Membangun Aristektur Kelembagaan Penanganan COVID-19 Yang Operasional, Padu, Efektif dan Berkeadilan

Oleh Jonatan A. Lassa

Kita berhadapan dengan sebuah fenomena yang penuh dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang tidak gampang diurai ditengah pandemik. Berharap apalagi mengkaim mampu memahami seluruh kompleksitas persoalan COVID-19 mungkin sebuah mitos karena dinamikanya sulit di kendalikan. Namun atas nama krisis dan urgensitas solusi kebijakan publik tidak bisa begitu saja didasarkan pada cara pandang departementalistik, dan juga harus tepat waktu dan padu waktu antara lembaga. Keputusan harus dibuat dalam ketidakpastian dan kekurang-lengkapan data dan informasi.

Namun yang paling penting adalah prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam pengambilan keputusan. Pertama, prinsip efektifitas dalam konteks krisis. Bahwa apapun inovasi ataupun experiment kebijakan, kita akan melihat dari outcomes-nya, apakah tepat sasaran, tepat waktu dan berdampak. Dalam konteks COVID-19, semua paket-paket response ini harusnya dibuat untuk dapat mengontrol COVID-19 dengan demikian kita punya ruang untuk memulihkan ekonominya.

Prinsip kedua, prinsip equity, bahwa distribusi manfaatnya harus dirasakan rakyat yang membutuhkan, yakni mereka yang secara rentan secara multi-dimensi baik sosial, ekonomi, kesehatan dsb. Tidak ada winners and losers, ataupun kalau tidak bisa sempurnah, minimalisir losers, perbanyak winners-nya. Stimulus di atas hanya memasukan kelompok dari sektor formal.

Masalahnya bukan terletak pada stimulus Rp. 600 ribu per bulan dengan kelompok target karyawan swasta ber BPSJ bergaji kecil dengan kriteria di bawah 5 juta. Semua kelompok rentan perlu mendapatkan semacam insentif (kriteria inclusion berbasis tingkat kerentanan). Karena itu karwayan swasta di sektor informal maupun yang tidak memiliki BPJS juga wajib mendapatkan sejenis basic income, atau dengan dengan model BLT tanpa syarat (unconditional cash transfers) dan sebagainya. Tetapi akar masalah kontroversi bukan disini.

Kita menilai sebuah kebijakan masa pandemic atau krisis dalam konteks ex-post yakni dari hasilnya. Artinya paket-paket response emergency COVID-19 baik dari Kemendes (BLT) maupun BLT Kemensos hingga saat ini belum bisa secara kolektif berkontribusi pada penururan kasus-kasus. Sebab musababnya ada di kemandekan birokrasi di semua level untuk bertindak cepat dan tepat dan padu waktu. Hal ini diakui oleh pemerintah sendiri minimal dua kali oleh Presiden terkait besarnya anomali anggaran yang masih tertinggal di kas-kas kementrian.

Ketiga, masalah legitimasi kebijakan COVID-19. Terkait sikap terhadap kebijakan stimulus karyawan di atas, ini sebuah assessment kebijakan yang bersifat ex-ante dan/atau in situ. Karenanya, analisis kami bersifat yang prediktif dapat didasarkan pada pengalaman 4 bulan terakhir. Artinya, stimulus khusus karyawan ini menjadi kontroversi karena masalah fundamental yang kita lihat terus terjadi dalam 4 bulan terakhir.

Kita tau karakter rezim Pak Jokowi di masa COVID-19 ini sangat departmental, artinya solusinya muncul dari kementrian-kementrian sektoral, tanpa keterpaduan waktu intervensi antara kementrian yang satu dengan yang lain, antara pusat dan daerah karena di lakukan tanpa kejelasan arsitektur kelembagaan yang bisa beroperasi di masa krisis. Sebagai misal, BPJS dinaikan dengan alasan kekurangan dana. Dipihak lain insentif BLT karyawan swasta mau diberikan untuk mempertahankan employment.  Sejauh ini, pemerintah terkesesan tidak mampu bertindak dengan bacaan big picture, untuk memahami landscape yang luas dari krisis ini dan segenap penanganan krisis COVID-19 ditengah gelombang pertama yang belum kungjung usai dan belum tau kapan puncaknya manakala negara-negara lain telah memasuki gelombang kedua karena sukses mengendalikan gelombang besar pertama. Kita lihat ini berhasil di negara-negara tentangga di ASEAN. Tidak usah jauh-jauh ke Australia, New Zealand.

Masalahnya ada krisis legitimaci ditingkat input kebijakan terkait disain komprinhensif paket stimulus ini; Prinsip legitimasi terakhir adalah legitimasi proses. Pendekatan yang top down, state centric, departemanetalistik, ketidak-mampuan mendengar masukan-masukan yang relevan dengan penanganan krisis membuat informed public sulit mempercayai pemerintah dan solusi-solisusinya. Bahwa semua design stimulus ini juga harus memiliki output legitimacy, yakni benar tidaknya harus di nilai dari dampaknya dalam menurunnya kasus penularan COVID-19 secara lebih cepat sehingga ada kecepatan dalam memperbaiki kondisi ekonomi.

Keterpaduan paket-paket kebijakan tindakan lintas kementrian dan lintas sektor, lintas tingkat dibutuhkan agar ada keterpaduan waktu tindak dalam mengontrol pandemik ini. Hal ini membutuhkan sketsa arsitektur kelembagaan yang operasional. Ketiadaan sketsa arsitektur kelembagaan ini membuat kita memperpanjang kegagalan menghentikan gelombang pertama COVID-19 di Indonesia. Tanpa perbaikan dalam mengontrol penularan COVID-19, tidak mungkin ekonomi bisa sembuh. Singapura adalah contoh yang baik bagaimana penularan gelombang ke dua mengakibatkan dampak resesi yang lebih dalam dari gelombang pertama.

[Disampaikan dalam Acara “Menyikapi Pro Kontra Kebijakan Stimulus Khusus Karyawan Swasta Bergaji di Bawah Lima Juta Rupiah” yang di fasilitasi – IndoBIG Network – MINDSET Institute – UBI Lab Jakarta]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: