‘Perampokan’ Akademik di Indonesia: Mitos atau Kenyataan?

Source: mimiandeunice.com from http://www.csun.edu/undergraduate-studies/academic-first-year-experiences/promoting-academic-honesty-resources-workshop

‘Perampokan’ Akademik di Indonesia: Mitos atau Kenyataan?

Jonatan A. Lassa[1]

Disclaimer: Artikel ini merupakan hasil observasi dan refleksi panjang tetapi bukan merupakan penelitian yang sistimatis. Karenanya hipotesis di bawah perlu di kritisi dan/atau dilanjutkan oleh penelitian yang lebih sistimatis. Terminologi “Perampokan Akademik” ini kami pinjam dari Dr Izak Lattu di UKSW.

Saran Kutipan: Lassa, JA. 2020. ‘Perampokan’ Akademik di Indonesia: Mitos atau Kenyataan?. Disampaikan dalam Webinar “Menghindari Perampokan Akademik: Etika Publikasi Ilmiah di Perguruan Tinggi” Oleh Pusat Studi Agama Pluralisme dan Demokrasi & Pusat Kajian Kelembagaan, UKSW Salatiga 3 Juni 2020.

Pendahuluan: Definisi

‘Perampokan akademik’ di sini di maknai sebagai sebuah demontrasi kekuasaan yang eksploitatif dari pengajar-peneliti universitas dengan dua fenomena utama: Pertama, tesis/disertasi mahasiswa Strata 1 dan Strata 2 diambil oleh dosen pembimbing dengan atau tanpa persetujuan / sepengatahuan mahasiswa bersangkutan lalu di kirimkan ke jurnal ilmiah maupun konferensi, dengan atau tidak sama sekali menempatkan mahasiswa sebagai penulis artikel/kertas akademik.

Fenomena kedua, demonstrasi ekspolitasi yang dilakukan oleh mereka yang berposisi lebih senior baik umur maupun posisi (seperti ketua jurusan, dekan atau bahkan rektor sekalipun) dengan modus operandi di mana tanpa kontribusi intelektual (yang memadai), baik di level jasa editorial juga proof reading maupun kepakaran, mengambil hasil karya para sub-ordinatnya dan mengklaim sebagai karyanya dengan menempatkannya sebagai penulis pertama dengan mengirimkannya kepada penerbit atau editor jurnal ilmiah. Fenomena ke dua ini termasuk eksploitasi pembimbing doktoral dalam mengambil draft disertasi mahasiswa Strata 3 lalu mengirimkannya ke journal dengan menempatkan dirinya sebagai penulis pertama tanpa sumbangan yang berarti.

Empat Hypotesis Akar Masalah ‘Perampokan Akademik’

Sedikitnya terdapat empat hypothesis mendasar yang menjelaskan maraknya ‘perampokan’ akademik di Indonesia. Hipothesis 1, dalam konteks kompetisi perguruan tinggi dunia termasuk di Indonesia, para pengajar perguruan tinggi berhadapan dengan tuntutan publikasi tanpa tiga sumberdaya utama yang: waktu penelitian, dana penelitian dan kualitas ekosistim penelitian yang memadai termasuk sumber bacaan yang kurang, sistim perpustakaan yang kurang mendukung dan sistim meritokrasi penelitian yang juga senyap kalau tidak mau dibilang masih hilang/dihilangkan.

Implikasi dari hypothesis 1 ini kemudian bertabrakan dengan kebijakan Lembaga perguruan tinggi dalam menetapkan syarat publikasi tesis Strata 2. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu. Dalam pengalaman penulis, di beberapa negara Dunia Pertama, tesis Strata 2 tidak dipaksakan untuk dipublikasikan ke jurnal ilmiah. Dalam konteks Indonesia, karena desakan kompetisi, berbagai perguruan tinggi kemudian menjadikan hal ini sebagai kebijakan formal di mana syarat kelulusan universitas program Strata 2 diwajibkan untuk mempublikasikan tesis-tesis strata 2 di jurnal-jurnal tanpa akreditasi sekalipun. Di banyak universitas di Australia maupun Jerman di mana penulis pernah berinteraksi, tidak ada kewajiban publikasi bagi semua strata. Dan sebagai pengajar Strata 2 di sebuah universitas di Australia, pengalaman menunjukan bahwa dari 10 tesis mungkin hanya 1-2 tesis yang bisa di modifikasi untuk menembus jurnal-jurnal Q1 ataupun Q2. Itupun, karyanya (isi dan editorial) harus diadaptasi dengan standard yang tinggi dan tanpa bantuan editing pembimbing, sangat sulit bisa diterima di jurnal berkualitas. Secara umum, berdasarkan pengalaman interaksi dengan peneliti senior lainnya baik di Singapure, Australia maupun Amerika Serikat, tesis Strata 2 yang bersifat coursework program seperti di Indonesia (yang tidak berbasis 100% full time higher degree research program), tidak diharapkan sama sekali menjadi obsesi penelitian universitas.

Hypothesis 2, buah jangka panjang akibat dari kebijakan recruitment dosen atau pengajar tanpa pertimbangan meritokrasi yang kokoh. Misalkan, yang kita lihat di Indonesia Timur dalam beberapa tahun terakhir, kampus-kampus rutin merekrut dosen-dosen baru yang tanpa portofolio penelitian dan kumpulan karya tulis di level yang memadai. Sedangkan di lain pihak, beberapa rekan-rekan (Strata 3) yang memiliki portofolio penelitian yang memadai dari berbagai perguruan tinggi bereputasi di Eropah mapun Amerika Serikat yang balik kampung kerap ditolak dengan dalil ‘tidak ada posisi’[2] atau kalau pun ada posisi, dengan mudah dikatakan ‘gagal administrasi online’.[3]

Di Banda Aceh, kritik atas recruitment yang tidak berbasis merit ini berujung pemasungan kritik dan pemenjaraan akademisi.[4]

Di lain pihak, makin banyaknya alumnus Strata 2 dan 3 luar negeri yang pulang kampung dengan Investasi LPDP dan beasiswa lainnya tidak di barengi dengan sikap proaktif Pendidikan tinggi lokal dalam mencari talents segar. Alumnus-alumnus ini kemudian sering menemui jalan buntu masuk ke universitas di daerah, terutama universitas negeri.

Kombinasi dari hypothesis 1 dan 2 di atas berujung merosotnya daya berpikir kritis. Dampaknya kemudian skripi Strata 1 pun dianggap sebagai sebuah karya layak tayang di level journal ilmiah. Dalam pandangan pribadi, saya berpendapat bahwa sejati dan umumnya skripsi level Strata 1 bukanlah sebuah karya ilmiah yang lazim dikenal sebagai proses produksi pengetahuan baru. Beban menghasilkan pengetahuan baru tidak layak dipikul oleh mahasiswa Strata 1.

Walau selalu saja muncul para talents dan calon ilmuan masa depan dari proses ini, Skripsi Strata 1 adalah sebuah karya dari proses magang atau latihan menulis-meneliti tahap dasar – sebuah proses sangat awal dari rangkaian proses melahirkan intelektual dan ilmuan bagi penduduk bumi. Pendapat ini tidak berlebihan. Dalam tradisi berpikir yang lain termasuk di Australia, Strata 3 pun merupakan sebuah proses yang bisa dianggap sebagai proses ‘magang’ meneliti dan menulis (Scott 1998).

Tentu, seperti yang sudah kami utarakan, selalu saja ada talents yang menulis skipsi S1 atau tesis S2 dengan sangat baik dan mungkin saja layak tayang ke journal ilmiah. Tetapi kebijakan publik terkait publikasi tidak bisa didasarkan pada kasus outliers. Perlu flexibilitas sehingga yang berkualitas bisa diakomodasi tetapi tidak bisa memaksakan publikasi karya tesis strata 2 apalagi strata 1 secara mengkambing-buta.

