban atas pertanyaan di paragraf di atas adalah: tidak. Kita tidak belajar. Ketika ‘elit teknologi’ dunia bergerak berpindah menamai 2019-nCoV menjadi SARS-CoV-2, hal terbaik yang bisa dilakukan di Indonesia malah menyediakan pabrik kata-kata, menyediakan dana sebesar 72 Milyar rupiah untuk buzzer.

Kecenderungan orang Indonesia untuk berhalusinasi dalam dunia virtual memang mengkhawatirkan. Jika kaum setengah melek, sibuk nonton video konspirasi kelas youtubers, maka untuk kaum hawa maupun kaum adam yang senang melodrama, era pandemi disuguhi dengan ‘drama korea’. Sedangkan pemerintahnya, tetap tidak belajar. ‘Sindrom 72 M’ ini kembali dalam wajah lain ‘New Normal’.

Tetapi bukankah sekarang ini rakyat kita sudah sangat menderita sehingga pemulihan ekonomi harus dilakukan segera? Jujur saya bingung dengan pertanyaan ini. Di satu sisi kondisi rakyat begitu sulit, ada yang sudah mulai mengurangi frekuensi makan. Ada lagi yang telah mengirimkan anak-istri pulang kampung, dan bertarung sendiri di kota. Tetapi, fakta yang menyatakan pemerintah bekerja terbaik memikirkan mereka yang paling lemah itu juga menjauh.

Di level pemerintah kota, hal utama yang paling dikhawatirkan adalah PAD (Pendapatan Asli Daerah) berkurang drastis. Ini yang membuat alokasi dana Covid-19 yang diteriakan oleh pemerintah dari sekian level sejak Maret, seperti sedang ‘break dance’ leher patah. Jumlahnya besar, tapi tidak terasa, dan tidak tampak. Lalu muncul lah ide, semakin cepat ‘memasuki’ era ‘New Normal’ semakin PAD bisa diselamatkan, semakin ekonomi bisa bergerak. Ini juga halusinasi.

Setelah Jakarta, Surabaya berhadapan dengan kesalahan logika yang sama. Sejak kapan rokok menjadi industri esensial?
Cluster rokok mengubah peta Surabaya, menjadi merah kehitam-hitaman. Lebih buruk lagi koordinasi di level pemerintah provinsi dan kota juga tidak padu. Jika di Surabaya yang satu pulau saja demikan, bisa dibayangkan untuk kondisi koordinasi untuk kepulauan NTT.

Di NTT, para birokratnya mirip robot koin. Ketika koin masuk, ke kepala maka robot kucing pun bergerak maju, mundur dengan kata ‘New normal, new normal, new normal…’ Selanjutnya kita sudah paham, Sindrom 72 M berjalan cepat. Kali ini para pemimpinnya mulai bergerak membentuk panitia di setiap skala, lalu satu sama lain rajin google dan copy-paste bikin protokol.

Tapi, bukankah orang butuh panduan? Iya panduan jelas harus seperti pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak fisik. Masalahnya, kita yang ‘bangsa Indonesia’ 267,7 lebih juta ini apakah hanya mampu menghasilkan protokol, dan tidak mampu menghasilkan lompatan untuk keluar dari krisis akibat pandemi ini?

“Kamu ngomongnya jangan muter!”

‘Bukan muter atau taputar (dalam Bahasa Kupang), tetapi pakai pikiran, kepala dipakai, naluri hidup dipakai.’

Virus ini varian terbaru yang dikenal di dunia mikrobiologi. Tetapi, berapa banyak kaum ilmuwan mikrobiologi, para dokter patologi klinis, pakar biomolekuler, epedemiolog yang diajak duduk, dibuatkan tim khusus, diberikan dana cukup, dan biarkan mereka memberikan rekomendasi? Yang ada, mereka yang punya mata ilmu untuk melihat ini, hanya dijadikan bawahan kaum kapitalis birokrat. Ya, dipakai jika dibutuhkan untuk jadi figuran, tetapi tidak dipakai untuk membantu untuk memahami persoalan ini dengan sebaik mungkin, dan diajak membuat lompatan jalan keluar.

Tiga bulan awal pandemi, terhitung sejak awal Maret, para pejabat benar-benar ‘diospek’ untuk menjadi pelayan rakyat (Cilvil Servant). Yang paling lelah adalah mereka yang bekerja di sektor kesehatan dan keamanan. Ini lah dua elemen esensial, selain logistik, yang mulai ada di titik jenuh. Kelelahan mereka adalah hal terbaik dari kemanusiaan dan patriotisme yang menolak untuk takluk.

Lantas bagaiamana di level elit? Apakah mereka itu mikir? Apakah mereka itu berbuat yang terbaik? Berapa lama kalkulasi mereka kita ada dalam situasi Perang Covid-19?

“Coba ulang pertanyaan terakhir Tong, ‘perang’ katamu, yang benar itu ini dianggap libur panjang, pikirannya ya libur.”
Ya, sudah Tong saya tahu kamu kecewa, dan alasanmu juga valid. Bagaimana mungkin berhadapan dengan Perang Covid-19, kalian maju tanpa komando dan koordinasi? Bahkan anggaran Covid-19, tidak mengenal prioritas kedaruratan? Orang di Tiongkok bikin rumah sakit dalam seminggu, di sini nyaris tiga bulan proposal pool test atau test massal dengan menggunakan qPCR baru sampai pada tahap ‘terdengar’.

Kemarin siang (4 Juni 2020) di RRI (Radio Republik Indonesia) siaran pusat saya mendengar Presiden Jokowi menargetkan 10 ribu tes, dan akan menargetkan 20 ribu tes. Bahkan kata wartawan RRI ’10 ribu tes itu walaupun pernah mencapai target, masih berjalan naik turun, kadang mencapai, kadang tidak’.

Dalam hati saya menangis. Presidenku, kenapa dirimu tidak didampingi oleh pemikir terbaik? Dan kau dipermalukan sedemikian rupa. Bangsa kita dipermalukan sedemikian dalam. Mengapa kalian biarkan simbol negara kita dijadikan lelucon?

Dengan satu mesin qPCR, dengan menggunakan 1 regen, anda bisa melakukan test swab massal. Tinggal pilih angka yang harus disesuaikan rentangnya 30, 40, 50, 100. Artinya apa? Jika dengan menggunakan mesin qPCR kita sedang bermain di level kelipatan. Artinya 10 ribu tadi dikali 30, dikali, 40, dan dikali 50, bahkan 100. Kuncinya PCR “yang diadakan” bukan hanya PCR klinis, yang hanya bisa periksa otomatis 1 swab=1 regen. Tetapi gunakan qPCR, biarkan tangan-tangan laboran para ahli biomolekuler terlibat bisa mengerjakan apa yang mereka biasa mereka kerjakan.

Artinya jika para ahli biomolekuler dilibatkan maka 10 ribu tadi bisa mencapai angka 100.000 dalam kecepatan yang sama seperti saat ini. Artinya dalam sepuluh hari kita bisa tes 1 juta orang. Artinya apa? Artinya New Normal itu itu bukan cuma di level jargon Pak! Kita bisa lebih cepat lagi jika menggunakan air ludah untuk tes, dan lebih murah.

Lalu PCR klinis yang sudah ada dibuang? Tidak juga, tetap dipakai, tetapi dilengkapi qPCR agar PCR tidak hanya dipakai sebagai alat uji klinis—seperti yang sudah ada, tetapi alat surveillance! (Argumentasi ini saya rekam dari seorang sahabat, seorang ahli biomolekuler yang berjibaku mencari jalan keluar dalam rimba birokrasi)

Lalu orang mengeluh, ekonomi kita harus maju, rakyat harus makan. Tetapi PR tidak dikerjakan. Bukankah yang sedang kalian lakukan ini adalah pembiaran? Bagaimana mungkin ‘New Normal’ dikampanyekan dengan harga 1,5 juta hingga 2,5 juta rupiah per 1 swab. Atau dengan 260 ribu per rapid tes yang berlaku hanya tiga hari? Mengapa jalan lain yang lebih murah dan massal tidak dikerjakan? Tes swab bisa turun ke level 30 ribu, bahkan 15 ribu, jika dilakukan massal. Selain lebih presisi, lebih murah. Pembatasan sekaligus pembukaan ruang terbatas akan mungkin dilakukan dengan lebih percaya diri.

Sadar atau tidak sadar dalam ‘perang biologi’ terkini qPCR adalah radar. Menolak untuk menggunakan radar, artinya membiarkan musuh masuk dan mengobrak-abrik tanpa ampun. Bahkan jika saat ini jika para pejabat masih menganggap situasi kita hanya sekedar ‘liburan panjang’, maka sesungguhnya kita sedang terlena dengan sekian kemungkinan jika perang itu berlangsung bertahun-tahun. Sejarah Spanish Flu, tidak perlu diuraikan di sini, buku PDF-nya bisa dibaca, jangan hanya di-share.

Jadi sosialisasi ‘New Normal’, tanpa lompatan teknologi tidak lebih dari mengulangi kesalahan yang sama. Rakyat sekedar tumbal, tanpa para elit berpikir dalam level terbaik untuk menjaga keselamatan bersama. Pun, menegasikan New Normal, tanpa mengerti akar persoalan juga tidak membawa kita kemana-mana.

Keselamatan dalam terminologi warga negara, selalu dimulai dari titik terlemah. Logika universal basic income, juga mulai dari ide dasar ini. New Normal bukan lah hukuman untuk rakyat jika para pemimpin sudah menghitung dampaknya untuk mereka yang paling lemah. Hanya dengan tanggungjawab ini lah anda layak disebut pemimpin, dan bukan robot kucing.

Sayup-sayup terdengar suara elektronik “New normal, new normal, new normal….”

Semoga itu bukan panggilan kematian.

*Anggota Forum Academia NTT

‘Perampokan’ Akademik di Indonesia: Mitos atau Kenyataan?

Source: mimiandeunice.com from http://www.csun.edu/undergraduate-studies/academic-first-year-experiences/promoting-academic-honesty-resources-workshop

‘Perampokan’ Akademik di Indonesia: Mitos atau Kenyataan?

Jonatan A. Lassa[1]

Disclaimer: Artikel ini merupakan hasil observasi dan refleksi panjang tetapi bukan merupakan penelitian yang sistimatis. Karenanya hipotesis di bawah perlu di kritisi dan/atau dilanjutkan oleh penelitian yang lebih sistimatis. Terminologi “Perampokan Akademik” ini kami pinjam dari Dr Izak Lattu di UKSW.

Saran Kutipan: Lassa, JA. 2020. ‘Perampokan’ Akademik di Indonesia: Mitos atau Kenyataan?. Disampaikan dalam Webinar “Menghindari Perampokan Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi” Oleh Pusat Studi Agama Pluralisme dan Demokrasi & Pusat Kajian Kelembagaan, UKSW Salatiga 3 Juni 2020.

Pendahuluan: Definisi

‘Perampokan akademik’ di sini di maknai sebagai sebuah demontrasi kekuasaan yang eksploitatif dari pengajar-peneliti universitas dengan dua fenomena utama: Pertama, tesis/disertasi mahasiswa Strata 1 dan Strata 2 diambil oleh dosen pembimbing dengan atau tanpa persetujuan / sepengatahuan mahasiswa bersangkutan lalu di kirimkan ke jurnal ilmiah maupun konferensi, dengan atau tidak sama sekali menempatkan mahasiswa sebagai penulis artikel/kertas akademik.

Fenomena kedua, demonstrasi ekspolitasi yang dilakukan oleh mereka yang berposisi lebih senior baik umur maupun posisi (seperti ketua jurusan, dekan atau bahkan rektor sekalipun) dengan modus operandi di mana tanpa kontribusi intelektual (yang memadai), baik di level jasa editorial juga proof reading maupun kepakaran, mengambil hasil karya para sub-ordinatnya dan mengklaim sebagai karyanya dengan menempatkannya sebagai penulis pertama dengan mengirimkannya kepada penerbit atau editor jurnal ilmiah. Fenomena ke dua ini termasuk eksploitasi pembimbing doktoral dalam mengambil draft disertasi mahasiswa Strata 3 lalu mengirimkannya ke journal dengan menempatkan dirinya sebagai penulis pertama tanpa sumbangan yang berarti.

Empat Hypotesis Akar Masalah ‘Perampokan Akademik’

Sedikitnya terdapat empat hypothesis mendasar yang menjelaskan maraknya ‘perampokan’ akademik di Indonesia. Hipothesis 1, dalam konteks kompetisi perguruan tinggi dunia termasuk di Indonesia, para pengajar perguruan tinggi berhadapan dengan tuntutan publikasi tanpa tiga sumberdaya utama yang: waktu penelitian, dana penelitian dan kualitas ekosistim penelitian yang memadai termasuk sumber bacaan yang kurang, sistim perpustakaan yang kurang mendukung dan sistim meritokrasi penelitian yang juga senyap kalau tidak mau dibilang masih hilang/dihilangkan.

Implikasi dari hypothesis 1 ini kemudian bertabrakan dengan kebijakan Lembaga perguruan tinggi dalam menetapkan syarat publikasi tesis Strata 2. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu. Dalam pengalaman penulis, di beberapa negara Dunia Pertama, tesis Strata 2 tidak dipaksakan untuk dipublikasikan ke jurnal ilmiah. Dalam konteks Indonesia, karena desakan kompetisi, berbagai perguruan tinggi kemudian menjadikan hal ini sebagai kebijakan formal di mana syarat kelulusan universitas program Strata 2 diwajibkan untuk mempublikasikan tesis-tesis strata 2 di jurnal-jurnal tanpa akreditasi sekalipun. Di banyak universitas di Australia maupun Jerman di mana penulis pernah berinteraksi, tidak ada kewajiban publikasi bagi semua strata. Dan sebagai pengajar Strata 2 di sebuah universitas di Australia, pengalaman menunjukan bahwa dari 10 tesis mungkin hanya 1-2 tesis yang bisa di modifikasi untuk menembus jurnal-jurnal Q1 ataupun Q2. Itupun, karyanya (isi dan editorial) harus diadaptasi dengan standard yang tinggi dan tanpa bantuan editing pembimbing, sangat sulit bisa diterima di jurnal berkualitas. Secara umum, berdasarkan pengalaman interaksi dengan peneliti senior lainnya baik di Singapure, Australia maupun Amerika Serikat, tesis Strata 2 yang bersifat coursework program seperti di Indonesia (yang tidak berbasis 100% full time higher degree research program), tidak diharapkan sama sekali menjadi obsesi penelitian universitas.

Hypothesis 2, buah jangka panjang akibat dari kebijakan recruitment dosen atau pengajar tanpa pertimbangan meritokrasi yang kokoh. Misalkan, yang kita lihat di Indonesia Timur dalam beberapa tahun terakhir, kampus-kampus rutin merekrut dosen-dosen baru yang tanpa portofolio penelitian dan kumpulan karya tulis di level yang memadai. Sedangkan di lain pihak, beberapa rekan-rekan (Strata 3) yang memiliki portofolio penelitian yang memadai dari berbagai perguruan tinggi bereputasi di Eropah mapun Amerika Serikat yang balik kampung kerap ditolak dengan dalil ‘tidak ada posisi’[2] atau kalau pun ada posisi, dengan mudah dikatakan ‘gagal administrasi online’.[3]

Di Banda Aceh, kritik atas recruitment yang tidak berbasis merit ini berujung pemasungan kritik dan pemenjaraan akademisi.[4]

Di lain pihak, makin banyaknya alumnus Strata 2 dan 3 luar negeri yang pulang kampung dengan Investasi LPDP dan beasiswa lainnya tidak di barengi dengan sikap proaktif Pendidikan tinggi lokal dalam mencari talents segar. Alumnus-alumnus ini kemudian sering menemui jalan buntu masuk ke universitas di daerah, terutama universitas negeri.

Kombinasi dari hypothesis 1 dan 2 di atas berujung merosotnya daya berpikir kritis. Dampaknya kemudian skripi Strata 1 pun dianggap sebagai sebuah karya layak tayang di level journal ilmiah. Dalam pandangan pribadi, saya berpendapat bahwa sejati dan umumnya skripsi level Strata 1 bukanlah sebuah karya ilmiah yang lazim dikenal sebagai proses produksi pengetahuan baru. Beban menghasilkan pengetahuan baru tidak layak dipikul oleh mahasiswa Strata 1.

Walau selalu saja muncul para talents dan calon ilmuan masa depan dari proses ini, Skripsi Strata 1 adalah sebuah karya dari proses magang atau latihan menulis-meneliti tahap dasar – sebuah proses sangat awal dari rangkaian proses melahirkan intelektual dan ilmuan bagi penduduk bumi. Pendapat ini tidak berlebihan. Dalam tradisi berpikir yang lain termasuk di Australia, Strata 3 pun merupakan sebuah proses yang bisa dianggap sebagai proses ‘magang’ meneliti dan menulis (Scott 1998).

Tentu, seperti yang sudah kami utarakan, selalu saja ada talents yang menulis skipsi S1 atau tesis S2 dengan sangat baik dan mungkin saja layak tayang ke journal ilmiah. Tetapi kebijakan publik terkait publikasi tidak bisa didasarkan pada kasus outliers. Perlu flexibilitas sehingga yang berkualitas bisa diakomodasi tetapi tidak bisa memaksakan publikasi karya tesis strata 2 apalagi strata 1 secara mengkambing-buta.

Hypothesis 3, tradisi ekpolitasi akibat ketimpangan relasi kuasa di universitas. Di satu pihak ada pembimbing (supervisor) sebagai yang ‘berkuasa’ meluluskan atau menggagalkan/menunda kelulusan mahasiswa. Di pihak lain ada mahasiswa yang berada dalam posisi rentan karena berada dalam persimpangan jalan kehidupan di mana banyak ketidakpastian hidup yang harus di jalani; Dan masa depan yang harus digapai apapun taruhannya termasuk kompromi dengan keadaan eksploitasi.

Eksploitasi sistemik sering menyatu dalam budaya akademik yang direproduksi dalam konteks kelembagaan universitas yang tidak memiliki sistim kontrol dan akuntibilitas. Tentu ini bukan monopoli Pendidikan tinggi di Indonesia. Sebagai misal, mahasiswa doktoral di Tiongkokpun memiliki sikap ‘nrimo’ manakala pembimbing level doctoral mengambil karyanya dan mengirimkan ke jurnal tanpa ijin dan tanpa memasukan nama yang bersangkutan – setidaknya satu dua dekade lalu. (Trompenaars 1993 in Ingleby and Chung 2009).

Hypothesis 4, ketidadaan visi penelitian sebagai proses produksi makna. Ketiadaan visi penelitian sebagai ‘meaning making’ ini kemudian mereduksi penelitian dalam pabrikasi kata-kata yang terstruktur tanpa kejelasan manfaat bagi masyarakat manusia. Tujuan penelitian sejatinya adalah membuat dampak. Entah dampak intelektual/akademik, maupun sosial, ekologi, budaya maupun ekonomi politik. Tanpa visi terkait kontribusi pengetahuan baru, pembaharuan ekologis atau tujuan sosial ekonomi politik, karya penelitian bukan sekedar proses manufaktur kata-kata.

Karenanya maraknya publikasi skripsi mahasiswa Strata 1 oleh dosen tidak bisa sekedar dibaca hanya sebagai indikasi degradasi etis/moral para pelaku. Fenomena ini harus di baca sebagai indikasi rendahnya mutu pengajar / pembimbing dalam memahami dua hal: pertama, pemahaman soal soal karya penelitian akademik itu sendiri dan visi pedagogi strata 1; kedua, pemahaman soal celah pengetahuan atau gap literature bidang disipilin yang diampuh. Tanpa kontribusi pengetahuan baru yang didasarkan pada pemahaman sistimatis soal knowledge gap atau research gap,  sebuah karya akademik hanyalah proses buang waktu.

Urutan Penulis Dalam Artikel: Pertanyaan Refleksi!

Tulisan ini terinspirasi atau tepatnya dipicu oleh status Facebook rekan Dr Izak Lattu dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga beberapa waktu lalu. Berikut statusnya “Beberapa sahabat yang lulus dari sebuah kampus, sebut saja nama kampus itu bunga, bercerita tentang perampokan akademik yang dilakukan para dosen kampus itu. Dosen meminta mahasiswa menulis artikel ilmiah untuk dikirim ke jurnal berindeks scopus sebagai syarat lulus S2 dan S3. Dosen kemudian meminta nama dosen ditulis sebagai penulis artikel PERTAMA. Mahasiswa yang bekerja dengan ide dan usaha sendiri malah berada pada urutan belakang. Teman saya tadi, namanya ditulis pada urutan ke-4. Teman saya yang lain pada urutan ke-2. Padahal sepenuhnya ide dan usaha mereka. Dosen hanya numpang nama, tetapi meminta menjadi penulis pertama. Mahasiswa dalam relasi kekuasaan di kampus tidak mampu menolak penodongan ini. Menurut teman-teman saya, kampus yang saya sebut bunga tadi memang menganggap ini hal biasa. Dosen di kampus ini malah menjadikan penelitian dan publikasi mahasiswa tadi jalan menuju Guru Besar. Miris ketika perampokan akademik telah menjadi hegemoni.”

