Mengurai benang kusut pendidikan GMIT

foto-hal-01-cover-140817-sekolah-gmit
Sumber: Victory News 14 Agustus 2017

[draft 0 – untuk di diskusikan]

Perlukah Semua Sekolah GMIT di Pertahankan?

Perdebatan soal sekolah GMIT ini bukan hal sederhana. Ini bukan hanya menyangkut sejarah panjang GMIT dengan pertalian rumit dengan pemerintah kolonial di mana sekolah-sekolah merupakan alat misi dengan agenda modernitas tetapi sekaligus penjinak masyarakat lokal. Ini juga menyangkut cara pandang soal negara, rakyat, jemaat dan gereja.

Dalam cara pandang modern dalam setting negara bangsa, pendidikan adalah hak warga negara dan negara wajib memberikan pendidikan bagi citizen (rakyat). Karena itu persoalannya bukan soal tutup atau lanjut. Tetapi soal nilai tambah apa dari keputusan lanjut/pertahankan sekolah-sekolah saat ini.

Bila visinya adalah pemberdayaan jemaat/umat, maka pertanyaannya bukan apakah sekolah GMIT perlu dipertahankan, tetapi bisa juga soal apakah jemaat/umat telah memiliki akses pada pendidikan dasar?

Apa yang perlu dipertahankan dari pendidikan GMIT? Apakah sekolah-sekolah GMIT memiliki semacam minimum standard kualitas pedagogi Kristen/GMIT? Apakah memang ada? Setau saya, sejak jaman kami sekolah dulu, SD Inpres dan SD GMIT berjalan dengan sistim pedagogi yang hampir mirip. Bila sekolah-sekolah GMIT memiliki pedagogi Kristen sebagai nilai tambah, pertanyaannya adalah bisnis model yang bagaimana yang harus dibuat agar lebih efisien dan bagaimana membuat bisnis model yang berfokus pada kesejahteraan guru dan murid?

Debat maupun curhat soal defisit dalam pendidikan GMIT dalam sosial media dalam sebulan terakhir sepertinya tidak menentu arasnya. Yang paling mungkin adalah baik konsep pedagogi GMIT hingga bisnis model sekolah-sekolah GMIT memang (setelah 100 tahun) tidak lagi menawarkan nilai tambah selain fakta bahwa di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau negara, maka GMIT, sebagai bagian dari non-state actor masih memiliki peran sebagai penyedia pendidikan bagi umat maupun sesama.

Tujuan postingan ini hanya untuk bertanya dan memantik diskusi yang lebih produktif dan sistimatis.

Sejarah Singkat Sekolah GMIT 

Sedikitnya 75 persen sekolah GMIT yang ada hari ini sudah ada sebelum kebanyakan anda dan saya belum lahir. Dalam kurun waktu hampir lima puluh taun ini, sekolah-sekolah milik GMIT/Yupenkris meningkat dari 450 sekolah di era 1970an  menjadi 600an di tahun 2010an. Artinya dalam 5 puluh tahun ini rata-rata perkembangan sekolah sekedar pertahun adalah 3 sekolah pertahun. Bandingkan dengan menjamurnya sekolah-sekolah GMIT dalam kurun 1960an-1970an yang bertumbuh hampir 20 sekolah pertahun. Detail perkembangan sekolah GMIT ini sayangnya tidak tersedia data yang sistimatis. Klaim SD Kuanfatu sudah berdiri sejak 1918 (Foto di Atas) pun sebenarnya perlu diragukan. Karena hingga tahun 1920 saja, jumlah pemeluk Kristen (cikal bakal jemaat GMIT) di TTS belum sampai 200 orang. [1]

Sebelum kemerdekaan RI, kebanyakan sekolah-sekolah Kristen di NTT di merupakan warisan dari Gereja Kolonial [Indische Kerk] yang memang merupakan instrumen alias kaki tangan pemerintah kolonial yang dikelolah Protestantsche Kerk [Gereja Protestan Belanda]. Jumlah sekolahpun sebenarnya bisa dihitung jari yakni dalam bentuk STOVIL yang berdiri di Kupang (1902), Ba’a (Tahun 1903, tapi kemudian dipindahkan ke Kupang 1926), dan SoE (1936) [2].

Berdirinya STOVIL di So’E adalah sebuah keheranan tersendiri karena secara umum hampir semua STOVIL mengalami pengurangan subsidi akibat krisis ekonomi global 1930 di mana pemerintah Belandapun mengalami krisis yang sama-sama kita tau ujung dari krisis ini bermuara pada perang dunia ke 2 di mana Belandapun takluk pada si kulit kuning, Jepang. Dipindahkannya STOVIL Ba’a ke Kupang tahun 1926 kemudian bisa dibaca sebagai bagian dari dampak krisis ekonomi yang sudah mulai dirasakan Amsterdam. Perang Dunia II menjadi awal bubarnya Indische Kerk Tahun 1941.

Secara pendanaan, Bisnis model Sekolah GMIT hampir tidak berubah dalam 100 tahun ini. Sistim pendanaan mengandalkan negara (baik pemerintah kolonial lewat gereja kolonial hingga 1941; dan Pemerintah RI 1948 – sekarang; tentu dengan sedikit bantuan Gereja Protestan Belanda sebelum dihentikan Orde Baru 1993). Dengan sistim subsidi yang dilakukan gereja pusat, Tenaga guru disediakan STOVIL, beberapa sekolahpun bisa beroperasi.  Sejarah detail tentu perlu tulis lagi.

Awalnya adalah berdirinya jemaat yang kemudian perlu diikuti dengan pendirian sekolah tingkat untuk menampung anak-anak jemaat. Dalam perkembangannya kemudian dibuka untuk yang bukan jemaat. Ambil contoh di Flores khususnya Ende tepatnya Tahun 1948 mana kala TK dan SD GMIT Syallom pertama kali dibuka dan masyarakat berlomba-lomba mendaftar karena harganya yang terjangkau di mana sebagian besar siswanya adalah masyarakat Muslim dan Katolik. Tidak tercatat dengan baik bagaimana sistim operasi sekolah di SD Syallom Ende.

Regime Yupenkris sebagai otoritas pengelolah pendidikan GMIT sendiri baru berdiri setelah ‘penertiban’ oleh Orde Baru di Tahun 1967 yang mencoba menata ulang sistim pendidikan di Indonesia. Sejak itu, secara formal semua sekolah dibawah naungan GMIT menjadi urusan Yupenkris.

Jumlah jemaat dengan proxy tiga kabupaten kota di Pulau Timor yang telah berkembang hampir dua kalinya: dari 700 ribu di 1979an menjadi 1.2 juta penduduk (estimasi kasar) awal 2010an. Artinya akses pendidikan jemaat sejak 1970an ketika Indonesia semakin berkembang secara tidak langsung telah diambil alih oleh negara.

Pertanyaan Diagnostik Sekolah GMIT

Mungkin tidak perlu emosional, juga romantis, tentang masa depan pendidikan GMIT. Mari lupakan sejenak soal perlu dipertahankan atau ditutupnya sekolah-sekolah GMIT di pedalaman Timor Barat.

Pertanyaan diagnostik pertama adalah: Anda adalah pasangan muda kelas menengah dan sama-sama bekerja dengan penghasilan 10 juta perbulan. Apakah anda bermimpi menyekolahkan anak-anak balita anda di sekolah GMIT yang dikelolah Yupenkris? Dan apakah anda akan terus menyekolahkan mereka hingga SD, SMP hingga SMA milik GMIT?

Bila anda menjawab YA untuk 1 kali saja, maka masih ada harapan. Namun bila jawabannya adalah Tidak, mungkin krisis bukan saja sudah terjadi tetapi sudah terhitung terlambat untuk diperbaiki.

Munculnya sekolah-sekolah yang menawarkan sistim pedagogi kristen (misalkan SD/SMP/SMA Lentera Harapan; Sistim Lentera Harapan adalah model realist dengan segmentasi kelas menengah bawah. Dari investor yang sama dibangun model kelas menegah seperti Dian Harapan.

Masih ada belasan sekolah swasta dengan platform Kristen (yang terselubung?) menawarkan paparan Bahasa Asing dan suasana pendidikan modern di Kota Kupang bukan hanya cerminan meningkatnya jumlah kelas menegah, tetapi juga fakta bahwa orang-orang merindukan sistim pedagogi alternatif. Beberapa sekolah swasta di Kota Kupang bahkan menawarkan Christian Pedagogy, dengan membeli kurikulum-kurikulum dari Kanada, Amerika Serikat dan lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah: apakah bisnis model saat ini perlu dilihat ulang? Apakah perlu adanya reformasi Yupenkris? Bagaimana Sinode GMIT membuat terobosan yang legitimatif dan dapat diterima Yupenkris? Bagaimana sistim insentif yang disediakan pemerintah (seperti Dana BOS) dan penempatan guru bantu dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal untuk perkembangan sekolah GMIT?

Tentu masih ada yang bisa diperbaiki. Bagaimana caranya? Dari mana memulainya?

Catatan Kaki

[1] Lihat Sejarah GMIT – https://sinodegmit.or.id/sejarah-gmit/ [catatan: sebagian catatan Sejarah GMIT ini perlu dikritisi karena berbeda dengan catatan yang lebih komprihensif seperti Catatan [2] di bawah.

[2] Lihat Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink 2008. A History of Christianity in Indonesia, BRILL: LEIDEN and BOSTON – Lihat Bab VII, Old and New Christianity in Southeastern Island]

[3] Penulis adalah orang GMIT yang bersekolah di sekolah negeri maupun Katolik.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: