200 Tahun Perkembangan Penduduk Rote Ndao dan Sabu Raijua

Penduduk Rote Ndao dan Sabu Raijua 1820-2017

Suggestion for citation: Jonatan A. Lassa and Randy Banunaek 2018. Long term trend of Population Growith and Density in Rote and Sabu districts, NTT.  IRGSC Brief #17, IRGSC. 

IRGSC Brief #17 200 Tahun Perkembangan Penduduk Rote Ndao dan Sabu Raijua.

Untuk memahami perkembangan Rote-Ndao dan Sabu-Raijua masa, saya berpendapat bahwa kita harus mampu melihat kembali ke dua pulau ini dalam kurun waktu dua ratus tahun terkahir. Memahami perkembangan penduduk pulau-pulau kecil penting sekali bagi ilmu sosial maupun studi-studi ekologi manusia. Pengetahuan yang detail soal perkembangan pulau-pulau kecil ini memberikan informasi soal kompleksitas adaptasi manusia dan alam dalam rentang waktu sejarah panjang manusia.

Grafik 1.

Screen Shot 2018-02-02 at 7.21.00 pm

 

Konsep population ecology cukup memberikan inspirasi bagi penelitian ekologi manusia dan antropology di Indonesia dalam skala yang berbeda seperti skala pulau (Ferdinand J. Ormeling -Timor 1950an), Clifford Gertz 1963 – Jawa) ataupun antar pulau (James J. Fox – Rote/Sabu/Timor 1977) ataupun skala kabupaten (Joachim Metzner 1982). Literature-literature ini tentunya penting untuk memahami peranan slow-onset hazards maupun perkembangan demograsi dan pembangunan di pulau-pulau kecil bukan hanya di NTT dan Indonesia tetapi juga skala dunia.

Salah satu motivasi beberapa Indonesianist mula-mula tertarik meneliti perubahan ekologis skala pulau dan adaptasi manusia terhadap pertumbuhan populasi dan degradasi lingkungan yang mungkin diinspirasikan oleh konsep ortodox terkait kemampuan daya pikul pulau atas pertambahan populasi. Studi ini dikenal dengan population ecology yang dalam sering menyarankan batasan maksimum kepadatan penduduk yang dijinkan demi keberlanjutan ekologi sebuah pulau. Perkembangan populasi yang tidak terkontrol akan berujung pada kelaparan karena tidak cukup pangan bagi semua (konsep Maltusian); Risiko yang lain adalah terjadinya wabah penyakit yang dapat menyebabkan bencana epidemik yang berujung pada kematian kolektif dalam skala besar.

Tentu bukan teori semata. Catatan statistik kolonial tentu bisa menjadi rujukan mengapa terjadi penurunan penduduk Rote dalam kurum waktu 1870an-1920an. Wabah cacar-air di tahun 1879 menyebabkan sedikitnya 5 ribu orang meninggal di Rote dan 12 ribu orang di Sabu. Dan menurut analisis Fox, ada sedikitnya 14000 penduduk Rote meninggal dalam kurun waktu 15 tahun paska 1979. Populasi Sabu berkurang dari sekitar 30ribu di tahun 1869 menjadi 16 ribu dua tahun kemudian. Menurunnya penduduk rote secara drastis di tahun 1920an (Gambar 1) merupakan konsekuensi karena migrasi keluar ke Timor.

Dalam catatan pemerintah kolonial yang dikutip oleh Fox, penduduk Rote berjumlah sekitar 36000 dalam peride 1820an. Hari ini, jumlahnya mencapai angka 153 ribu orang. Sebaliknya penduduk Sabu berkembang dari 16ribu orang di 1871 menjadi 88 ribu orang. Tentu ini tidak terhitung diaspora Sabu dan Rote di Pulau Timor dan Sumba dalam rentang waktu yang sama.

Menariknya, kesadaran birokrat kolonial tentang kepadatan penduduk di Rote sudah terjadi sejak era 1860an  (Lihat Fox 1977 hal 150, terutama tentang catatan WG Coorengel 25 April 1866) yang saat itu telah mencapai 40 orang per km2.(Gambar 2 dan 3). Dalam periode yang sama, kepadatan Sabu telah mencapai 65 orang per km2. Hari ini kepadatan Rote menjadi 120 orang per km2. Sedangkan Sabu telah menjadi sangat padat dengan kepadatan 192 km2.

Lalu apa artinya semua perkembangan ini bagi Rote dan Sabu di masa depan? Apa artinya bagi NTT dalam konteks kebijakan publik? Ikuti dalam Buku 60 Tahun NTT yang akan terbit di akhir 2018/awal 2019.

 

 

Grafik 2.

densityrotesabu1

Grafik 1.

Screen Shot 2018-02-02 at 7.21.00 pm