Hypothesis 3, tradisi ekpolitasi akibat ketimpangan relasi kuasa di universitas. Di satu pihak ada pembimbing (supervisor) sebagai yang ‘berkuasa’ meluluskan atau menggagalkan/menunda kelulusan mahasiswa. Di pihak lain ada mahasiswa yang berada dalam posisi rentan karena berada dalam persimpangan jalan kehidupan di mana banyak ketidakpastian hidup yang harus di jalani; Dan masa depan yang harus digapai apapun taruhannya termasuk kompromi dengan keadaan eksploitasi.

Eksploitasi sistemik sering menyatu dalam budaya akademik yang direproduksi dalam konteks kelembagaan universitas yang tidak memiliki sistim kontrol dan akuntibilitas. Tentu ini bukan monopoli Pendidikan tinggi di Indonesia. Sebagai misal, mahasiswa doktoral di Tiongkokpun memiliki sikap ‘nrimo’ manakala pembimbing level doctoral mengambil karyanya dan mengirimkan ke jurnal tanpa ijin dan tanpa memasukan nama yang bersangkutan – setidaknya satu dua dekade lalu. (Trompenaars 1993 in Ingleby and Chung 2009).

Hypothesis 4, ketidadaan visi penelitian sebagai proses produksi makna. Ketiadaan visi penelitian sebagai ‘meaning making’ ini kemudian mereduksi penelitian dalam pabrikasi kata-kata yang terstruktur tanpa kejelasan manfaat bagi masyarakat manusia. Tujuan penelitian sejatinya adalah membuat dampak. Entah dampak intelektual/akademik, maupun sosial, ekologi, budaya maupun ekonomi politik. Tanpa visi terkait kontribusi pengetahuan baru, pembaharuan ekologis atau tujuan sosial ekonomi politik, karya penelitian bukan sekedar proses manufaktur kata-kata.

Karenanya maraknya publikasi skripsi mahasiswa Strata 1 oleh dosen tidak bisa sekedar dibaca hanya sebagai indikasi degradasi etis/moral para pelaku. Fenomena ini harus di baca sebagai indikasi rendahnya mutu pengajar / pembimbing dalam memahami dua hal: pertama, pemahaman soal soal karya penelitian akademik itu sendiri dan visi pedagogi strata 1; kedua, pemahaman soal celah pengetahuan atau gap literature bidang disipilin yang diampuh. Tanpa kontribusi pengetahuan baru yang didasarkan pada pemahaman sistimatis soal knowledge gap atau research gap,  sebuah karya akademik hanyalah proses buang waktu.

Urutan Penulis Dalam Artikel: Pertanyaan Refleksi!

Tulisan ini terinspirasi atau tepatnya dipicu oleh status Facebook rekan Dr Izak Lattu dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga beberapa waktu lalu. Berikut statusnya “Beberapa sahabat yang lulus dari sebuah kampus, sebut saja nama kampus itu bunga, bercerita tentang perampokan akademik yang dilakukan para dosen kampus itu. Dosen meminta mahasiswa menulis artikel ilmiah untuk dikirim ke jurnal berindeks scopus sebagai syarat lulus S2 dan S3. Dosen kemudian meminta nama dosen ditulis sebagai penulis artikel PERTAMA. Mahasiswa yang bekerja dengan ide dan usaha sendiri malah berada pada urutan belakang. Teman saya tadi, namanya ditulis pada urutan ke-4. Teman saya yang lain pada urutan ke-2. Padahal sepenuhnya ide dan usaha mereka. Dosen hanya numpang nama, tetapi meminta menjadi penulis pertama. Mahasiswa dalam relasi kekuasaan di kampus tidak mampu menolak penodongan ini. Menurut teman-teman saya, kampus yang saya sebut bunga tadi memang menganggap ini hal biasa. Dosen di kampus ini malah menjadikan penelitian dan publikasi mahasiswa tadi jalan menuju Guru Besar. Miris ketika perampokan akademik telah menjadi hegemoni.”

Keluhan Dr Lattu di atas bisa dipahami dalam konteks yang lebih luas. Salah satu lokus penelitian Pendidikan tinggi dalam konteks berkembangnya atau menjamurnya program-program Srata 2 dan 3 secara global berimplikasi pada meningkatnya kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan secara relational antara para pembimbing dan yang dibimbing. Parker-Jenkins (2016) mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci terkait, relasi yang bagaimana yang paling tepat dan mutual bagi semua pihak? Sejauh mana relasi akademik ini perlu dipikirkan ulang? Apakah perlu ada batas demarkasi yang jelas terkait peran, harapan dan garis demarkasi yang jelas yang perlu dibuat? Dan apakah ada praktik-praktik baik yang bisa kita bagikan demi masa depan penelitian universitas yang lebih manusiawi? 

Secara praktis, isu soal urutan penulisan di artikel ilmiah ini perlu dilihat secara sehat dari berbagai sudut pandang. Dan fenomena ini tidak bisa di reduksi dalam sebuah pendekatan yang berdimensi tunggal, alias satu cara pandang. Dalam sudut pandang penulis, hal ini tentu tidak bisa sekedar direduksi menjadi sebuah peristiwa perampokan akademik sebagaimana dibahas di atas.

Sebelum mengklaim dosen anda seorang ‘perampok’, mahasiswapun maupun pembaca perlu melihat konteks dengan refleksi yang lebih kritis. Misalkan, mahasiswa juga perlu bertanya: apakah tesisnya bagian dari proyek yang proposal besarnya ditulis oleh dosen pembimbing dan merupakan agenda riset jangka panjang si pembimbing dan mahasiswa membantu menambahkan satu-dua puzzle pengetahuan? Apakah data dan survey penelitian merupakan bagian dari investasi pembimbing penelitian? Sejauh mana peran dan sumbangsih si pembimbing? Apakah bersifat eksistensial di mana tanpanya anda tidak mungkin memproduksikan karya tesis yang anda miliki saat ini?

Apakah penelitian anda merupakan bagian dari proyek yang TORnya maupun idenya, kerangka analisis, teori, bahkan data dan hipotesis termasuk ongkos riset katakanlah cost laboratoriumnya juga di tanggung proyek yang di inisiasi dosen pembimbing anda? Bila ya, perlu ada kejelasan terkait orisinalitas ide dari skripsi/tesis/disertasi dari pihak yang terlibat – terutama ketika di konversi ke artikel untuk jurnal akademik.

Dalam konteks riset-riset laboratorium di berbagai negara di Eropah, katakanlah Jerman, kerja-kerja laboratorium adalah kerja tim. Tradisi urutan penulis di Jermanpun sangat bergantung pada konteks. Tetapi lazimnya professor pemimpin riset sering menempatkan Namanya di bagian akhir daftar panjang penulis tetapi tetap dengan status corresponding author. Tradisi ini jelas berbeda dalam konteks di Asia misalkan Singapura, China, India di mana professor pemilik proyek dan lab cenderung memilih menjadi nama pertama walau mungkin saja draft artikelnya lebih banyak ditulis oleh mahasiswa doktoral ataupun post-doctoral.

Pengalaman penulis sendiri dalam beberapa proyek riset post-doctoral di Singapura, sebagai misal, ada beberapa kasus di mana proyek paper-nya didraft oleh penulis tetapi karena paper-paper ini merupakan bagian dari kerja besar dan jangka panjang dari penanggung jawab proyek penelitian termasuk jasa besar pemimpin proyek dalam menulis proposal demi penggalangan dana penelitian maka urutan penulis menjadi keputusan etis si pemilik proyek. Dalam hal ini, tidak masalah si supervisor menjadi penulis pertama.

