
Daerah ini termasuk yang paling luas dengan populasi terbanyak di NTT. Dalam seratus tahun terakhir, tidak banyak dukumentasi sistimatis soal TTS. Sebagaimana biasa sebelumnya, daerah-daerah terpencil di Indonesia merupakan ‘tambang emas’ para antropolog barat. Kita melihat bagaimana para penulis barat menulis buku maupun tesis dengan cukup dalam di daerah-daerah lain di NTT termasuk daerah-derah kecil seperti Rote, Sabu, Sikka, Flores Timur, Manggarai, Sumba, Alor dan sebagainya. Tetapi tentang TTS, tesis-tesis yang ditulis sangat terbatas pada tingkatan suku-suku. Sebut saja Andrew McWilliam (1989) tentang Amanatun, Clark Cunningham (1966), dan H.G. Schulte Nordholt (1971) dan P. Middelkoop (1931) tentang Atoni secara umum – tentu dengan satu dua pengecualian seperti Middelkoop yang cukup fokus pada Mollo(?). Salah satu peliti Indonesia yang meneliti terkait Atoni adalah Hendrik Ataupah (1992) (tesis S3 di Universitas Indonesia berjudul Ekologi, Persebaran Penduduk, dan Pengelompokan Orang Meto di Timor Barat). Tetapi tema besar dari tulisan-tulisan para peneliti Barat ini lebih berfokus pada upaya memahami orang Atoni dan itu berarti meliputi tiga kabupaten besar yakni Kupang, TTS dan TTU.
Hal ini menimbulkan tanya, apakah TTS sebagai sebagai sebuah satuan komunitas dan bukan sebuah satuan administrasi Republik begitu sulit dimengerti oleh para penulis barat? Memang, visi para penulis ilmuan social tidak selalu tertarik pada batas-batas administrasi. Penelitian Joachim Metzner di Sikka (Tahun 1982) atau Paulus Liu di Kupang (2016) minimal bisa menjadi contoh yang tentang bagaimana memahami perubahan sosial masyarakat dalam satuan administrasi. yang tidak perlu ketat.
Tanya di atas melahirkan pertanyaan baru. Bahwa setelah pendidikan memasuki Timor Tengah Selatan dalam 100 tahun terakhir, kita tidak punya sebuah buku yang secara komprihensif mengulas tentang pembangunan TTS dalam sebuah buku yang cukup menggambarkan TTS secara lebih lengkap.
Jangan salah paham. Beberapa buku atau tepatnya laporan tercetak buku sempat di tuliskan Pemda TTS. Sebagaimisal buku Timor Tengah Selatan dalam fakta, masalah dan harapan yang diterbitkan Pemda dalam era pertama rejim Bupati Piet Tallo tepatnya tahun 1989-1993. Laporan sejenisnya lebih tepatnya merupakan parade statistic yang dikutip dari data-data BPS skala tahunan tanpa analisis jangka panjang. Secara textual, jelas laporan-laporan ini walaupun bermanfaat tetapi bukan yang kami maksud sebagai sebuah buku dengan ketebalan wacana yang memadai, tentang apa arti ke-TTS-an bagi orang-orang TTS.
Hari ini kami bertekad untuk menyudahi penantian akan buku-buku yang berbobot tentang TTS. Saatnya kami menuliskan TTS dengan semangat yang mekar berbasiskan pada data dan narasi-narasi yang menguatkan (empowering). Apakah anda tertarik berkontribusi?
Berikut topik yang kami impikan dari buku tersebut;
- Visi rakyat tentang TTS masa depan
- Visi Elit TTS dari masa ke masa
- Analisis ekonomi TTS 1958-2018
- Analisis peternakan TTS 1958-2018
- Kota SoE sepanjang jaman
- 50 tahun pembangunan sosial TTS
- Studi-studi akademis tentang TTS dalam 60 tahun terakhir
- Apakhabar Cendana di TTS?
- Mencari model-model alternatif pembangunan desa TTS
- Ada ide lain?
Text di tulis oleh JA Lassa