Keluhan Dr Lattu di atas bisa dipahami dalam konteks yang lebih luas. Salah satu lokus penelitian Pendidikan tinggi dalam konteks berkembangnya atau menjamurnya program-program Srata 2 dan 3 secara global berimplikasi pada meningkatnya kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan secara relational antara para pembimbing dan yang dibimbing. Parker-Jenkins (2016) mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci terkait, relasi yang bagaimana yang paling tepat dan mutual bagi semua pihak? Sejauh mana relasi akademik ini perlu dipikirkan ulang? Apakah perlu ada batas demarkasi yang jelas terkait peran, harapan dan garis demarkasi yang jelas yang perlu dibuat? Dan apakah ada praktik-praktik baik yang bisa kita bagikan demi masa depan penelitian universitas yang lebih manusiawi? 

Secara praktis, isu soal urutan penulisan di artikel ilmiah ini perlu dilihat secara sehat dari berbagai sudut pandang. Dan fenomena ini tidak bisa di reduksi dalam sebuah pendekatan yang berdimensi tunggal, alias satu cara pandang. Dalam sudut pandang penulis, hal ini tentu tidak bisa sekedar direduksi menjadi sebuah peristiwa perampokan akademik sebagaimana dibahas di atas.

Sebelum mengklaim dosen anda seorang ‘perampok’, mahasiswapun maupun pembaca perlu melihat konteks dengan refleksi yang lebih kritis. Misalkan, mahasiswa juga perlu bertanya: apakah tesisnya bagian dari proyek yang proposal besarnya ditulis oleh dosen pembimbing dan merupakan agenda riset jangka panjang si pembimbing dan mahasiswa membantu menambahkan satu-dua puzzle pengetahuan? Apakah data dan survey penelitian merupakan bagian dari investasi pembimbing penelitian? Sejauh mana peran dan sumbangsih si pembimbing? Apakah bersifat eksistensial di mana tanpanya anda tidak mungkin memproduksikan karya tesis yang anda miliki saat ini?

Apakah penelitian anda merupakan bagian dari proyek yang TORnya maupun idenya, kerangka analisis, teori, bahkan data dan hipotesis termasuk ongkos riset katakanlah cost laboratoriumnya juga di tanggung proyek yang di inisiasi dosen pembimbing anda? Bila ya, perlu ada kejelasan terkait orisinalitas ide dari skripsi/tesis/disertasi dari pihak yang terlibat – terutama ketika di konversi ke artikel untuk jurnal akademik.

Dalam konteks riset-riset laboratorium di berbagai negara di Eropah, katakanlah Jerman, kerja-kerja laboratorium adalah kerja tim. Tradisi urutan penulis di Jermanpun sangat bergantung pada konteks. Tetapi lazimnya professor pemimpin riset sering menempatkan Namanya di bagian akhir daftar panjang penulis tetapi tetap dengan status corresponding author. Tradisi ini jelas berbeda dalam konteks di Asia misalkan Singapura, China, India di mana professor pemilik proyek dan lab cenderung memilih menjadi nama pertama walau mungkin saja draft artikelnya lebih banyak ditulis oleh mahasiswa doktoral ataupun post-doctoral.

Pengalaman penulis sendiri dalam beberapa proyek riset post-doctoral di Singapura, sebagai misal, ada beberapa kasus di mana proyek paper-nya didraft oleh penulis tetapi karena paper-paper ini merupakan bagian dari kerja besar dan jangka panjang dari penanggung jawab proyek penelitian termasuk jasa besar pemimpin proyek dalam menulis proposal demi penggalangan dana penelitian maka urutan penulis menjadi keputusan etis si pemilik proyek. Dalam hal ini, tidak masalah si supervisor menjadi penulis pertama.

Mencari pertanyaan penelitian tidak mudah dan juga tidak murah. Tidak mudah juga untuk mencari dana penelitian. Untuk tiba pada pertanyaan yang bernilai tinggi sebagai sebuah hasil dari proses refleksi dan identifikasi celah pengetahuan, dibutuhkan kapasitas intelektual dan pengalaman penelitian dan pemahaman atas peta ilmu pengetahuan. Tugas ini jarang sekali bisa dipikul oleh mahasiswa yang masih awam penelitian.

Dalam hal ini, persepsi dan klaim mahasiswa atau sub-ordinate tentang perampokan akademik perlu didudukan secara lebih imbang. Manakala mahasiswanya datang dengan pikiran yang kosong dan kemudian di bimbing untuk meneliti beberapa potongan puzzle dan masalah yang diperkenalkan, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah ini hakikatnya sebuah ‘magang’ yang berpotensi membuahkan tesis? Yang pasti ada kontribusi si mahasiswanya, namun orisinalitas pertanyaan penelitian seharusnya dibicarakan secara serius sejak awal.

Penutup

Sayangnya, penelitian dan fokus terkait ketidak jururan akademik sering difokuskan pada soal contek/menyontek mahasiswa (McCabe et. al. 2001) dan jarang kita bicarakan soal kejujuran akademik di tingkat pengajar/peneliti/pembimbing (Gray and Jordan 2012) maupun di tingkat si mahasiswanya. Masalah ‘perampokan’ akademik di atas tidak bisa sekedar dipahami dalam konteks operasional relasi pembimbing-bimbingan tetapi mesti ditelaah dalam konteks sistim Pendidikan secara luas.

Yang pasti, masalah integritas akademik ini akan makin banyak seiring berkembangnya program-program pendidikan yang menuntut penelitian di Tanah Air (Mitchell and Carrol 2008)

Bagaimana dengan rekan-rekan pengajar di Indonesia dalam mengatasi masalah ini?

Reference

Gray, P.W. and Jordan, S.R. 2012.Supervisors and Academic Integrity: Supervisors as Exemplars and Mentors. Journal of Academic Ethics 10:299–311.

Ingleby, R. and Chung, M., 2009. Cultural Issues in Commencing the Supervision of Chinese Research Students [online]. Australian Universities’ Review, The, Vol. 51, No. 2, 2009: 42-48.

McCabe, D., Trevino, L.K., & Butterfield K.D. 2001. Cheating in Academic Institutions: A Decade of Research. Ethics & Behavior, 11(3): 219-232.

Mitchell, T., and Carrol, J. 2008. Academic and research misconduct in the PhD: Issues for students and supervisors. Nurse Education Today 28(2):218-226

Parker-Jenkins, M. 2016. Mind the gap: developing the roles, expectations and boundaries in the doctoral supervisor–supervisee relationship. Studies in Higher Education 43(1):57-71.

Scott, M., 1998. The PhD as an apprenticeship in writing. In Proceeding: Quality in Postgraduate Research: Managing the new agenda held in Adelaide 23-24 April 1998.


[1] Anggota Forum Academia NTT, Pengajar Senior di Charles Darwin University, Australia.

[2] Pengalaman terbaru, seorang alumnus postdoctoral dan doctoral dari Washington State University di tolak dengan secara tidak langsung dengan alasan ‘tidak ada posisi’ di sebuah universitas di Indonesia Timur. Demi kenyamanan semua pihak, Namanya tidak kami sebutkan.

[3] Pengalaman tahun 2013 di sebuah propinsi di Indonesia Timur.

[4] Manakala kemampuan debat para birokrat bergelar doktor di universitas memindahkan ruang debat akademis yang organik ke ruang pengadilan, di situ kita melihat matinya intelektual kampus. Fenomena ini fenomena yang perlu dicermati secara serius karena bisa saja merupakan puncak gunung es dari kematian kolektif intelektualisme di kampus-kampus kita. Lihat Laporan Jakarta Post 09 Maret 2020 – https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/03/ite-law-victims-group-urges-aceh-police-to-stop-investigation-against-lecturer.html