Mencari pertanyaan penelitian tidak mudah dan juga tidak murah. Tidak mudah juga untuk mencari dana penelitian. Untuk tiba pada pertanyaan yang bernilai tinggi sebagai sebuah hasil dari proses refleksi dan identifikasi celah pengetahuan, dibutuhkan kapasitas intelektual dan pengalaman penelitian dan pemahaman atas peta ilmu pengetahuan. Tugas ini jarang sekali bisa dipikul oleh mahasiswa yang masih awam penelitian.

Dalam hal ini, persepsi dan klaim mahasiswa atau sub-ordinate tentang perampokan akademik perlu didudukan secara lebih imbang. Manakala mahasiswanya datang dengan pikiran yang kosong dan kemudian di bimbing untuk meneliti beberapa potongan puzzle dan masalah yang diperkenalkan, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah ini hakikatnya sebuah ‘magang’ yang berpotensi membuahkan tesis? Yang pasti ada kontribusi si mahasiswanya, namun orisinalitas pertanyaan penelitian seharusnya dibicarakan secara serius sejak awal.

Penutup

Sayangnya, penelitian dan fokus terkait ketidak jururan akademik sering difokuskan pada soal contek/menyontek mahasiswa (McCabe et. al. 2001) dan jarang kita bicarakan soal kejujuran akademik di tingkat pengajar/peneliti/pembimbing (Gray and Jordan 2012) maupun di tingkat si mahasiswanya. Masalah ‘perampokan’ akademik di atas tidak bisa sekedar dipahami dalam konteks operasional relasi pembimbing-bimbingan tetapi mesti ditelaah dalam konteks sistim Pendidikan secara luas.

Yang pasti, masalah integritas akademik ini akan makin banyak seiring berkembangnya program-program pendidikan yang menuntut penelitian di Tanah Air (Mitchell and Carrol 2008)

Bagaimana dengan rekan-rekan pengajar di Indonesia dalam mengatasi masalah ini?

Reference

Gray, P.W. and Jordan, S.R. 2012.Supervisors and Academic Integrity: Supervisors as Exemplars and Mentors. Journal of Academic Ethics 10:299–311.

Ingleby, R. and Chung, M., 2009. Cultural Issues in Commencing the Supervision of Chinese Research Students [online]. Australian Universities’ Review, The, Vol. 51, No. 2, 2009: 42-48.

McCabe, D., Trevino, L.K., & Butterfield K.D. 2001. Cheating in Academic Institutions: A Decade of Research. Ethics & Behavior, 11(3): 219-232.

Mitchell, T., and Carrol, J. 2008. Academic and research misconduct in the PhD: Issues for students and supervisors. Nurse Education Today 28(2):218-226

Parker-Jenkins, M. 2016. Mind the gap: developing the roles, expectations and boundaries in the doctoral supervisor–supervisee relationship. Studies in Higher Education 43(1):57-71.

Scott, M., 1998. The PhD as an apprenticeship in writing. In Proceeding: Quality in Postgraduate Research: Managing the new agenda held in Adelaide 23-24 April 1998.


[1] Anggota Forum Academia NTT, Pengajar Senior di Charles Darwin University, Australia.

[2] Pengalaman terbaru, seorang alumnus postdoctoral dan doctoral dari Washington State University di tolak dengan secara tidak langsung dengan alasan ‘tidak ada posisi’ di sebuah universitas di Indonesia Timur. Demi kenyamanan semua pihak, Namanya tidak kami sebutkan.

[3] Pengalaman tahun 2013 di sebuah propinsi di Indonesia Timur.

[4] Manakala kemampuan debat para birokrat bergelar doktor di universitas memindahkan ruang debat akademis yang organik ke ruang pengadilan, di situ kita melihat matinya intelektual kampus. Fenomena ini fenomena yang perlu dicermati secara serius karena bisa saja merupakan puncak gunung es dari kematian kolektif intelektualisme di kampus-kampus kita. Lihat Laporan Jakarta Post 09 Maret 2020 – https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/03/ite-law-victims-group-urges-aceh-police-to-stop-investigation-against-lecturer.html

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: