Home » kritik sosial
Category Archives: kritik sosial
Permainan Perang Kota Para Elit

Battle of Grunwald by Jan Matejko (1878) [Sumber Foto: Wikipedia]
Entah apa yang ada di benak anda ketika membaca berita dari jauh atau bahkan mengalami langsung situasi ibukota dalam beberapa hari terakhir, sebagai target eskalasi politik elit dalam beberapa bulan terakhir dari proses pemilihan presiden? Kejadian-kejadian ini nyaris tidak mungkin dimengerti tanpa mempunyai cerita dasar tentang pertikaian para tentara di era akhir Orde Baru. Labirin narasi yang mereka bangun dan tercecer dalam berbagai biografi, autobiografi, dan analisa institusi membantu kita untuk melihat formasi posisi ‘permainan perang’ ini.
Selanjutnya pengerahan massa maupun formasi pertahanan cenderung hanya bisa dimengerti dalam formasi ‘permainan perang kota’ para tentara. Faksi-faksi para tantara terbaca jelas melalui jaringan internal tantara maupun proxy sipil.
Dua dekade setelah Soeharto turun, bagi para tantara tidak mudah untuk menentukan arah haluan, khususnya untuk menentukan ‘inti republik’. Sebagian masih dalam posisi dwifungsi ABRI ala Soeharto, sebagian lagi dalam posisi militer sebagai penjaga proses demokratisasi. Dalam proses transisi demokrasi pasca Soeharto, faksi atau galur Cendana cenderung terpinggirkan. Formasi ini terbaca jelas jika kita mengikuti sejarah 27 Juli 1996, khususnya untuk melihat faksi tentara dibalik kelompok pro dan kontra.
Kisah kekerasan, adu domba dan terutama secara sengaja mengorbankan orang-orang yang lemah akal dan miskin merupakan kecenderungan yang dipakai oleh para elit Indonesia sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Jejak ini pun terlacak menjelang pergantian kekuasaan di tahun-tahun akhir era Orde baru 1996, 1997, dan 1998. Kematian warga biasa begitu banal. Selanjutnya kematian-kematian mereka dibiarkan hilang, tak bertuan, dan tak ada cerita. Hanya tanggal mati tanpa keterangan. Kritik utama kepada elit Indonesia yang sering dilontarkan seorang sahabat yang telah purna adalah ‘sudah menjadi kebiasaan konflik antar elit selalu ditarik ke bawah’.
Hal ini cukup berbeda jika kita lihat apa yang terjadi di negeri jiran Malaysia, secara elegan konflik diposisikan antara para pemimpin mereka dan tidak diturunkan ke bawah. Meskipun letupan-letupan rasialis muncul sebagai konsekuensi sistem apartheid yang mereka pakai. Pernyataan-pernyataan ini mungkin dianggap sebagai penyerderhanaan, karena sejarah kedua negara yang berbeda, namun juga untuk mempetegas bahwa jika mau elit di Indonesia mampu melakukan itu.
Selain itu, dalam proses perebutan kekuasaan, posisi rakyat senantiasa diletakan sebagai pihak yang disandera. Kita tidak akan menemukan kisah patriotik khas para samurai yang siap berduel satu lawan satu untuk melihat keindahan pertarungan, sebaliknya para ksatria semu di Indonesia hanya lah orang yang mengadu domba. Buka saja institusi-institusi, atau pun narasi-narasi yang mereka bangun segera terlihat kegoblokan yang mereka pertontonkan.
Perebutan kekuasaan tidak butuh bukti, apalagi jika dianggap kuasa dan pengetahuan dalam posisi serupa. Mereka yang punya kekuatan dianggap sebagai penafsir yang punya otoritas. Lain daripada itu tidak penting. Siklus kekerasan ala tentara ini sudah terputus selama 20 tahun, namun dihidupkan ulang. Narasi konflik yang dibangun pun tetap sama. Tetap ada di dalam posisi masa lalu. Tetap tinggal dalam rumah Orde Baru. Pun jika sering digembar-gemborkan dibalik para tentara ada mereka yang terdidik, para pemikir. Namun jika melihat kenyataan beberapa hari ini, sulit untuk menyatakan bahwa mereka ini punya pikiran.
Jika tidak punya pikiran apa mungkin orang menafsirkan ulang republik, atau keluar dari rawa-rawa rezim korporatik dan atau neolib? Kecanggihan analisis, atau pun ketinggian pangkat prajurit seketika menjadi tidak berarti ketika pemikiran untuk republik tidak keluar. Mengapa kelas elit tentara kita jatuh di rawa-rawa hisap juga tidak terjelaskan, karena arena pertarungan pemikiran tidak pernah dibuka, dan hanya diposisikan pada perlombaan penguasaan materi. Hal yang memalukan adalah kesuksesan seorang jendral diukur dari berapa hektar tanah yang menjadi miliknya. Hal yang amat sangat najis sekaligus sadis adalah jika kita membuka motif keberadaan rombongan tentara di masing-masing barisan yang berkonflik, dan ternyata menemukan sumbu konflik hanya soal berapa banyak materi dan jabatan yang dikuasai.
Jika saja mereka punya pikiran, maka titik pertarungan tidak akan pernah diposisikan pada massa rakyat. Orang yang mampu berpikir tidak pernah menempatkan orang-orang kecil dalam posisi adu domba. Orang yang budinya baik tidak pernah membiarkan terjadinya pertumpahan darah untuk kursi kekuasaan.
Jika seorang negarawan ingin membuka persoalan republik titik persoalannya tidak dimulai dari diri sendiri. Titik kedaulatannya tidak selebar telapak kaki.
Usaha mencari kebenaran untuk menopang fondasi republik juga menjadi tidak mungkin karena pihak-pihak yang bertikai sama-sama ‘mengambil’. Sikap altruistik, tanpa pamrih, yang menjadi elemen khas negarawan tidak muncul.
Karena perebutan kekuasaan tidak diikuti dengan pertarungan pikiran untuk republik maka yang muncul hanya lah pembelahan-pembelahan berkelanjutan. Ketidakmampuan membuka fondasi dasar republik, dan hanya membelah atau mempartisi republik adalah akibat langsung dari perebutan kekuasaan tanpa pikiran. Logikanya, pikiran-pikiran bernas juga tidak muncul karena yang dianggap musuh dalam politik republik adalah ‘saudara-saudara sendiri’. Gerak saling bunuh ke dalam ini umurnya sekian abad.
Tidak aneh jika anda suka membaca babad dan menemukan kisah keterpurukan dan saling bunuh. Kerajaan-kerajaan itu hilang tanpa bekas, tidak ada cerita berarti yang tersisa, selain perebutan lahan parkir. Ironi semacam ini tidak mungkin dimengerti oleh mereka yang wawasannya sebatas mata dan kursi kekuasaan. Soal warna kursi merah atau hijau kan tinggal dikarang, apa susahnya? Semakin kekuasaan didoakan, semakin menjadi mistis, dan menjadi tahyul. Ini jelas aneh, karena purifikasi malah menjadikan manusia sebagai monster.
Pada akhirnya setelah sekian abad, orang tidak akan mencatat tentang praktek adu domba. Sejarawan mencatat tentang kesejahteraan warga. Tentang pikiran negara. Orang tidak akan menghitung intrik. Cerita tentang intrik kelasnya adalah kelas telenovela, ceritanya dibuat panjang, dan dibuat-buat.
Visi republik tidak mungkin keluar dengan model pertarungan intrik telenovela. Republik ini tambah tua, tetapi elitnya tidak. Involusi republik amat terasa jika anda membandingkan pikiran para pendiri republik dengan mereka yang sedang dianggap elit terkini. Malu dong!
*Warga negara Republik Indonesia.
Para Aktivis dan Demokrasi 2019

Pemilih Berdaulat, Negara Kuat. Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47797158
Oleh: Dominggus Elcid Li
Tulisan ini tidak membahas tentang Pilpres. Tulisan ini tentang kawan-kawan, para sahabat yang memilih berjuang untuk masuk dalam partai politik dan berusaha untuk terpilih dalam Pemilu 2019. Meskipun kadang saya merasa diteror dengan foto-foto para caleg yang dipasang di tiap pertigaan, perempatan dan bahkan di dapur, tetapi, konon kita perlu berusaha untuk optimis, dan tetap memberikan penghargaan kepada mereka yang maju. Dalam semangat yang lebih optimis tulisan ini coba dibuat, dan semoga nada sarkastik tidak muncul di sini (ini peringatan untuk diri sendiri, bukan untuk pembaca). Saya berusaha.
Setelah sekitar duapuluh tahunan bekerja sebagai aktivis LSM, aktivis perempuan, jurnalis, staf ahli, tukang tulis pidato, tukang bawa map politisi senior, hingga pemadam kebakaran untuk apa pun yang dikerjakan para senior partai, sebagian kawan kini ada di posisi yang sangat memungkinkan mereka terpilih. Sekian bulan ini para calon legislatif bekerja keras, mulai dari berkunjung ke konstituen, calon konstituen, dan mempersiapkan diri sebagai calon pejabat publik. Hal yang tidak mudah dilakukan di era iklim ‘apa-apa serba duit’.
Dulu saya pernah merasakan keringat dingin karena maag, dan rakyat bawah yang ingin kami ajak untuk bergabung selama dua jam menyandera dan bertanya apakah apa sudah siap ‘uang sekian ratus ribu’ untuk per kepala dikala uang sepeser tidak ada di kantong ketika mengerjakan demokrasi partisipatoris. Mimpi tentang demokrasi ideal, model pertukaran ide dan pembelaan terhadap mereka yang paling lemah tenggelam dalam kenyataan bahwa anda juga disandera oleh orang-orang miskin ini. Untuk scene ini perasaan yang paling tepat dikisahkan lewat para ronin (samurai tak bertuan) dalam Seven Samurai-nya Kurosawa, yang berjuang untuk mempertahankan desa, dari serangan rampok. Dan para penduduk desa yang senantiasa mencurigai para ronin menyembunyikan makanan. Keinginan para samurai untuk mengadu nyawa untuk mempertahankan kepentingan orang banyak, tidak selamanya dipercayai orang kecil yang sekian abad ditipu, ditipu, dan ditipu.
“Suuudah Pak, jangan omong banyak, bayar putus ko abis!” Ini kejujuran yang pahit yang bisa ditemui di lapangan. Selanjutnya, setiap SMS dan telfon cenderung ditanggapi seperti Putu Wijaya yang menunggu Telegram. Permintaan uang, mungkin bisa bikin orang parno. Itu bisa saja kabar kematian. Ya, kematian harapan-harapan yang gugur.
Ironi semacam ini membuat fantasi tentang rakyat kadang hilang timbul dimakan kemarahan. Jika sebagian yang sudah kebal, mereka punya trik mematikan. Bagi mereka yang baru pertama, biasanya pasti shock. Sebagian lain langsung trauma sebelum mencoba.
Mencari celah untuk tetap bisa idealis dan bernafas dalam sistem tidak mudah. Jika setiap hari menelan pil pahit, apakah mungkin orang mampu untuk bertahan dengan kaki-kaki idealnya? Ataukah ruang-ruang aneh itu juga mengubah orang menjadi profil seseorang yang dulu ia hindari dan ia kutuk dalam orasi di atas aspal-aspal panas itu?
Pengalaman bekerja di dalam sistem demokrasi transaksional membuat orang seharusnya tidak gegabah untuk memvonis hitam-putih. Ketika memilih bekerja dalam sistem, lidah anda sebagian sudah digembok. Ada sekian aturan struktur partai yang harus ditaati. Ada sekian idealisme yang harus tidak diucapkan. Ada sebagian diri yang harus hilang. Yang paling pahit, ada sebagian perkawanan yang harus hilang. Harga dari langkah menuju kekuasaan adalah Homo Homini Lupus. Manusia adalah serigala untuk sesamanya.
Di belantara per-caleg-an semacam ini, orang berhadapan dengan sekian plot cerita. Ujungnya selalu terbuka. Happy Ending, tidak selalu terjadi. Tetapi, bukankah keberanian untuk mencoba, dan mengalahkan sindrom manusia parno itu juga merupakan sebuah prestasi? Anda berani untuk maju. Anda berusaha siap untuk menang. Anda mungkin sudah siap untuk kalah. Anda sudah habis-habisan, dan ini seperti main judi.
Jika punya modal finansial, gaya penjudi lebih cocok. Dengan gaya profesional, sumbangan bisa diarahkan dengan tepat kepada konstituen. Dengan gaya orang partai, seluruh mesin harus bisa berjalan. Dengan gaya orang suci, anda dilumat hingga sumsum.
Ya, fantasi demokrasi transaksional, jelas bukan seperti demokrasi deliberatif seperti yang diceritakan Habermas. Di Indonesia, jauh lebih rumit. Modal sosial menjadi pertaruhan. Segregasi yang telah tercipta sekian lama, dengan mudah berubah menjadi luka dalam kontestasi. Bukan cuma rakyat jelata, maupun emak jelita, tapi para aktivis sendiri tiba-tiba menjadi manusia narsis melankonlis. Saya menjadi lebih besar, dan merasa paling menderita di atas sekian fenomena sosial yang menolak untuk dibaca tuntas.
Orang kadang menyindir Mr. P yang mengucapkan ‘Saya lebih aktivis daripada aktivis’. Namun, kenyataannya, kesimpulan hitam-putih semacam ini lah yang dominan di layar media sosial. Ada banyak kemarahan, ada banyak kekecewaan, ada banyak permusuhan yang tidak perlu. Ada banyak argumentasi yang juga tidak perlu untuk diungkapkan. Bukan soal benar atau salah. Tetapi, ada perasaan orang tidak mau mendengarkan orang lain bicara. Monolog dalam keramaian semacam ini semakin membuat demokrasi transaksional tidak mendapatkan pembahasan yang memadai. Yang sibuk dibicarakan adalah luka-luka yang seolah orang lain tak mampu mengerti. Dan hanya saya seorang yang mengerti.
Satu sisi para aktivis begitu tersedot terhadap momentum pilpres, di sisi lain urusan legislatif yang teramat penting ini dilewatkan. Para anggota dewan ini bukan pemain figuran, mereka ini lah nadi kebijakan publik. Yang begerak dari level kecamatan hingga ibukota negara. Perjuangan para caleg di ruang-ruang kecil menentukan apakah Indonesia dijual atau tidak. Jadi bukan hanya soal presiden. Skenario film hitam putih yang menempatkan eksekutif sebagai satu-satunya penentu adalah kegagalan analisis.
Pukulan yang diterima di kepala kawan-kawan mahasiswa di Aceh, atau pun sengketa tambang garam di Kabupaten Malaka (NTT) yang merontokan sekian hektar lahan mangrove di wilayah hutan adat tentu bukan soal siapa presidennya. Tetapi mengapa di era “yang katanya demokrasi” ini para anggota DPR yang seharusnya membela kepentingan orang banyak, malah hanya diam, dan membiarkan para mahasiswa dan tetua adat dirampok oleh nalar investasi tanpa belas kasihan. Kenapa mereka yang membela “R” (Rakyat), berubah menjadi “r” (rampok)?
Dari Aceh hingga Papua perampokan ini terjadi, dan tidak mungkin level pertaruhan oligarki hanya ditempatkan di level kepala negara. Level pertarungan harus ditempatkan mulai dari level kecamatan.
Bergerak di level Indonesia pun, tidak bisa bermain parokial. Orang Bali urus orang Bali, orang Aceh urus orang Aceh. Orang Papua urus orang Papua. Orang Minang urus Orang Minang. Itu tahun sebelum 1928. Dalam wilayah Indonesia sesulit apa pun elemen kritis harus mampu menemukan pengertian sehingga tidak saling bunuh dalam pasar demokrasi terkini. Orang Indonesia 2019, sibuka meletakkan luka di wilayah parokial. Luka orang Aceh, luka orang Minang, luka orang Papua, luka orang Bali, luka orang Timor, dan luka orang Indonesia malah tidak ada.
Marah dan takut adalah reaksi awal. Jika anda tergolong orang yang mengerti persoalan maka marah atau takut tidak menjadi bagian dari laku hidup sehari-hari. Maksud saya marah yang sifatnya personal. Kalau marah untuk para garong, itu harus. Aneh jika tidak marah. Tetapi marah karena tidak dimengerti oleh sesama aktivis lain ini lah yang paling soal.
Soal identitas agama, yang dianggap menjadi sumbu kemarahan. Itu lebih soal ketakutan. Semua orang takut terhadap dunia yang berubah. Soal dapur yang tidak berasap. Soal ‘si dia yang asing’ yang menguasai rumah sendiri. Soal para pembaca huruf yang lupa membaca realitas dengan mata terbuka, hanya dengan kemarahan, apalagi menari di atas luka-luka kawan sendiri. Sudah lah, anda bukan aktivis, kalau hanya mengerti luka sendiri. Jika kawan sendiri tidak dimengerti, apalagi konsep rakyat. Jika budi saja tidak ada, tidak ada guna bicara soal siapa yang lebih suci.
NB: tulisan ini saya persembahkan untuk para sahabat yang menjadi caleg. Selamat berjuang Sahabat!
Pilkada NTT dan Politik Mamalia

Gajah di Amboseli national park dengan latar Gunung Kilimanjaro [Credit: Dr. Stacey Sauchuk]
NTT krisis kepemimpinan publik! Begitu banyak pejabat, begitu sedikit pemimpin. Energi kita habis membahas ritus-ritus politik berbiaya mahal. Kepejabatan dianggap lebih penting dari kepemimpinan.
Beberapa intelektual Republik maupun NTT bertanya: mengapa skala ekonomi Pilkada NTT yang menyentuh Rp. 0.5 triliun (Rp. 500an milyar) hanya sekedar menghasilkan pejabat publik tanpa kepemimpinan publik soal yang memadai?
Sebagai misal, publik Kota Kupang mengeluh dan bertanya: mengapa untuk mengatasi pipa bocor di tengah kota saja membutuhkan waktu berbulan-bulan?
Dalam diskusi Forum Academia NTT beberapa hari yang lalu soal apakah daerah kepulauan ini perlu mendapat status khusus, ada perdebatan soal masalah kelembagaan di Indonesia yang di tuduh sebagai akar masalah langkanya ketersediaan pemimpin publik. Tiga hal yang menjadi alasan yakni pertama soal sistim kepartaian yang masih sangat terpusat yang tidak mampu merekrut orang yang tepat kecuali berduit dalam kontestasi Pilkada.
Ke dua soal fakta arsitektur kekuasaan di propinsi yang sangat terbatas sehingga seorang gubernur sering tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah di kabupaten kota. Ketiga, soal aransement kekuasaan vertikal pusat dan daerah yang tidak sinkron. Misalkan dalam hal perdaganan manusia: daerah tidak memiliki pegangan akibat ketiadaan skema kelembagaan yang jelas yang perlu diciptakan dari pusat. Tentu, tidak semua urusan mendesak di daerah harus menunggu Pusat bergerak.
Walau tiga hal di atas ada benarnya saya kira menunggu terjadinya kesempurnaan arsitektur kelembagaan di atas membutuhkan waktu dan mungkin tidak pernah tercipta dalam waktu dekat. Memperbaiki kelembagaan di atas tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat dan tidak mungkin diselesaikan dari daerah.
Yang paling urgen adalah memperbaiki karakter kepemimpinan di daerah sebagai jalan yang lebih penting di ambil dalam konteks saat ini. Konteks kepulauan dengan karakter yang kompleks seperti NTT, kepemimpinan yang kita cari perlu memiliki empat kualitas berikut.
Pertama, sense of purpose. Pemimpin harus memberikan arah atau tujuan. Ke mana kita mau melangkah sebagai bangsa, sebagai komunitas, sebagai orang-orang kepulauan. Arah lebih penting dari kegiatan. Hari ini kita punya pejabat-pejabat yang punya banyak kegiatan-kegiatan yang padat. Tetapi di tiap akhir tahun, kita bingung, dari mana kita datang dan mau ke mana kita pergi? Apakah kemiskinan dan ketidak-amanan manusia NTT berkurang?
Kedua, sense of servanthood. Seorang pemimpin adalah pelayan. Slogan ini tidak cukup. Pemimpin yang sejati mesti menjadi seorang pelayan publik, yang terus menerus terobsesi dengan menghadirkan kesejateraan pada keluarga-keluarga yang belum mendapatkannya. Pemimpin harus terus mencari fakta-fakta kemiskinan untuk di sejarahkan secepatnya di sini, di NTT, hari ini. Ia selalu gelisah ketika rakyatnya tidak berkecukupan. Ia memaki dirinya ketika ada rakyatnya yang bertahun-tahun tidak memiliki akses pada pendidikan dasar maupun pelayanan dasar baik listrik maupun air. Tidak sulit memahami soal ini.
Seorang pemimpin dengan sense of servanthood, akan merasa terganggu manakala ia dikelilingi para conformist, yakni kerumunan orang-orang di sekitarnya yang bermain drama dengan mencium tangan dan atau pura-pura tunduk menyembahnya dengan puji-pujian palsu yang menyenangkan telinganya. Seorang megalomaniac tidak mungkin menjadi pemimpin yang melayani.
Ketiga, sense of solidarity. Politik kita bukan hanya beroperasi dalam sekat-sekat primordial, namun justru memberkuat struktur-struktur primordial. Primordialisme adalah bentuk politik mamalia yang paling dasar. Konon, kata Bung Pius Rengka, primordialisme ini sengaja dipelihara secara sistimatis demi keuntungan politik. Pemimpin yang solider dan merangkul semua yang berbeda. Bila anda mau menjadi pemimpin, anda wajib solider dengan mereka yang marginal dan kalah. Merangkul bukan dengan uang; Tetapi dengan secara sadar meruntuhkan sekat-sekat pemisah. Manakala rakyatnya ditelan aparat, ia tidak diam. Manakala rakyatnya ditelan pasar, ia tidak tidur apalagi menyangkal.
Satu dekade silam, tepatnya suatu senja, seorang teman mengalami krisis karena pesawatnya bermasalah dan kerenanya tidak bisa terbang kembali ke tanah air. Ini di Liberia, negara yang masih labil. Kru penerbangan tidak memberikan arah yang jelas tentang ‘what next’; Orang-orang pada bingung apakah harus menunggu di bandara yang sudah hampir tutup, atau harus ke kota? Tidak ada panduan. Situasi makin malam. Secara tidak sadar, para penumbang membentuk kelompok dan bisa ditebak: menurut warna kulit. Yang putih bersatu, yang coklat – Asia bersatu; Yang gelap/Afrika bersatu. Jangan salah, teman saya ini sangat progresif dan menjujung perbedaan.
Situasi krisis membuat orang terjebak dalam grouping yang khas mamalia. Bisa kita lihat dari kambing / sapi sejenis yang bergerombol menurut bau-nya masing-masing.
Tetapi Pilkada bukan sebuah situasi krisis. Sebuah pesta. Dalam ajang mencari pejabat yang memakan 500 milyar Rupiah, kita melihat parade marketing politik yang intinya memberikan insentif bagi menguatnya primordialisme. Kapitalisme politik lokal hanya membuat manusia menjadi mamal. Tidak lebih. Hanya manusia yang benar-benar manusia yang mampu meruntuhkan primordialisme.
Keempat, sense of crisis. NTT mengalami krisis dalam banyak hal. Salah satunya adalah krisis human trafficking(perdagangan orang). Tetapi pemimpin tertinggi tidak merasa demikian. Penguasa di singasana kekuasaan berjarak terlalu jauh dari realitas krisis yang ada. Dan karenanya, pemimpin yang menyangkal realitas tak layak diingat. Tetapi calon-calon pengganti-nya diam.
Paradigma dan Kemampuan Bertanya
Untuk melihat luasnya paradigma seorang pemimpin anda bisa mengajukan tiga pertanyaan diagnostik berikut: Pertama, apa yang ia katakan. Seorang pemimpin harus mampu mengartikulasikan pemahamannya akan masalah-masalah di masyarakat; Ia harus jelas dalam mengkomunikasikan visi-nya tentang apa yang harus terjadi untuk menghentikan kemiskinan dan kerentanan rakyatnya atas berbagai tekanan dan ancaman. Apa yang ia katakan pertama dan yang terakhir patut anda catat. Seberapa sering dan konsisten pesannya di tiap forum layak anda catat.
Kedua, anda perlu mencermati apa yang tidak pernah dikatakannya. Anda bisa daftarkan sejumlah hal yang perlu diselesaikan di berbagai tingkatan komunitas yang anda ketahui dan membandingkan dengan apa yang selalu hilang dari pidato-pidato (calon) pemimpin anda. Apakah ia memikirkan soal ketimpangan ekonomi? Apakah ia memikirkan bagaimana anak-anak dari kampung dapat mengenyam pendidikan tinggi melampaui kampungnya sendiri? Apakah ia membangun jembatan di daerah-daerah diluar kampungnya? Ataukah ia hanya mampu punya visi jembatan melintasi pulau di kampung halamannya?
Ketiga, anda perlu mencermati apa yang tidak berani dikatakannya. Bila berbagai isu yang terang benderang seperti human trafficking, apakah ia konsisten memikirkan soal menyelesaikan akar masalah kemiskinan dan human trafficking? Atau kandidat tertentu terkesan takut bicara? Apakah mereka berteman dengan para traffickers.
Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kemampuan mengajukan pertanyaan seorang gubernur/pejabat anda? Tidak semua pertanyaan memiliki nilai strategis. Ada pertanyaan yang lebih penting di ajukan ketimbang yang lain. Contoh: apakah seorang pemimpin cenderung menanyakan pertanyaan terkait akar masalah dan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan hak-hak dasar terkait pangan dan hal pencatatan sipil? Atau mereka hanya lebih tertarik bertanya soal siapa dan apa aktivitas rutin formal dan kegiatan-kegiatan seremonial yang berlangsung?
Tingkat kemampuan mengajukan pertanyaan menunjukan derajat kualitas seorang pemimpin.
Visi Collective Leaderships
Gubernur dan pemerintah propinsi memiliki keterbatasan jelajah terkait pemenuhan cita-cita Republik untuk membangun manusia Indonesia yang lebih utuh. Keterbatasan tatakelolah kepemerintahan oleh gubernur ini dimengerti dengan baik oleh para bupati maupun Pemerintah Pusat. Karenanya seorang gubernur hanya bisa berhasil bila ada kepemimpinan kolektif ditingkat operasional implementasi program-program pemerintah propinsi.
Di era desentralisasi ini, memimpin tidak bisa dengan model command and control. Model ini pernah cocok pada dunia militer dan jalanan era dulu. Hari ini anda harus paham soal bagaimana menggunakan kekuasaan secara efektif karena betapa terbatas kekuasaan itu. Mengapa ada propinsi berkinerja baik? Mengapa beberapa walikota dan gubernur mampu melakukan perubahan tetapi tidak di daerah kita?
NTT sebagai sebuah propinsi kepulauan mensyaratkan pemimpin yang mampu bertindak sebagai team player. Apakah ketika anda menjabat sebagai gubernur, apakah anda cukup proactive membuat jadwal untuk bertemu secara personal ke 22 bupati/walikota untuk secara sistimatis membangun benchmark pembangunan NTT secara bersama.
Membangun kepercayaan dengan kabupaten adalah hal penting. Menjadikan daerah sebagai rekan kerja tidak kalah penting. Hal-hal kecil seperti rajin mengunjungi kabupaten dan membangun kepercayaan dari tiap pemimpin di kabupaten kota akan membuat perbedaan yang besar.
Secara aktif mengundang bupati/walikota makan pagi bersama secara kolektif maupun empat mata perlu didisain secara reguler. Secara aktif dan bersama memetakan daerah-daerah rentan kemiskinan, desa-desa tertinggal dan secara bersama memikirkan persoalan-persoalan dan mengidentifikasikan nilai tambah propinsi merupakan skill yang memungkinkan keberhasilan.
Pengambilan keputusan dan kemampuan eksekusi
Kapabilitas pengambilan keputusan gubernur biasanya bermanifestasi dalam dua bentuk sederhana. Kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan eksekusi agenda.
Tentang pengambilan keputusan, kita memerlukan pemimpin yang mampu risk taking (mengambil risiko). Apakah calon pemimpin anda memiliki karakter risk taking? Bagaimana ia mendemonstrasikan hal ini di masa lalu? Apakah ia cukup visioner? Mengapa ia mampu mengeluarkan kocek pribadi yang besar untuk Pilkada dengan risiko kalah tetapi tidak mampu mengeluarkan kocek untuk sekolah-sekolah yang sekarat jauh sebelum hingar bingar Piljada (pemilihan pejabat daerah)?
Apakah calon pejabat / pejabat kita memiliki kemampuan eksekusi? Bagaimana kita memprediksi si A atau si B memiliki kemampuan tersebut? Ada begitu banyak perencanaan dari tingkat desa hingga propinsi, tetapi berapa banyak rencana yang terealisasi? Mengapa begitu banyak agenda perbaikan hidup rakyat berjalan ditempat?
Pilkada Tanpa Politik
Mungkin yang lebih tepat bisa digambarkan situasi hari ini adalah kontestasi Piljada (pemilihan pejabat daerah) dan bukan Pilkada (pemilihan pemimpin daerah).
Politik modern sejatinya adalah sebuah mekanisme kelembagaan yang secara formal ataupun informal bekerja untuk memproduksi/reproduksi kesejahteraan rakyat. Tidak lebih tidak kurang. Sumber energi penggeraknya sejatinya dan utamanya adalah visi dan gagasan dan bukan uang.
Tentang Indonesia hari ini, kita melihat segerombolan anak-anak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Entah halal atau tidak, anak-anak ini memiliki sumber daya uang yang besar untuk menggerakan tim besar untuk mengajak masyarakat memilih mereka jadi pejabat publik. Mirip gula, anak-anak ini dikerubuti para semut yang datang menyembah.
Politik anak-anak ini cukup unik. Pilkada tanpa politik berarti politik tanpa politik. Karena alat gerak bukan lagi gagasan dan visi tentang masa depan yang lebih baik. Hanya sekedar lipstick atau dekorasi Piljada. Ketika uang jadi panglima Piljada maka harapan untuk NTT yang ‘istimewa’ adalah utopia yang tak berdaya. Kita sekedar menjalankan sisi mamalia ketimbang manusia. Dan ketika ke-mamalia-an (baca kebinatangan) yang berkuasa maka politik sudah mati.
Krisis kepemimpinan ini tidak hanya terjadi di sektor pemerintahan (baik yang terpilih maupun terseleksi). Di sektor masyarakat sipil (OMS), krisis juga makin menjadi. Runtuhnya sistim pendanaan masyarakat sipil membuat para pemimpin OMS ‘terpenjara’ di bawah ketiak politisi berduit. Intelektual publikpun cenderung tertarik ke dalam pusaran politik untuk berbagai alasan terutama “merubah dari dalam”. Menariknya, perubahan seolah makin sulit terlihat.
Bagaimanapun, krisis kepemimpinan ini harus dihentikan. Ya, anda harus memulainya dari diri anda. Hari ini. Tidak bisa ditunda!
***
Potensi diskursif presiden: Sepeda dan Buku

Sumber Tribun Medan / Twitter Jumat, 10 Februari 2017 07:49
Mengapa bukan buku tapi sepeda? Tanya Rocky Gerung!
Dalam logika politik kawanan Indonesia yang semakin Boolean, yang diframing “salah-benar”, binari hitam-putih, 0-1, “kita-mereka”, maka berpendapat tegas di ruang publik selalu dikotak-kotakan dalam ‘pro dan anti’ kelompok/pihak yang dikritik. Karena itu, kritik Gerung pada Presiden Jokowi pun ditanggapi beragam dalam nuansa binaris, salah-benar dan Sono versus Sini.
Jalan keluarnya hanya 1. Mari bersama-sama terapkan logika fuzzy aja. Jadi tidak 0, tidak 1. tetapi ada sekian pilihan dari 0.00001 hingga 0.999999. Pilihan inilah pilihan Republik yang ragamnya ragam sekali. Pulau dan sukunya super ragam.
Kita perlu buku. Kita perlu sepeda. Bukan sepeda atau buku. Keduanya dan banyak lagi.
Namun tetap menarik mencermati apologetik di Facebooknya Pak Jokowi “Mengapa Sepeda“? “Mungkin ada yang bertanya, mengapa sepeda? Mengapa seorang Presiden senang membagi sepeda lewat kuis di setiap acara dan kunjungan? Mengapa bukan uang, televisi, atau telepon genggam? Saya senang bersepeda sedari dulu. Bersepeda itu mandiri dan bekerja keras. Kemajuan, kelajuan, juga kecepatan dihasilkan dari usaha sendiri, gerak tubuh sendiri, tanpa mesin atau dorongan tenaga orang lain. Seberapa cepat kita ingin sampai ke tujuan tergantung seberapa keras kita mengayuh. Bersepeda itu gambaran kebersamaan dari anggota tubuh yang beragam bentuk, fungsi dan posisinya. Dengan mengayuh sepeda seluruh anggota badan bergerak dalam harmoni. Dua tungkai kaki mengayuh pedal seirama, mata memandang awas ke depan, tangan menggenggam kemudi seraya jari waspada menarik tuas rem. Bersepeda itu bergerak maju dalam keseimbangan. Jika jalan menanjak, badan sedikit membungkuk. Jika berbelok ke kanan atau ke kiri, tubuh ikut menyelaraskan. Satu yang tetap, titik berat pesepeda selalu ada di tengah-tengah. Bersepeda itu untuk semua orang, semua usia, lintas suku dan peradaban. Lagipula, bersepeda itu sehat, baik buat lingkungan sekitar karena bebas polusi. Pendeknya, bersepeda itu adalah bekerja keras dan mandiri, melaju dalam harmoni dan keseimbangan. Dan karena itulah, saya senang berbagi sepeda di setiap acara dan kunjungan.”
Kita tau bahwa besar kemungkinan ada staff di Istana yang mendukumentasikan video dan statement di atas. Terhadap sepeda, postingan di atas sekedar bertanya “Mengapa bukan uang, televisi, atau telepon genggam?” [Bisa disimpulkan, buku tidak berada pada lapisan mental teratas penulis postingan di atas – entah di lakukan staff istana ataupun didikte Pakde secara langsung dan langsung diposting tanpa edit].
Menarik juga bahwa diluar postingan di atas, intelektual-intelektual pro-istana mencoba membangun argumentasi dan bukti tambahan: postingan-postingan buku dan fasilitas pengiriman buku gratis ke daerah-daerah oleh Presiden.
Sejumlah argument tambahan soal mengapa pentingnya sepeda tentu diutarakan dalam ribuan postingan media sosial. Ada yang berargumen soal mengurangi konsumsi karbon lewat penggunaan sepeda.
Sudah tentu, kita butuh semakin banyak sepeda. Perang melawan malnutrisi abad 21 dalam wujud obesitas perlu dilakukan lewat banyak jalur. Obesitas adalah masalah malnutrisi anak, remaja hingga pemuda yang berakibat pada berbagai penyakit seperti hipertensi, gagal ginjal, gagal jantung, diabetes dsb. Obesitas akan menjadi masalah public health nomor wahid yang dalam banyak hal tidak berada dalam agenda pemda-pemda di tanah air.
Sepeda hanya salah satu jalan keluar. Tetapi juga perlu perbaikan jalan dan pengadaan trotoar. Membuat sistim transportasi dan jalan raya semakin ramah pada pejalan kaki dan pengguna sepeda.
Perlu Juga Buku
Saya mengusulkan Pak Jokowi membagi buku-buku dalam perjalanan-perjalanan beliau. 1 sepeda bisa setara 20 buku Bumi Manusia si Pramoedya Ananta Toer. Tidak usah takut soal gosip murahan bahwa ini buku kiri. Ini buku penting bagi generasi muda dan tua. Buku ini bicara soal kedaulatan rakyat dalam berpengetahuan sendiri. Spirit ini tidak begitu tegas terdapat dalam buku-buku lain yang lahir kemudian di tanah air. Buku ini buku eksistensialist NKRI yang sejati.
Tentu, pak Presiden bisa mengumpulkan data soal 50 buku terbaik yang wajib di baca anak-anak di tanah air. Tetapi bisa juga dibalik: Istana membeli buku-buku dari penulis-penulis di daerah seperti NTT dan Papua lalu membagikannya pada anak-anak di Jawa dan Sumatra. Dan sebaliknya anak-anak di NTT dan Papua di bagikan buku-buku dari penulis-penulis muda di Kalimantan dan Jawa. Supaya keberagaman pandangan dan visi ekologis bisa dibagi secara lebih cepat.
Tentu pak Gerung ada benarnya. Presiden itu bukan saja panglima militer tertinggi, tetapi juga panglima peradaban Indonesia tertinggi. Ia memiliki potensi paling besar soal membangun diskursus pentingnya membaca buku. Potensi diskursif presiden ini bisa menjadi kekuatan pengubah sosial yang menyembuhkan dan membangun kesadaran kritis.
Pak Jokowi, kita butuh anda hadir juga dalam gerakan literasi secara lebih sistimatis. Sebagaimana anda agresif dalam membangun jalan-jalan fisik di Papua dan Kalimantan, demikian pula anda perlu membangun “jejaring jalan” yang bersifat mental batiniah. Membagi buku adalah salah satu jawabannya.
Salam!
J.A. Lassa
Retaknya ke-Alor-an
- Divided Society – copied from sscm.ac.uk
Jonatan A Lassa [Pos Kupang 24 Mei 2006]
ALOR, kemajemukan dan pluralitas adalah realitas sosial yang sudah berusia tua. Dari sisi kemajemukan bahasa, pluralisme keagamaan, Alor punya romantisme tersendiri seperti pela-gandong di Maluku. Ke-Alor-an perlahan tercabik. Visi kebersamaan Alor-Pantar hilang karena kepentingan-kepentingan sesaat.
Konon, sering dikisahkan pluralisme sang Raja Alor yang menanggapi para misionaris agama bertahun-tahun lalu. Baik misionaris Kristen, Islam maupun Katolik disambutnya, dan tiap-tiap misionaris agama mendapatkan pengikut masing-masing satu anak kandungnya. Relasi agama-agama di Alor diikat, sebelumnya diikat oleh hubungan darah dan saling kawin. Keunikan ini tentu tidak eksklusif milik Alor, tetapi juga Poso dan Ambon.
Masyarakat kita terpecah (lagi). Setidaknya sebagian kecil masyarakat Indonesia di Alor. Rumah dibakar dan dirusak, kelompok pemuda berbeda saling menyerang, ada yang mengungsi, polisi tidak berkutik karena kedua kelompok memiliki senjata rakitan dan panah, adalah cerita tipikal awal mula konflik berkepanjangan Sulawesi Tengah dan Maluku yang sudah berusia 8 tahun. Ramalan berbagai pihak beberapa tahun lalu tentang potensi konflik Alor akhirnya terjadi.
Disayangkan, masyarakat di level akar rumput, seolah kehabisan cadangan toleransi untuk hidup dalam semangat solidaritas horizontal. Hubungan darah, suku yang menjamin hubungan timbal-balik seolah menguap habis, ditelan nafsu fundamentalisme agama yang memupuk kebencian satu dengan lainnya di alam bawah sadar. Khotbah tentang damai dan kasih di gereja dan mesjid seolah menguap begitu saja tanpa relevansinya di kehidupan nyata.
Pelanggengan keretakan sosial
Sewaktu penulis meneruskan email Rm. Leo Mali yang menawarkan untuk menggantikan Tibo CS di berbagai yahoogroups di kalangan terpelajar Indonesia di luar negeri, muncul berbagai tanggapan positif maupun negatif. Yang mengejutkan adalah terlalu banyak negatifnya, dan terkesan kita sudah hidup begitu terpecah. Memori dan alam bawah sadar kita tiba-tiba terungkapkan secara tiba-tiba yang menunjukkan bahwa kita hidup saling curiga.
Yang menyedihkan adalah praktek saling curiga ini dilanggengkan oleh kaum intelektual Indonesia. Di level komunitas akar rumput, dari orangtua, pemuda dan anak-anak, kita hidup secara terpecah-pecah. Retak sosial masyarakat Indonesia sangatlah kasat mata. Yang pernah menegasikan tesis Samuel Huntington tentang “The Clash of Civilization” justru menegaskan secara tidak langsung bahwa “The Clash of Civilization” menjadi self-fulfilling prophecy.
Dari pemetaan risiko konflik beberapa tahun lalu di Alor, ada berbagai perspektif lokal yang mulai memperhitungkan repatriasi kaum sekolahan kembali ke Alor, yang terkesan semakin kental spirit fundamentalisme. Dari berbagai sumber lokal, yang tentunya tidak bebas asumsi konspiratif, didapatkan bahwa keretakan sosial ini cukup terasa setidaknya empat tahun terakhir.
Retak sosial di Alor
Dalam pertemuan diskusi kampung untuk manajemen bencana di Desa Alila Timur, Kecamatan Alor Barat Laut, tepatnya Mei 2003, komunitas warga mengatakan bahwa kekuatan utama masyarakat di Alor adalah “Nilai persatuan dan kesatuan dalam masyarakat cukup tinggi dibuktikan dengan relasi antarumat beragama yang baik di mana sering mesjid dan gereja dibangun bersama oleh dua umat beragama”. Praktek ini terjadi bukan hanya dalam konteks masyarakat rural tetapi juga urban seperti Kota Kalabahi. Cerita ini mencerminkan internalisasi nilai-nilai pluralis yang diturunkan secara paternalistik dan mampu bertahan relatif lama.
Masyarakat Desa Alila Timur mengatakan bahwa mereka memilikipersoalan-persoalan berulang (cyclical) seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, angin topan, hama kutu kelapa, tikus dan diare. Ketika ditanya konflik sebagai sebuah potensi bencana, bahkan tidak terbanyangkan oleh mereka. Mungkinkah perbedaan belum dimanipulasi saat itu?
Hal yang kontras terjadi ketika dilakukan pemetaan social capital di Kalabahi, Ibu kota Kabupaten Alor, di mana komunitas pemuda begitu terpecah-pecah dalam kampung Kristen dan Islam. Retak sosial ini terus dilanggengkan setiap tahun, ketika pertandingan olah raga antarkampung. Tawuran pemuda antarkampung ditarik ke konflik agama. Evolusi sosial ini tiba-tiba baru saja dirasakan sebagai sesuatu yang baru saja terjadi kini.
Dalam perjalanan mengelilingi Alor tiga tahun silam, dari Ibu kota Kalabahi, lewat Kecamatan Alila, hingga Kokar, kita akan melihat realitas komunitas desa yang hidup terbagi-bagi sebagai “desa Kristen”, “desa Islam” – berselang seling. Perjalanan ini mengingatkan penulis pada kondisi Poso di tahun 2002. Walaupun demikian, pelabelan desa berbasis agama antardesa ini, pada dirinya sendiri mengandung potensi konflik, bila perbedaan dimanipulasikan sebagai alat peretak sosial.
Secara kultural, dengan terbaginya Alor dalam bahasa lokal yang sangat ragam, yang secara inheren, perbedaan kultural ini bisa dimanipulasi untuk menciptakan konflik, walaupun sifatnya evolutif. Yang seharusnya terjadi adalah perbedaan dikelola menjadi sumber daya sosial bagi pembangunan, bukan anti pembangunan dalam bentuk konflik.
Peranan negara tentunya diharapkan untuk mampu meredam tindakan manipulasi perbedaan menjadi konflik berdarah. Instrumen kebijakan tidak harus direduksikan menjadi “proyek” toleransi beragama semata. Terminologi “pilot proyek” toleransi umat beragama, seolah toleransi itu sebuah visi jangka pendek yang tergantung pada berbagai variable seperti ketersediaan dana dan waktu. Seolah pengalaman hidup bersama masyarakat yang sudah berusia ratusan tahun telah sirna.
Haruskah reinkarnasi konflik Poso dan Ambon terjadi di Alor? Jawaban tegas terhadap pertanyaan di atas adalah tidak. Tetapi supaya tidak terjadi lagi reinkarnasi konflik Poso dan Ambon di Alor, maka harus ada resolusi berbasis komunitas yang serius dilakukan. Upaya serius perlu dilakukan secara langsung oleh komunitas sendiri dengan daya, akal dan kemauan mereka sendiri, sebelum semuanya terlanjur.
Salah satu isu yang mengemuka adalah skenario pembentukan Kabupaten Alor Barat, yang nantinya lebih homogen secara agama. Ini yang terjadi di Maluku dan Sulawesi Tengah dan yang ditakuti adalah skenario ini harus memakan nyawa manusia tak bersalah yang dilakukan oleh pihak-pihak haus kekuasaan.
Secara elitis diperlukan resolusi simbolik, antarberbagai elite-elite dari pihak yang berbeda, pemimpin agama, representasi negara dan penegak hukum dan lembagaadat dan sebagainya. Menjadi soal ketika resolusi simbolik di level atas tidak otomatis ‘trickle down” ke level komunitas. Resolusi konflik dan peace building multi level perlu dicari bentuknya yang paling tepat. Intinya, resolution from the bottom lebih sustainable karena masyarakat kecil sangat berkepentingan dengan damai.
Ke-Alor-an yang majemuk harus dipertahankan. Ancaman terjadi karena bangkitnya keradikalan garis keras berbasis agama (yang lahir di hampir semua agama kini) yang baru mau mengakar, harus putuskan jaringannya.
Polisi dan intelijen sudah sejak dini seharusnya serius menelusuri pergerakan logistik senjata untuk konflik seperti senjata tajam dan bahkan senjata rakitan maupun otomatis harus menjadi agenda utama.
Belajar dari pengalaman Poso dan Ambon, di Alor kiranya aparat bisa berkomitmen penuh untuk rakyat semata. Aparat kepolisian haruslah kompak dan tidak terpecah dan tidak turut melanggengkan masyarakat sosial yang telah terpecah. Semua pihak harus mampu menyelesaikan masalah ini dengan menjadi mediator yang bijak tanpa harus memperkeruh suasana. Bukan sebuah pikiran baru dan sulit, tetapi diperlukan ‘revolusi’ internal di dalam lembaga negara tersebut.
Pos Kupang 24 Mei 2006
http://www.indomedia.com/poskup/2006/05/24/edisi24/opini.htm
Negeri Krisis Pemimpin
Setelah otonomi kebodohan tumbuh satu-satu lama-lama jadi hutan ke laut mengalir bagai banjir bandang ke daratan kebodohan itu kembali seperti tsunami kebodohan menjadi lumrah Negeriku darurat epidemik tuna pikir napsu penguasa makin besar makin birahi korupsi makin birahi proyek raksasa naiknya pendapatan hasil reformasi pajak (mau) digunakan untuk patung dan jembatan megah proyek tanpa visi pengentasan kemiskinan tanpa visi pengentasan buta huruf tanpa visi pencegahan kematian ibu anak Negeriku darurat epidemik tuna pikir rakyat busung lapar dan miskin pempimpin-pemimpin tuna pikir itu bangun patung megah pempimpin-pemimpin tuna pikir itu bangun jembatan melintasi hutan pempimpin-pemimpin tuna pikir itu bangun jembatan melintasi laut ahhh, mereka makin kaya saja mampu membeli pesawat terbang pribadi Negeriku oversupply pemimpin tuna pikir rakyatnya laris di jual mafia trafficking jembatan laut dan patung-patung tinggi solusinya aktivis LSM diam seribu bahasa melawan rejim rakus anggaran tidak lagi menjadi agenda aktivis sibuk mengerjakan proyek tuan-nyonya dari utara sibuk menjadi konsultant pilkada Negeriku darurat kebodohan sedangkan para calon pemimpin yang mengaku cerdas hanya mampu menyembah jagoannya yang seagama hanya mampu baper soal pilkada ibu kota alim ulama membius umat dengan ayat-ayat kitab suci pemuda gereja bangga selfie dengan si tuna pikir nan korup dpr dprd perlahan-lahan terkena virus tuna pikir Negeriku darurat kebodohan pemimpin tuna pikir tersebar bagai kanker di semua sudut seperti penyakit menular menjangkiti seperti ruh jahat merasuk kebodohan bertemu kuasa pilkada di negeriku senilai triliunan investasi politik lahirkan penguasa yang tuna pikir mesin politik hanya mampu mereproduksi penguasa bermental zombie yang dikuasai naluri perut saja dan kalau demokrasi melahirkan pemimpin yang tuna pikir dan baper saja saatnya rakyat harus bersuara! Oleh NN, April 2017