Occidentalism and the Future of the Humanitarian Emergency Management

Jakarta Post 13 April 2010, http://www.thejakartapost.com/paper/2010-04-13 but strangely not available online. the version that appeared in Bataviase.co.id is based on an automatic scan which misses many spellings.. here is the shortened version with 900 words from the original 1600 words.

Occidentalism and the Future of the Humanitarian Emergency Management

Jonatan Lassa*

Globally, there is a claimed statistic as mentioned by James Paul (Global Policy Forum, June 2000) that NGOs grew from 400 a decade ago to 25,000 at the end of the 20th century. This number is re-quoted again in the paper “When NGOs beget NGOs: Practicing Responsible Proliferation” written by Jocelyn Kelly in the International Journal of Humanitarian Assistance a year ago. If the figure above is correct for 2000, the 2010 figure must have been higher than that of 2000, given the fact that there is apparently new faces not seen nor heard a decade ago but now everyone heard new names, such as Clinton Foundation, Eastern Congo Initiative by Ben Affleck etc.

In Indonesia, within the first decade of 21st Century, new humanitarian players emerged at the national level such as the Indonesian Society for Disaster Management (MPBI), Dompet Dhuafa, including some faith-based organizations working in the field of disaster emergency and management. The increase in the number of humanitarian NGOs in the countries like Indonesia can be read as a local response to the increase of insecurity and risks triggered by many big natural hazards and human-driven natural hazards during the last decade from the Eastern to the Western part of Indonesia.

While most of the national humanitarian NGOs live on the grants from their international counterparts, there is a positive sign as a few NGOs grow with creative in-country fundraising strategies and therefore become more “independent” in many ways: money, paradigm, values, ideology, technical standards, their own perception and standard on basic rights (on clustered needs such as food, health, nutrition, water, shelters etc).

Since there is no legally binding humanitarian disaster response law (please not to be confused with the Law of War which is also known as International Humanitarian Law) for non-state actors working in humanitarian clusters, the civil humanitarian emergency is arranged by “rules of the game” that is a set of non legally binding rules and voluntary standards such as Humanitarian Charters and Sphere Standard (or Standard of Humanitarian Emergency Relief). In many cases, the luxury of independence gained by NGOs which have no links with the international mainstream players may create gaps without no risks – given the context in Indonesia where there is no accreditation system developed to control the quality of services to the people at risks.

The worst scenario is that the field of humanitarian response may be flooded with a diversity of approaches and may end up in “Hobbesian Anarchy” – no clear authority nor clear governing body or rules and the worst can be seen – differences in standards on basic rights – for instance, gender-sensitive shelter facilities, that recently become a hot issue among humanitarian players which pro international standards which is already acceptable to the national authority but not adopted by some of the actors.

The coming of new players with their own “ideal types” and perspectives – distanced from the established standards may create an unnecessary clash. The established practices on humanitarian emergency service and the compliance of INGOs, UNs and national NGOs to standards such as Sphere Standard and Humanitarian Charters can easily be ignored and narrowly considered as “Western” standards. The embedded values in the Sphere and Humanitarian Charters such as humanitarian nature, neutrality, justice, non-discrimination, and non-partiality, with a strong intention to protect the marginal groups (the aged, children, girls/boys, men/women, disabled persons etc.) can be easily (See the Code of Conduct of the IFRC http://www.ifrc.org/publicat/conduct/code.asp.

In my observation, mainstream actors may (or may not) miscalculate what is so-called as “Occidentalism” critics which tend to suspect the embeddedness of “Western values” set behind such international standards. This is a global phenomenon and it is about the negative construction of the West by its “enemies” in the field of humanitarian emergency, the proponent of this view tend to suspect the United Nations and INGOs are propagating the dominant culture of the West. It is equally valid to argue against the danger of the embedded “Orientalism” that may (or may not) exist in the standards.

Check and balance in humanitarian emergencies in all sectors is much more needed today than ever before as the sector is getting bigger in scale than ever before. However, the “check and balance” exercise is a voluntary exercise with the noble purpose to improve the quality of services to the people affected by disaster risks. Nevertheless, it can create tension among actors – between those who do respond and those who dedicated themselves to monitoring the quality of the responses.

Creative enforcement of the standards through creative engagement is needed through several strategies. Should a conflict arise because of the dynamics in the check and balance between actors, it is the government’s role to mitigate the negative effect of the conflict. The media should be engaged in ways where they can communicate the standards set to fulfil people’s needs and rights. The proneness of humanitarian emergency to media controversy which coupled with the Occidentalism can be exacerbated by weak emergency governance context due to poor leadership of the government as well as lack of emergency managers with adequate diplomatic skills especially when ones try to communicate the voluntary standards even though those standards may have been already indigenized to the national standard.

*Co-editor Journal of NTT Studies, Member of MPBI Jakarta. Writing up PhD dissertation with a focus on Institutional Vulnerability and the Governance of Disaster Risks at the University of Bonn, Bonn, Germany

Tren Peringkat Undana di Pentas Nasional dan Global 2013-2021

Sebagaimana Universitas Mataram, sebagai representasi Universitas di Nusa Tenggara Barat, Universitas Nusa Cendana sebagai perwakilan Nusa Tenggara Timur, memiliki segalanya untuk berada di peringkat 50 besar nasional di Tanah Air.

Sering menduduki Peringkat Pertama di antara Universitas-Universitas dan Pendidikan Tinggi Swasta dan Negeri di NTT sejak 2012, secara ‘mengejutkan’ lembaga pemeringkatan versi Webometrics 2021 ‘menempatkan’ Universitas Nusa Cendana di peringkat kedua. Peringkat Pertama NTT di 2021 di ambil alih oleh Universitas Katolik Widya Mandira. Tentu saya tidak akan membahas bagaimana tangan dingin Rektor Unwira alumnus Antropology Australian National University itu mengelolah Unwira.

Media online dan cetak di NTT pun menjadi heboh. Pertanyaan “bagaimana bisa?” dicetuskan. Ada pro dan kontra. Tulisan ini juga bukan merupakan sebuah analisis kritis atas fenomena sleeping giant ini. Ini adalah sebuah deskripsi atas apa yang terjadi dalam rentang waktu 9-10 tahun terakhir. Hal yang penting diketahui oleh publik.

Secara umum, Undana turun peringkat 211 level di tingkat nasional: dari posisi peringkat ke 52 di tahun 2013 turun ke level peringkat 263 – atau 30an level di bawah Unwira Kupang di tahun ini. Namun di level global per 2021, peringkat Undana dan Unwira di pisahkan oleh 1259 universitas lainnya. Trend Undana berbanding terbalik dengan Universitas Mataram di NTB yang 10 tahun lalu berada 50 level di bawah Undana dalam peringkat nasional namun dalam empat tahun terakhir menjadi Top 40. (Lihat Gambar di bawah).

This image has an empty alt attribute; its file name is gambar-1-undana-2021-2.png

Tetapi ini trend data ini tidak tidak mengherankan. Tren ini kelanjutan dari kinerja di dalam 5 tahun terakhir, versi Webometric (Lihat gambar 1 dan 2). Di pentas global, Undana turun dari peringkat 3000an ke 10000an dalam 9 tahun terakhir. Dalam hal ini trend ini semacam menggambarkan fenomena the sleeping giant – potensi yang belum digerakan. Atau tepatnya, talenta dan kapasitas yang belum digunakan sebagaimana mestinya.

Tidak semua berita buruk. Ada berita baik: bahwa dari sisi Openness Rank yang berbasis citasi di Google-Scholar, Undana semakin lebih baik dari tahun ke tahun. Sedangkan dari sisi Excellence Rank, dengan berbasis metrik di Scimago dengan kriteria jumlah artikel di top 10% journal di 27 disiplin, Undana kehilangan hampir 1500 peringat di level global. Ini masih belum yang terburuk.

This image has an empty alt attribute; its file name is table-undana-2013-2021.png
Trend Peringkat Undana di Pentas Global Untuk 3 Variable Utama Webometrik

Di sisi Impact Rank – dengan bobotnya 40 persen – yakni sebuah model pengelolaan metrik berbasis infrastruktur Website yang berbasis kekayaan content akademik yang dapat dirujuk (dibuktikan dengan links – incoming/outgoing) selalu berada di peringkat 8-10ribuan dalam lima tahun terakhir (Lihat Tabel di bawah)

Padahal Impact Rank adalah indikator yang paling mudah di lakukan secara internal karena dan berada dalam kendali alis di tangan universitas masing-masing.

Bagi mereka yang mencintai NTT dengan sungguh, fenomena ini menampar wajah anak-anak NTT yang bermimpi munculnya universitas yang diperhitungkan di pentas dunia, sesuai motonya “Universitas Global”.

Semoga Undana menjadi lebih baik dan tetap menjadi kebanggaan NTT. Selamat juga ke Unwira, yang berkinerja lebih baik di tahun ini, buah dari kerja keras tiga tahun terakhir.

Salam

JLa

Panggung Para Penipu

Oleh: Dominggus Elcid Li

Natal kelabu hampir tiba tahun ini. Bunyi petasan yang dibeli dan dimainkan sendiri oleh para penjualnya menandai penuhnya tempat tidur sekian rumah sakit di Kupang akibat angka penderita COVID-19 yang butuh dirawat semakin merangkak naik. Sementara itu menjelang akhir tahun para birokrat sibuk menghabiskan anggaran, sedangkan COVID-19 dianggap bisa ‘sembuh sendiri’ tanpa perlu usaha. Mereka terbiasa menghafal, sehingga tidak tahu apa yang hendak dibuat meskipun air sudah tiba di batang leher.

Ya, ini memang pangggung para penipu. Para tukang tipu yang seolah bertindak sebagai ‘tukang sulap’. The Magician. Di atas panggung mereka menyebutkan kata-kata ‘Agar kita semua semakin sejahtera’ dalam setiap pertemuan yang menghadirkan para tukang dengar yang sudah mati rasa akibat terlalu sering ditipu. Agar tampak waras dikutip lah angka-angka, agar logika sederhana dikira ada. Minimal untuk beberapa detik. Agar sejenak benak orang terasa bergerak maju. Diselingi dengan cerita pengurai tawa. Kadang mereka yang hadir tertawa mendengar lelucon di tanah kering. Lebih sering mereka pulang membawa mimpi kering dari pertemuan.

Para penipu ini juga sering bermain orang-orangan berseragam. Berteriak keras seolah berwibawa. Kalau perlu kutip sana-sini, agar tampak tahu. Dan sebisa mungkin terlihat bijak. Beberapa jongos dipersiapkan untuk selalu membungkuk dan diberi makan untuk tetap setia. Panggung-panggung ini mereka bawa kemana pun pergi. Bahkan hingga ke rumah adat yang seharusnya sakral. Dikiranya nenek moyang butuh tipuan mereka. Bikin sesuatu juga belum, tapi lagak seperti mereka bertaruh nyawa pergi ke bulan.

Menghadapi situasi ini, para pengamat juga sibuk mencocokan dengan ‘teori mereka’. Ya, teori yang sudah gagal sebelum ditulis, karena tidak pernah sampai ke titik pengertian. Sekedar numpang tempel. Bukan apa-apa, penipuan para tukang tipu ini terlalu jelas untuk tidak dilihat, tetapi para pengamat memilih untuk menipu diri. Agar selamat. Sambil itu mereka sibuk membayangkan Q1, Q2, Q3. Ini bukan simbol film porno. Ini level jurnal ilmiah.

Setiap tukang tipu, punya cerita pendukungnya masing-masing. Mereka begitu bersemangat untuk saling menjegal. Tipe utama politikus-pengusaha adalah mereka dicitrakan sebisa mungkin sebagai orang baik yang suka memberi. Tak hanya itu mereka amat disiplin bangun pagi, bekerja, merancang strategi untuk mencuri. Kenapa para pekerja keras ini mencuri? Ya, supaya ada duit yang dipakai untuk menggerakan sistem yang sudah mampus ini. Coba tengok mental para pegawai. Tidak ada uang, tidak ada pergerakan. Meskipun kematian sudah di ujung hidung, tetap saja sibuk mencuri. Apakah mencuri itu tidak dosa? Lalu dia mulai bertutur ‘Kau tahu semua yang suci itu sudah saya beri, saya beli usus mereka…Rantai-rantai makanan mereka saya kasi mulai dari anak, menantu, hingga cacing dalam perut-perut mereka.’ Menurutnya semua harus mau, sebab untuk bertengger dalam ‘jabatan publik’ tidak ada yang gratis.

Di tanah kering ini para penipu bergentayangan. Berseragam pula. Apa kata dunia mendatang mengenang periode kita tentang para penipu yang gemar berseragam dan bergerombolan jika berjalan. Laksana para bebek yang sedang latihan fitness bersama-sama. Ribut sekali. Agar kelihatan serius, para setan gentayangan ini mengangkat juru bicara. Tugas juru bicara adalah mengatakan semuanya dengan cara berbicara tentang apa saja menanggapi seluruh pertanyaan, tetapi tidak berarti apa-apa.

Tugas juru bicara adalah menipu sehalus mungkin, sehingga para jurnalis lapar tidak sadar dan sempat mengajukan pertanyaan yang ada darahnya. Ya, pertanyaan yang dilontarkan lebih sering mekanis, tiada beda. Isi tidak disentuh, apalagi mengurai penderitaan. Ah, kamu ngomong apa? Si jurnalis juga mengaku tidak tahu apa yang ia tulis, yang penting itu berita di-klik. Agar usus tidak dikilik-kilik dan penagih hutang jauh dari muka pintu. Intinya, tidak usah bicara apa adanya jika mau selamat. Di era pandemi ini virus penipuan makin merajalela. Tipuan harus dilakukan dengan fokus maksimal. Mengatakan yang besar-besar, sambil mulut penuh bualan, dan hadirin membuka mulut secara rutin. Entah tersenyum, tertawa lebar, dan yang paling sering menggerutu. Tapi yang terakhir ini dilakukan di toilet. Tidak ada lagi keberanian yang tersisa. Pun jika berani tidak tahu caranya bagaimana menjadi manusia merdeka.

Di negeri para tukang tipu orang sibuk cari selamat sendiri. Konon virus tidak membunuh jika dilakukan bersama-sama dengan keyakinan yang sama. Tipuan yang diyakini amat sulit dibantah. Apalagi ditambah dengan gelegar suara, kuasa tak terbatas, artinya semua yang mungkin dibeli sudah dibeli, dan semua yang kejam sudah diambil alih, dan semua yang suci sudah takluk.

Di atas panggung itu kuncup-kuncup bunga yang pernah dianggap akan mekar sibuk membela koruptor, para pencuri, atas nama seragam yang sama. Bagi mereka ini tak lebih dari kongsi dagang. Kebetulan pintu masuknya butuh kata sandi ‘rakyat, negara, kesatuan, dan republik’. Di negeri yang air cebok untuk para punggawanya adalah air mineral yang dibeli dari uang hasil menjarah tanah, hutan, dan darah manusia semakin hari kata-kata tipuan diterima baik. Dengan nada hipokrit penuh kedamaian. Jika ingin selamat, tertawa lah meskipun tidak lucu. Jika ingin jabatan jilat lah meskipun penuh kotoran. Jika ingin tampil bunuh lah semua yang indah. Mantra kematian berjalan bersamaan dengan gerak maju para penipu membelah kita.

Kupang, 17 November 2020

PoliTikus Sebagai Beban Dalam COVID-19?

Oleh: Dominggus Elcid Li

Seorang Ibu bertanya, “Jika anak bisa belajar di rumah, mengapa para pejabat tidak bisa berpolitik dari rumah, dan malah mengajak warga berkumpul seolah kita sedang berada pada situasi yang biasa-biasa saja dan bukan pandemi?

Apakah penyampaian mandat untuk memerintah tidak bisa dilakukan dari rumah, dan tidak perlu berkumpul? Lewat pos misalnya, sehingga orang tidak perlu berkumpul?”

Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini menggelitik. Anak-anak yang bernaung di bawah institusi sekolah saat ini juga sudah teramat bosan tinggal di rumah, tetapi mereka tetap disiplin belajar dengan segala daya upaya. Tak hanya anak yang bosan, orang tua juga sama. Guru pun menanggung beban yang juga tidak mudah.

Sekolah adalah tempat nalar diasah, dan orang diajak untuk berpikir sistematis. Namun, fenomena terbaru yang dipertontonkan para poli-tikus ini seolah hendak mengatakan bahwa cara berpikir sistematis itu hanya untuk diterapkan oleh anak-anak saja, sedangkan para poli-tikus adalah orang dewasa seolah sedang berlatih ‘ilmu kebal’ di lapangan kampanye. Poli-tikus adalah kaum jenis lain yang melampaui segala aturan. Mereka boleh berkumpul, bergerombol, menularkan, dan merasa biasa-biasa saja. Tidak begitu peduli.

Menteri menulis memberikan peringatan para calon kepala daerah ‘yang melanggar protokol kesehatan’. Peringatan ini terlambat. Seharusnya kesalahan mendasar semacam ini sudah harus bisa diantisipasi sejak awal. Kasus positif Covid-19 mulai bermunculan. Telah muncul cluster ¬ Pilkada dari calon kepala daerah yang positif terinfeksi pada berbagai tahapan. Andaikan tes massal dilakukan entah berapa lagi yang terinfeksi.

Fenomena ini memperlihatkan hal yang aneh, tetapi dianggap biasa. Para calon kepala daerah bergerak tanpa kontrol. Kondisi ini memperlihatkan kondisi riil. Partai-partai politik saat ini yang tidak lagi mempunyai kemampuan otokritik, sehingga kesalahanan pembuatan kebijakan yang remeh temeh terjadi beruntun, tanpa ada kemampuan membuka jalan sebagai tanda terobosan.

Ada beberapa hal yang membuat partai politik dan para aktornya tidak dapat melihat jauh. ¬Pertama , hampir di setiap tubuh partai politik mengalami monoloyalitas yang akut. Loyalitas tunggal pada pemimpin partai membuat faksi-faksi dalam partai politik hilang. Kedua,¬ hilangnya faksi-faksi dalam partai politik juga semakin mengerucut pada persaingan kuasa partai semata dan cenderung buta. Kuasa demi kuasa. Indikator kuasa politik dalam partai bukan lagi soal kemampuan tetapi lebih pada soal siapa.

Ketiga, laboratorium-laboratorium pemikiran tidak tumbuh dalam partai politik. Tidak ada think tank yang bergerak dalam partai politik. Tidak ada simulasi internal yang dikerjakan sebelum kebijakan dikeluarkan. Keempat, situasi ini memperlihatkan ketidakmampuan menentukan prioritas dalam partai politik. Ketiadaan kemampuan menentukan prioritas merupakan akibat langsung dari ketidakmampuan berpikir strategis.

Partai politik yang bergerak tanpa nalar maupun target terukur merupakan akibat terjauh dari monoloyalitas yang cenderung buta. Jika kondisi ini terjadi pada satu partai semata kita masih bisa mengelak bahwa ini hanya cerita tunggal, tetapi kondisi ini terjadi pada semua partai politik. Tidak ada warna terbosan yang dilakukan oleh satu partai politik pun di Indonesia untuk Covid-19 yang menggambarkan visi brilian partai politik. Sebaliknya, pembedaan ideologis yang ‘seolah-olah ada’ diantara partai politik, tidak menjadi pembeda dalam praktek pembuatan kebijakan.

Munculnya travel warning dari berbagai negara ke Indonesia, bukanlah hal yang dibuat-buat, tetapi mereka mampu melihat sikap masa bodoh para elit Indonesia. Indonesia dianggap tidak berada pada level terbaiknya. Artinya para ‘pemegang tampuk pemerintahan’ Indonesia dianggap tidak menyelesaikan PR-nya dengan baik.

Di tahun 2020 ini kita juga mencatat bahwa pada saat pandemi orang-orang partai bukan bekerja sama mencari jalan keluar, tetapi sibuk dengan agenda pemilihan presiden 2024, dan ancang-ancangnya dimulai dengan Pilkada serentak di berbagai wilayah. Agenda politik politikus itulah yang dianggap riil. Padahal situasi pandemi membutuhkan kecermatan, penguasaan detil, dan intervensi harian yang menyeluruh. Tepat di titik ini kita tidak punya sumber daya tim kerja yang dibutuhkan.

Secara umum pola pengambilan keputusan di aras elit pemerintahan cukup memprihatinkan karena dua hal. Pertama, kebijakan yang terlalu didominasi oleh perhitungan-perhitungan ekonomi makro seperti ketakutan terhadap resesi menelantarkan kajian kesehatan masyarakat (public health). Sulit kita mendapatkan ada kombinasi kebijakan anggaran yang brilian dari para ekonom sebagai terobosan di era pandemi sebagai buah pemikiran strategi ekonomi-kesehatan di era pandemi. Para ekonom pemerintah juga amat permisif terhadap poli-tikus di panggung kekuasaan. Bisa jadi para ekonom juga tersandera oleh para poli-tikus. Namun pola menjaga keseimbangan anggaran negara tanpa ada terobosan juga hanya menunda kematian. Ya, seandainya uang pilkada bisa diberikan untuk bikin laboratorium tes massal. Entah kenapa inovasi murah semacam ini tidak tiba di tangan para ekonom negara?

Kedua, partai politik sebagai pemegang kendali rotasi kekuasaan pun tidak terkontrol dan tidak bergerak dalam kemampuan nalar maksimal. Para elit partai politik bergerak dalam asumsi kelompok yang cenderung homogen. Ke-serupa-an yang menjadi-jadi baik di dalam partai maupun antar partai hanya melahirkan situasi katak dalam tempurung. Tidak ada terobosan.

Kebijakan yang disodorkan pun memunggungi realitas. Sebelum memasuki era New Normal, mereka sibuk bikin kebijakan rapid test. Setelah New Normal terbukti ‘Tidak Normal’, malah membuat kita semakin terkunci, jargon yang dibawa adalah ‘vaksin sudah siap diberikan’.

Komunikasi politik yang dijalankan tidak didasarkan pada realitas terkini. Artinya dengan sekian infrastruktur kepartaian yang begitu dahsyat, kemampuan untuk mengintegrasikan masukan real time dari para konstituen tidak terjadi. Orang tahu bahwa untuk menuju pada penemuan vaksin butuh waktu, dan butuh usaha. Sebelum vaksin ditemukan harus ada disiplin yang memadai untuk mengontrol angka penyebaran. Tepat di sini para poli-tikus menolak untuk disiplin dalam cara berpikir sistematis.

Bahkan di era New Normal, komando pemberian informasi Covid-19 ditutup. Katanya agar orang tidak panik. Kebijakan yang keliru mulai dipanen dampaknya. Relaksasi yang dipaksakan berimbas pada melemahnya kewaspadaan, dan melonjaknya angka penderita dan kematian.

Jika hari-hari ini ada ide untuk mempekerjakan preman untuk mengawasi orang di pasar agar tertib menggunakan masker, maka ide ini seharusnya digunakan untuk para elit juga. Seandainya ada yang mengawasi agar mereka tertib berpikir, tentu kita bisa mencapai sesuatu. Tetapi mekanisme kritis semacam itu ditutup total, sehingga kita seolah tidak punya jalan keluar.

Jika hari-hari ini grafik krisis mengalami rebound, grafik yang menderita infeksi bukannya menurun tapi menunjukkan trend naik dan di ambang tidak terkendali maka kita sedang dihukum karena kesalahan sendiri. Hal yang paling ironis dalam situasi ini adalah upaya melakukan demokratisasi sejak tahun 1998 kembali pada titik anarki. Kondisi para pemegang kekuasaan yang tidak mampu melihat cahaya juga tidak mampu memberikan cahaya untuk warga negara.

Jika hari-hari ini kata-kata para pemimpin tidak berarti di tengah publik, ini terjadi bukan karena orang membangkang, namun orang tidak melihat apa yang diucapkan oleh pejabat yang bersangkutan menjadi bagian dari dirinya. Para pejabat seakan ada di ‘dunia lain’. Fantasi-fantasi berlipat yang memunggungi kenyataan terjadi di seluruh sektor. Selama kenyataan tidak dilihat, dipelajari, dan dikerjakan,tidak ada jalan keluar. Kita hanya bisa berjanji ‘vaksin akan tiba’. Entah itu kapan? Jika itu masih bersifat ‘entah kapan’, mengapa tidak kerjakan sesuatu yang riil? Inilah situasi anarki yang terselubung.


#Moderator Forum Academia NTT

Konser Amal Laboratorium Riset Biomolekuler di NTT: Untuk Apa?

Oleh: Elcid Li* & Fima Inabuy*

Empat bulan berlalu. Laboratorium biomolekuler untuk kepentingan Tes Massal yang didanai Pemerintah Provinsi NTT masih dalam penantian. Aslinya kami ingin agar laboratorium yang dimaksud untuk kepentingan pencegahan penyebaran Covid-19 sudah bisa beroperasi pada tanggal 17 Agustus 1945 ini. Namun mekanisme anggaran punya logika sendiri, tidak mengenal kata darurat atau emergency. Mungkin karena mengerti rumitnya urusan keuangan di negeri ini Menteri Kesehatan Republik Indonesia, juga ikut mendukung usaha rakyat mengadakan laboratorium riset biomolekuler lain, selain laboratorium milik pemerintah, sehingga berkenan memberikan kata sambutan untuk Konser Amal ‘Harmonivasi Dari Timur: Harmoni dan Inovasi- Mendukung Riset Biomolekuler di NTT. Sebuah Konser Amal yang didukung oleh para seniman dari berbagai kota di Indonesia.

Mengapa harus ada laboratorium milik rakyat selain milik pemerintah? Bukankah laboratorium milik pemerintah juga bekerja untuk rakyat? Dua pertanyaan ini penting untuk memperjelas kondisi yang ada. Yang dimaksud laboratorium rakyat adalah laboratorium yang dikelola oleh para peneliti yang tergabung dalam Forum Academia NTT (FAN). Secara khusus, ini merupakan wadah bagi para peneliti yang nantinya tergabung dalam NTT’s Science and Technology Institute. Sejak tahun 2004, gerakan sukarela mengirimkan para pemuda dari berbagai wilayah di NTT, maupun di belahan Indonesia yang kurang mendapatkan perhatian, menjadi agenda tetap para peneliti FAN.

Entah sudah berapa banyak peneliti yang muncul. Awalnya cukup banyak para ilmuwan sosial, tapi belakangan ini kami pun ‘mulai panen’ scientist. Para doktor baru dengan kemampuan beragam dan menguasai teknologi ujung (high-end technology). Yang artinya jika tidak didukung, mereka dengan mudah mengalami brain drain dan masuk dalam berbagai lembaga riset negara lain, maupun riset korporasi biofarmasi dan lainnya. Artinya mereka dengan mudah masuk dalam kepentingan negara lain dan korporasi.

Padahal di NTT, isu biosecurity sudah menjadi isu penting dan menjadi kebutuhan. Hadirnya pandemi Covid-19, yang dikatakan sebagai siklus 100 tahunan, hanya salah satu dari sekian persoalan yang mungkin ‘didekati’ dan ‘dipelajari’ dengan menggunakan modal laboratorium biomolekuler. Ya, dengan model pendekatan keilmuan ‘egosentris’ yang masing-masing ladang (field) keilmuan menjadi haram untuk dimasuki oleh para peneliti dari bidang ilmu lain, upaya untuk berkolaborasi melawan pandemi juga makin sulit. Kompleksitas persoalan tidak didekati dengan nafas riset interdisipliner, sebaliknya kompartemen keilmuan dipasang tinggi-tinggi sehingga semakin sulit upaya kerjasama.

Forum Academia NTT punya ide lain. Sejak awal tim yang dibentuk untuk berkolaborasi mendekati persoalan pandemic Covid-19, datang dari latar belakang ilmu dan bahkan profesi. Tim kerja untuk Tes Massal (Pool Test) terdiri dari para ilmuwan, akademisi, dan peneliti dari ilmu biomolekuler, kimia, teknologi industri, matematika, kesehatan, pemerintahan, hukum, kebencanaan, dan sosiologi. Ketika bertemu persoalan yang sama dibaca dengan kacamata beragam. Ini respons yang saling memperkaya. Untuk memperkaya hasil analisa, sebelum dibuka kepada publik, ide-ide dibuka kepada ‘publik terbatas’. Agar ada tanggapan.

Salah satu tanggapan muncul dari ‘ETIKA’ (Etnis Tionghoa Kupang), yang dipimpin oleh Theo Widodo. Seorang pensiunan dosen kampus negeri yang juga pengusaha. Ia mendukung agar ide ini bisa diwujukan. Dalam beberapa bulan terakhir, Theo Widodo dan tim mengajak berbagai kalangan untuk turut mendukung insiatif ini. Ia juga melihat bahwa riset biomolekuler khususnya tes massal sebagai alat pencegahan (surveillance) sangat penting, selain untuk tujuan klinis atau pengobatan. Keduanya bisa dikombinasikan.

Daerah NTT yang angka positif Covid-19 ada di angka 157 (data 11/8/2020), atau memasuki angka 160-an dengan penambahan positif beberapa hari terakhir yang belum di-update, masih mungkin melakukan tindakan pencegahan penyebaran virus. Kita di NTT seharusnya tidak perlu menunggu sampai transmisi lokal tidak terkontrol, dan tes massal menjadi sudah sangat terlambat, karena peta contact tracing sudah amat sulit dibuat. Karena mana ujung, mana pangkal penyebaran tidak jelas lagi, karena kemungkinan penularan sudah begitu luas dan tidak terpetakan. Pool test, yang perwujudannya terus diperjuangkan FAN, hanyalah efektif untuk pencegahan apabila positivity rate, penambahan kasus positif, masih rendah- oleh karena itu masih relevan dibuat di provinsi ini.

NTT dengan kondisi kepulauan idealnya secara minimum perlu mempunyai lima laboratorium biomolekuler yang mampu secara organik mengantisipasi ancaman biosecurity yang datang silih berganti di provinsi kepulauan ini. Ancaman virus ASF (African Swine Fever) yang mematikan puluhan ribu ternak babi di NTT hingga hari ini tidak mendapatkan perhatian dari ‘pemerintah pusat’. Di Kabupaten Belu saja, angka kerugian hingga pertengahan Juli sudah mencapai angka 33 Miliar. Untuk memeriksa sampel, NTT harus mengirimkan sampel ke Sumatra Utara. DI NTT urusan sumber daya manusia tidak kurang. Tetapi dukungan infrastruktur teknologi tidak ada. Akibatnya kita hanya bisa mengeluh, dan rakyat hanya bisa menangis, sebab aspek penghidupan (livelihood) dan tabungan mereka lenyap begitu saja tanpa ada daya perlindungan negara.

Hal yang sama juga dialami oleh para peneliti biomolekuler asal NTT ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19. Ilmu mereka tidak banyak dimengerti di sini, sehingga kadang ada yang berkomentar bahwa ‘ini ilmuwan nekad’. Virus memang berbahaya, tetapi jika dengan ‘mental mode’ yang memadai elemen-elemen mikrobiologi ini bisa dihadapi dengan mata terbuka. Kita tidak hanya menjadi konsumen vaksin, maupun pasar bagiperusahaan bio-pharmacy global, tetapi kita punya agenda tersendiri untuk kepentingan warga. Hal ini sederhana, tetapi dilupakan.

Contohnya ketika krisis dan terjadi kelangkaan PCR, reagen, bahkan masker N-95. Indonesia bukanlah negara produsen utama untuk ketiga hal ini. Kita adalah importir. Mungkin sebagian orang Indonesia adalah peneliti di berbagai perusahaan dunia, tetapi di rumah mereka, visi aparat pemerintahan mereka tetap lah konsumer sejati, bukan inovator. Sambil tiap kali publik harus waspada mengawasi apakah ada pemburu rente yang sedang mengintai kebijakan yang ditelurkan.

Berhadapan dengan situsi ini, para peneliti biomolekuler butuh dukungan rakyat. Kita butuh sesuatu yang bisa dibandingkan dengan ‘arus utama’. Tanpa penelitian tidak mungkin ada inovasi. Sekian turunan kebijakan dari WHO, sumbernya adalah riset. Tetapi di Indonesia diperlakukan seolah fatwa WHO turun dari langit, bukan dari hasil kerja berkeringat di dalam hazmat para peneliti dalam laboratorium dalam rentang waktu tertentu.

Apakah sudah minta dukungan negara? Visi semacam ini masih belum dikenali di kampus sekali pun. Jika kampus saja juga masih merasa asing dengan kerja interdisipliner, kita mungkin butuh 30 tahun baru ide semacam ini diadopsi sebagai kebijakan publik. Elit kita jarang mengenali detil pembuatan dan isi dapur pembuatan kebijakan. Elit kita sering lalai pada metode, dan suka dengan kesimpulan prematur dan bombastis. Untuk memenuhi arus informasi sikap ini mungkin cukup. Tetapi jika tujuannya untuk selamat, ini ceroboh.

Apakah kita punya waktu menunggu ketika berhadapan dengan situasi emergency? Jawabannya tidak. Waktu untuk bergerak, sebelum krisis mengunci, merupakan waktu untuk mengantisipasi agar korban tidak lebih banyak jatuh. Makin banyak imuwan dunia yang hari ini memprediksi bahwa pandemi demi pandemi akan terus terjadi di masa mendatang. Swine Flu salah satunya. Dalam konteks ini, krisis kesehatan, tetapi juga krisis ekonomi, bukan lagi sesuatu yang hanya dinanti dalam ketakutan, tetapi diantisipasi sejak dini dengan langkah-langkah kecil yang strategis.

Pembukaan wilayah dan dibukanya pembatasan aktivitas, perlu didukung dengan alat pencegahan yang memadai. Kita perlu mengevaluasi kebijakan publik sekali pun itu dari pusat, bahkan WHO sekali pun. Sebab kenyatannya, kebijakan berbasis data dan fakta juga amat minim. Jika ‘pusat’ saja pusing menghadapi Covid-19, mengapa kita di daerah tidak berinsiatif melakukan sesuatu? Konon NTT adalah daerah miskin, tetapi kita tidak pernah ‘miskin ide’ dan ‘nurani’. Intelektual yang berdiri di garis penderitaan rakyat perlu hadir ketika berhadapan dengan revolusi pandemi Covid-19.

Konser Amal ‘Harmonivasi dari Timur’ didukung dari para musisi NTT, Indonesia hingga mancanegara. Tidak ada kata selain ‘Terima kasih’ dan ‘Terima kasih’. Berbagai organisasi maupun orang per orangan. Para seniman panggung teater, dan secara khusus rekan-rekan Komunitas Film Kupang (KFK) yang dalam dua minggu terkakhir menjadi garda terakhir yang jasanya tidak bisa dilupakan. Terima kasih Kak Boni. Juga Kak Hanni pendukung publikasi dari Jogja. Terima kasih!

Dalam ‘revolusi’ kata siapa menjadi tidak penting. Kita hanya saling bantu. Dan itu bisa datang dari seorang tukang bangun laboratorium, yang karena mengerti terhadap mekanisme anggaran yang rumit, ia menimpali ‘ini bagian dari amal ibadah saya’ ketika ada alat-alat terkait keselamatan (safety) para laboran dinyatakan pihak terkait harus menunggu anggaran berikut. Ia ikut menyumbang.

Hari minggu malam nanti jam 7 malam. Kita akan nonton bersama Konser Harmonivasi yang pertama. Acara ini akan dipandu oleh Abdi Keraf ‘si raja monolog’, dan Lany Koroh ‘si ratu puisi’. Ketika uang bukan lah causa prima dalam bergerak, tetapi rasa manusia yang menjadi panduan, mungkin keindahan hidup bisa ditemukan. Mari pantau Facebook dan Youtube Forum Academia NTT, dan Pos Kupang. Jika ada rezeki mari saling bantu. Jika belum, mari tolong doakan supaya kita sama-sama kuat berjalan bersama di dalam era revolusi senyap.

*Anggota Forum Academia NTT

Kupang, 16 Agustus 2020
(Menjelang peringatan kemerdekaan RI yang ke-75)

Koleksi Obituari Cornelis Lay

Koleksi ini adalah work in progress. Lihat juga karya akademik Cornelis Lay.

Dendy Raditya, Jalan Ketiga Mengarungi Kekuasaan: Meneladani Cornelis Lay dalam Berpikir dan Berjuang untuk Kemanusiaan. UGM

Gerry van Klinken “In Memoriam – Cornelis Lay (6 September 1959 – 5 August 2020)” KITLV 6 August 2020.

Elcid Li, Cornelis Lay: Interaksi Membentuk Karakter [Obituari]. IRGSC

Najib Azca, Jejak Besar Anak Pasar. Tempo.com

Nur Fitriatus Shalihah Tutup Usia, Berikut Sekilas tentang Sosok Guru Besar Fisipol UGM Cornelis Lay kompas.com/.

Lihat juga karya-karyanya berikut:

Lay, Cornelis (2019) Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan. In: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 6 Februari 2019, Yogyakarta.
Lay, Cornelis (2010) Melawan negara: PDI 1973-1986. UGM Press

Membangun Aristektur Kelembagaan Penanganan COVID-19 Yang Operasional, Padu, Efektif dan Berkeadilan

Oleh Jonatan A. Lassa

Kita berhadapan dengan sebuah fenomena yang penuh dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang tidak gampang diurai ditengah pandemik. Berharap apalagi mengkaim mampu memahami seluruh kompleksitas persoalan COVID-19 mungkin sebuah mitos karena dinamikanya sulit di kendalikan. Namun atas nama krisis dan urgensitas solusi kebijakan publik tidak bisa begitu saja didasarkan pada cara pandang departementalistik, dan juga harus tepat waktu dan padu waktu antara lembaga. Keputusan harus dibuat dalam ketidakpastian dan kekurang-lengkapan data dan informasi.

Namun yang paling penting adalah prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam pengambilan keputusan. Pertama, prinsip efektifitas dalam konteks krisis. Bahwa apapun inovasi ataupun experiment kebijakan, kita akan melihat dari outcomes-nya, apakah tepat sasaran, tepat waktu dan berdampak. Dalam konteks COVID-19, semua paket-paket response ini harusnya dibuat untuk dapat mengontrol COVID-19 dengan demikian kita punya ruang untuk memulihkan ekonominya.

Prinsip kedua, prinsip equity, bahwa distribusi manfaatnya harus dirasakan rakyat yang membutuhkan, yakni mereka yang secara rentan secara multi-dimensi baik sosial, ekonomi, kesehatan dsb. Tidak ada winners and losers, ataupun kalau tidak bisa sempurnah, minimalisir losers, perbanyak winners-nya. Stimulus di atas hanya memasukan kelompok dari sektor formal.

Masalahnya bukan terletak pada stimulus Rp. 600 ribu per bulan dengan kelompok target karyawan swasta ber BPSJ bergaji kecil dengan kriteria di bawah 5 juta. Semua kelompok rentan perlu mendapatkan semacam insentif (kriteria inclusion berbasis tingkat kerentanan). Karena itu karwayan swasta di sektor informal maupun yang tidak memiliki BPJS juga wajib mendapatkan sejenis basic income, atau dengan dengan model BLT tanpa syarat (unconditional cash transfers) dan sebagainya. Tetapi akar masalah kontroversi bukan disini.

Kita menilai sebuah kebijakan masa pandemic atau krisis dalam konteks ex-post yakni dari hasilnya. Artinya paket-paket response emergency COVID-19 baik dari Kemendes (BLT) maupun BLT Kemensos hingga saat ini belum bisa secara kolektif berkontribusi pada penururan kasus-kasus. Sebab musababnya ada di kemandekan birokrasi di semua level untuk bertindak cepat dan tepat dan padu waktu. Hal ini diakui oleh pemerintah sendiri minimal dua kali oleh Presiden terkait besarnya anomali anggaran yang masih tertinggal di kas-kas kementrian.

Ketiga, masalah legitimasi kebijakan COVID-19. Terkait sikap terhadap kebijakan stimulus karyawan di atas, ini sebuah assessment kebijakan yang bersifat ex-ante dan/atau in situ. Karenanya, analisis kami bersifat yang prediktif dapat didasarkan pada pengalaman 4 bulan terakhir. Artinya, stimulus khusus karyawan ini menjadi kontroversi karena masalah fundamental yang kita lihat terus terjadi dalam 4 bulan terakhir.

Kita tau karakter rezim Pak Jokowi di masa COVID-19 ini sangat departmental, artinya solusinya muncul dari kementrian-kementrian sektoral, tanpa keterpaduan waktu intervensi antara kementrian yang satu dengan yang lain, antara pusat dan daerah karena di lakukan tanpa kejelasan arsitektur kelembagaan yang bisa beroperasi di masa krisis. Sebagai misal, BPJS dinaikan dengan alasan kekurangan dana. Dipihak lain insentif BLT karyawan swasta mau diberikan untuk mempertahankan employment.  Sejauh ini, pemerintah terkesesan tidak mampu bertindak dengan bacaan big picture, untuk memahami landscape yang luas dari krisis ini dan segenap penanganan krisis COVID-19 ditengah gelombang pertama yang belum kungjung usai dan belum tau kapan puncaknya manakala negara-negara lain telah memasuki gelombang kedua karena sukses mengendalikan gelombang besar pertama. Kita lihat ini berhasil di negara-negara tentangga di ASEAN. Tidak usah jauh-jauh ke Australia, New Zealand.

Masalahnya ada krisis legitimaci ditingkat input kebijakan terkait disain komprinhensif paket stimulus ini; Prinsip legitimasi terakhir adalah legitimasi proses. Pendekatan yang top down, state centric, departemanetalistik, ketidak-mampuan mendengar masukan-masukan yang relevan dengan penanganan krisis membuat informed public sulit mempercayai pemerintah dan solusi-solisusinya. Bahwa semua design stimulus ini juga harus memiliki output legitimacy, yakni benar tidaknya harus di nilai dari dampaknya dalam menurunnya kasus penularan COVID-19 secara lebih cepat sehingga ada kecepatan dalam memperbaiki kondisi ekonomi.

Keterpaduan paket-paket kebijakan tindakan lintas kementrian dan lintas sektor, lintas tingkat dibutuhkan agar ada keterpaduan waktu tindak dalam mengontrol pandemik ini. Hal ini membutuhkan sketsa arsitektur kelembagaan yang operasional. Ketiadaan sketsa arsitektur kelembagaan ini membuat kita memperpanjang kegagalan menghentikan gelombang pertama COVID-19 di Indonesia. Tanpa perbaikan dalam mengontrol penularan COVID-19, tidak mungkin ekonomi bisa sembuh. Singapura adalah contoh yang baik bagaimana penularan gelombang ke dua mengakibatkan dampak resesi yang lebih dalam dari gelombang pertama.

[Disampaikan dalam Acara “Menyikapi Pro Kontra Kebijakan Stimulus Khusus Karyawan Swasta Bergaji di Bawah Lima Juta Rupiah” yang di fasilitasi – IndoBIG Network – MINDSET Institute – UBI Lab Jakarta]

Book Launch Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998 oleh Martha Hebi

Book Talks and Launching:

“Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba: Era 1965-1998”

Karya Martha Hebi (Aktivis Perempuan Sumba)

Hari/tanggal: Selasa, 11 Agustus 2020

Jam               : 18.30 WIB (Jakarta) atau 19.30 WITA (Kupang)

Lokasi          : Facebook dan Youtube Forum Academia NTT

Pembicara:

  1. Ita Fatia Nadia (Peneliti dan Penulis Sejarah Perempuan)
  2. Diah Irawaty (Pendiri LETSS Talk; Kandidat PhD Socio-Cultural Anthropology di State University of New York (SUNY) Binghamton, NY)
  3. Meylani Yo PhD (Dosen UMN)

Moderator: Dr. Jonatan Lassa (Moderator Forum Academia NTT)

Forum Academia NTT is inviting you to a scheduled Zoom meeting.

Topic: Book Launch Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba, Era 1965-1998 oleh Martha Hebi
Time: Aug 11, 2020 06:30 PM Jakarta

Join Zoom Meeting: https://bit.ly/3fHpzkj
Meeting ID: 873 1831 5213
Passcode: PSumba2020

Cornelis Lay: Interaksi Membentuk Karakter [Obituari]

Tulisan tentang Cornelis Lay ini sengaja tidak diubah dari bentuk aslinya 22 tahun silam. Tahun 1998. Waktu itu ia diwawancarai sebagai salah seorang role model kami, para mahasiswa di Jogja. Jadi kumpulan narasi mereka sengaja menjadi bahan belajar kami. Sengaja mereka yang terpilih berasal intelektual, aktivis, seniman, penulis, pendidik, dan filsuf untuk diabadikan dalam buku yang bertajuk Belajar Untuk Hidup. Bukan sekedar belajar untuk dapat gelar. Buku ini diterbitkan secara eksklusif untuk para mahasiswa baru tahun 1998 sebagai ‘Buku Suci Ospek’. Buku ini sendiri juga menjadi salah satu artefak sejarah, beberapa orang yang ditulis sudah meninggal, dan ada penulisnya pun yang sudah meninggal.

Pada tahun-tahun itu, tahun 1990an, salah satu kantong gerakan mahasiswa di Jogja juga muncul dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Unit Penerbitan Mahasiswa PASTI juga menjadi salah satu simpul gerakan. Tulisan ini hasil wawancara salah seorang mahasiswa yang kebetulan sekota asalnya, dari Kupang yang waktu menjadi Pemred PASTI, Elcid Li.

(Ya, Bu Ne’I demikian panggilan kami sesama anak daerah dari Kupang biasanya keras mendidik. Ia hanya berpesan, cari jalan sendiri, dan bikin jaringan sendiri. Pesannya adalah petuah dan dikerjakan hingga hari ini. Selamat jalan Bu Ne’i! Kakak dan tetua Perkuray (Persaudaraan Kupang Raya)) Selamat bertemu dengan Mas Riswanda Imawan, salah seorang Rajawali yang pergi jauh lebih awal.) Banyak cita-cita 98 yang masih menjadi PR bersama.)

Cornelis Lay: Interaksi Membentuk Karakter

Conny, demikian ia biasa dipanggil. Lahir di Kupang, Nusa tenggara timur. Setelah lulus SMA Negeri 1 Kupang,  ia akhirnya terdampar di Jurusan Ilmu Pemerintahan  Fisipol UGM (S1) 1980- 1987. Memperoleh gelar master di International Development Studies di St. Mary’s University Canada (S2)1989-1991. Sekarang menjadi staf pengajar Fisipol UGM dan penulis, dan pengamat politik.

Anak daerah

Seperti banyak orang dari daerah saya pengen sekali bisa sekolah di Jawa tetapi informasi dan pengetahuan tentang sekolah dan segala macam mengenai Yogya sangat minim. Satu-satunya yang saya ketahui adalah di Yogya ada Universitas Gadjah Mada.

Memang waktu itu saya belum tahu betul berapa besar dan betapa berpengaruhnya Universitas ini dalam jajaran perguruan tinggi negeri. Setelah sampai di Yogya kok nama Gajah Mada ternyata cukup besar banyak diperhitungkan orang. Itu saya ketahui kemudian. Dalam masa persiapan sekolah SMA di Kupang tidak banyak informasi saya peroleh. Pada tes pertama saya nggak lolos di Gajah Mada ya karena saat saya datang, tes sudah ditutup.

Saya kemudian memutuskan untuk ikut tes di Universitas Airlangga karena tingkat kompetisi yang begitu tinggi sementara kualifikasi pendidikan dari daerah apalagi di NTT sangat rendah akhirnya saya tidak lolos tes pertama. Itu sungguh mengecewakan, setelah itu memang ada banyak pilihan di perguruan tinggi swasta tapi standarnya sangat tinggi. Bagi rata-rata orang daerah itu merupakan beban ekonomi yang sangat besar, jadi karena hasrat untuk sekolah besar sekali, ya sudahlah tunggu agar bisa masuk ke UGM saja. waktu itu kan biaya kuliah Sangat murah, Cuma Rp. 15.000,00 per semester. Sambil menunggu, saya mengikuti bimbingan tes. Tes lagi, akhirnya bisa juga lulus di UGM.

Awal-awal kuliah, seperti juga banyak anak daerah yang merasa besar di daerahnya sendiri, lingkup pergaulannya tebatas. Ketertarikannya mahasiswa dari Kupang pada lembaga atau organisasi mahasiswa, sangat minim. Tapi, secara bertahap kami mulai bisa melihat. Ternyata ada banyak organisasi, banyak orang terlibat aktif. Akhirnya, saya masuk; beraktivitas, belajar dan berorganisasi.

Saya bersyukur bisa cepat belajar, cepat melihat banyak persoalan. Ya, mulai ada kompetesi yang sangat sehat dan kuat, terutama di kalangan aktivis. Ini untuk membuktikan, bawa akivitas di kampus bukan kompensasi melarikan diri dari kemampuan. Saya merasa kombinasi aktivitas-aktivitas kemahasiswaan—sekaligus intensitas diskusi di antara kawan-kawan dan kelompok-kelompok—sangat luar biasa pada zaman itu. Memang, secara pribadi saya mengalami kesulitan uang yang luar biasa ketika kuliah. Namun saya akhirnya harus berusaha sendiri menemukan solusinya.

Ndesa, Survive

Yang menarik, Yogya waktu itu masih sangat ndesa. Bentuk-bentuk kehidupan, seperti yang sekarang terkenal di stasiun, dan macam-macam lainnya, tidak menjadi ganjalan. Itu sudah menjadi gejala umum. Namun, itu bukan penyelesaian atau model dari mahasiswa ataupun anak-anak SMA zaman itu.

Awal tahun 80-an, semua hal memang sangat sulit di Yogya. Sampai tahun 1982, belum ada bus kota. Saya naik Colt. Kalau ke kampus, numpuk jadi satu dengan segala macam barang. Juga, seperti biasanya, mahasiswa yang susah itu yang dari daerah-daerah. Makanya kalau makan, misalnya makan tempe; makan tiga bilang satu, makan empat bilang dua. Semua gejala itu normal terjadi. Sementara pergaulan lintas etnik, lintas agama mulai berlangsung baik. Kami berusaha bersama memecahkan berbagai masalah, terutama ekonomi. Lalu, saya temukan salah satu cara agar bisa survive.Yang saya lakukan, ialah mulai menulis, mengirim ke koran dan sebagainya. Tulisan-tulisan itu mulai ada yang dimuat. Tetapi karena waktu itu, saya tidak begitu percaya diri. Saya pakai nama samaran ‘Conny’. Mungkin banyak orang sampai saat ini lebih tau ‘Conny’. Nama itu dipakai dalam begitu banyak tulisan sampai pertengahan tahun 80-an. Begitu awalnya.

Saya bertahan hidup dengan nama itu dan terus menulis. Meski ada juga kiriman dari kakak, orang tua, sekian bulan sekali dengan jumlah yang sangat kecil. Bagi saya, yang luar biasa adalah perluasan wawasan saya, lewat keterlibatan dalam berbagai organisasi, intensitas membaca dan sebagainya. Terus terang di Kupang saya tdak pernah baca Koran. Nggak tahu tokoh-tokoh itu dan seterusnya. Dari aktivitas itu, tumbuh motivasi melakukan hal-hal di luar sekedar kuliah. Saya kira itu ‘perjalanan umum’.

Lewat Interaksi

Ada hal lain yang ingin saya garis bawahi. Setelah melewati perjalanan kuliah, saya sadar. Ternyata pembentukan jaringan, hubungan sosial di antar berbagai kelompok masyarakat. Lewat interaksi kegiatan-kegiatan intern kampus maupun antar kampus, cukup memainkan peran yang sangat besar dalam menggembleng kita. Membentuk karakter, visi, bahkan moralitas kita. Semua itu menopang karir selanjutnya. Saya merasa, kalau tidak mempunyai relasi sosial yang luas di kalangan kawan-kawan mahasiswa di zaman kuliah, sangat sulit mmbayangkan saya akan bisa dengan gampang muncul di mana-mana.

Saya tekankan, kapasitas individual seseorang tanpa kemampuan membangun relasi sosial yang baik, hampir mustahil dia bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Kapasitas untuk mengembangkan relasi sosial itu sangat ditentukan oleh hasrat beberapa hal ada dari kita lebih mengkonsumsi banyak waktu. Kadang-kadang ada kuliah terbengkelai. Tetapi pasca kuliah, kita bisa mengejar ketertinggalan jauh lebih cepat dari orang yang sekedar kuliah.

Kepedulian terhadap banyak hal muncul secara naluriah. Ketika masiih di daerah dan hidup susah, menjadi terkonsep setelah mengalami pengalaman hidup bersama kawan-kawan organisasi. Apa sih, kenapa kita peduli orang susah, orang miskin? Kenapa harus berjuang untuk keadilan? Semua itu menemukan bentuknya secara konseptual. Justru setelah berinteraksi dengan banyak kelompok, banyak orang.

Yang lebih penting adalah proses moderasi atau pengurangan ekstrimitas kelompok yang bersifat tertutup. Seperti, merasa suku, daerah, agama sendiri yang lebih besar, lebih baik—mengalami penurunan secara bertahap. Akhirnya, mencapai suatu fase di mana kita melihat bahwa semua orang, etnik, agama, sama penting. Semuanya sejajar. Kalau ada dialog, itu bisa dikerjakan dengan baik. Tapi harus dipahami betul. Untuk keterlibatan awal dalam aktivitas organisasi, seseorang harus bersedia menjadi pengikut, mengikuti aturan main. Kadang-kadang, dalam hubungan social itu, yang ada bukan aturan organisasi. Tapi aturan-aturan sosial yang muncul. Ya, kalau beli rokok, ya beli rokok. Kalau harus di belakang, ya di belakang. Ini proses kaderisasi, proses pematangan. Luar biasa! Proses ini akhirnya membentuk kita untuk siap, menerima, mau menjadi pemimpin atau pengikut dan seterusnya.

Persahabatan, Lingkungan

Hal lain, saya kira penting juga. Misalnya, kita dapat menemukan bentuk-bentuk persahabatan yang lebih tulus, yang benar dan lebih baik. Bahkan, kalau kita bisa menjaganya, kita nggak bisa mengkhianatinya setiap saat. Saya kira, hal-hal semacam ini tidak bisa, tidak akan pernah kita dapatkan dari kuliah-kuliah, atau dari diktat-diktat.

Bagi saya, soal komitmen, loyalitas pada idealisme, atau pemihakan pada masyarakat, lebih merupakan post-pembentukan-watak yang distimulasi oleh lingkungan kita, bukan hasil dari bacaan-bacaan kita. Hal-hal seperti ini sebenarnya, ikut menentukan perkembangan kita. Bahkan,kalau secara ‘konyol’ ya, karir kita juga akan sangat banyak ditentukan oleh alam seperti ini.

Yang lain saya kira, motif-motif ekonomi yang rendah dalam relasi sosial kita dalam organisasi, zaman itu. Persaingan di antara organisasi memang sangat kuat. Tetapi motif-motif ekonomi, misalnya, masuk organisasi untuk dapat uang, ikut berpengaruh. Kadang-kadang, sengketa relasi sosial dalam organisasi dimulai dari hal seperti itu. Nah, segala proses dalam pengalaman seperti itu bisa menolong kita sehingga tidak kaget.  Banyak mahasiswa ke kampus hanya untuk kuliah. Dari ruang kuliah, langsung ke kamar belajar. Begitu terus. Lalu, ikut ujian dan selesai kuliah. Tapi, ketika berhadapan dengan realitas konkret, dia kaget. Bisa saja karena kaget, kemudian dia mengikuti arus kegilaan yang muncul tiba-tiba. Atau, dia frustasi karena kenyataannya begitu berbeda. Tidak seperti zaman dia kuliah, kalaau kita berada dalam lingkaran organisasi, dalam berbagai bentuk diskusi dan aktivitas, akan menolong kita untuk mengenal banyak sekali realitas di masyarakat. Hal itu mungkin terjadi karena kita memiliki kesempatan pengendapan, bukan mimpi! Mungkin, saya termasuk orang yang beruntung. Bisa melewati —dalam arti sesungguhnya—sesuatu yang belum atau tidak pernah terbayangkan ketika masih di Kupang. Dapat anda bayangkan jika sampai tahun 1979 baru ada dua SMA Negeri di seluruh NTT. Satu di Alor dan satunya lagi di Kupang. Saya dulu hidup di lingkungan yang sangat terbatas sekolahnya, gurunya pun hidup di lingkungan yang sangat terbatas sekali, apalagi fasilitasnya. Tetapi akhirnya saya bisa memasuki sebuah dunia pergaulan yang jauh lebih besar dari sekedar dunia Universitas. Saya bertemu dengan sekian banyak orang, mulai dari ujung Aceh sampai ujung Irian. Bisa berdiskusi, beraktivitas. Saya kira, Itu merupakan pengalaman luar biasa untuk mengenal Indonesia lebih baik.

Soal studi

Studi setiap orang harus punya prinsip. Tak ada alasan untuk gagal dalam studi. Tidak ada alasan untuk menjadi nomor 2, nomor 3 atau nomor 4. Saya kira setiap mahasiswa siapapun juga harus punya keyakinan diri. Sekaligus punya motivasi. Bohong menjadi yang terbaik itu merupakan pilihan yang- tidak bisa tidak- harus dipenuhi. Memang untuk itu akan melibatkan banyak hal.

Zaman saya kuliah dulu ada taruhan. Misalnya kalau seorang kawan dapat nilai A, ya di traktir sate. Ada kompetisi yang sangat sehat. Jelas itu mendorong kita untuk banyak membaca, untuk sungguh-sungguh belajar. Lantas apakah pekerjaan kawan- kawan cuma belajar? Belajar ya belajar, tapi ada saja aktivitas umumnya, orang-orang muda pada zaman itu. Secara normal ya dilakukan. Bisa jadi main billiard sampai pagi, nonton film, pergi jalan-jalan atau ke luar kota. Semua kegiatan tetap berjalan normal. Ada waktunya sesuai kebutuhan.

Ada satu yang harus disadari dan tidak pernah bisa berubah. Pertama, tujuan kita adalah studi. Kedua kita memang perlu bergerak dalam kerangka ideal itu. Namun kita juga harus bisa membangun relasi sosial dan mulai belajar berorganisasi. Bagi saya itu sedikit banyak, tetapi menjadi persoalan dari setiap kehidupan kita sebagai mahasiswa. Kapan dan dimanapun anda berada.**

Tambang NTT dan Dunia Persilatan Antar Fundamentalisme?

Selasa, 7 Juni 2011 02:22

Oleh  Jonatan Lassa (Anggota Forum Academia NTT, Indonesia Research Fellow (Post-doctoral) di Ash Center, Harvard Kennedy School, Harvard University)

DALAM hal tambang, mana yang Anda pilih: ekonomi atau lingkungan? Bila Anda adalah pekerja LSM lingkungan, kemungkinan Anda memilih ekologi. Bila Anda penganut paham fundamentalisme ekologis, maka lingkungan adalah harga mati, insentif sebesar atau sekecil apa pun dari sumberdaya alam tidaklah penting.

Kelompok ini kemudian mendekati akar rumput untuk ‘disadarkan’ untuk ‘bertobat’ menuju jalan benar menebus kerusakan alam. Kelompok ini (selanjutnya Kelompok Pertama) dalam bentuk ekstrim disebut dengan nama eco fascism atau juga deep ecology. Dalam perdebatan tambang, tipikal kelompok ini adalah secara tegas menolak tambang secara total dan jarang parsial.

Sebaliknya, bila Anda adalah pemerintah daerah atau bupati dan perusahaan swasta, maka besar kemungkinan Anda memilih ekonomi.

Bila Anda penganut fundamentalisme pasar, maka gampang ditebak, Anda memilih ekonomi ketimbang lingkungan hidup, dengan harga apa pun, meski itu berarti penyingkiran hak-hak rakyat setempat pada tanah, air dan udara yang sehat. Bisa dipahami karena Anda berjarak (liveout)  dari risiko-risiko yang ditimbulkan. Kelompok ini mendekati aktor-aktor lokal termasuk akar rumput dengan argu-mentasi insentif ekonomi. Bila perlu, tokoh adat, toko agama dan preman lokalpun disuap untuk mendukung. Kelompok pro-ekonomi kemudian dilabel dalam perdebatan-perdebatan saat ini di media-media lokal sebagai pro neo-liberalisme.

Sebagaimana fundamentalisme agama dikritik karena hanya menggunakan teks tunggal dalam memahami semesta dan realitas kompleks, begitu pula fundamentalisme lingkungan maupun fundamentalisme pasar. Dialog-dialog pun tersendat. Di koran-koran kita ha-nya melihat binary thinking (0 atau 1), hitam atau putih. Mati atau hidup. Lingkungan atau ekonomi. Ekonomi atau lingkungan. Tidak ada ‘ekonomi lingkungan’ maupun ‘lingkungan ekonomi’.

Menurut penulis, kedua kelompok ini kelompok malas pikir karena logikanya terjebak pada pendekatan OAFAC (one approach fit all context – atau satu pendekatan untuk semua konteks). Satu doktrin advokasi lingkungan ataupun ekonomi dipakai untuk semua konteks. Flores sama dengan Timor, Timor sama dengan Australia, Australia sama dengan Kalimantan. 1000000 konteks, satu kitab.

Data-data statistik pun jadi penghias sekadar membangun legitimasi ‘kitab suci’ masing-masing – ini dikenal dengan nama ‘politik perang data’. Maka bagi fundamentalist pasar, semua sumber daya alam bisa diuangkan. Fundamentalist ekologi, istilah sumber daya alam pun adalah sebuah kesalahan karena alam janganlah dilihat sebagai uang dan jangan diganggu sama sekali.

Di NTT, perang antara dua kelompok ini pada suatu masa tentu dimenangi oleh pihak kedua (kapitalis) dan dalam masa yang lain di konteks tertentu pihak pertama (pro-ekologi). Karena pihak kedua adalah kaum marginal dengan tipikal sebagai berikut: kalau bukan kelompok akar rumput yang ‘diberdayakan’ (oleh LSM), maka mereka adalah kelompok kelas menengah, berpendidikan tinggi, berbasis di kota dan memiliki jaringan ide, ideologis dan juga finansial (yang tentunya terbatas) dan karena-nya sering dilihat sebagai kelompok pengganggu penguasa, sehingga media menjadi tumpuan untuk memberitakan peristiwa-peristiwa ‘unjuk rasa’.

Perlu ditegaskan bahwa keduanya datang dari alasan-alasan ‘demi kebaikan umat manusia’ –  mirip argumentasi fundamentalisme agama ‘untuk keselamatan manusia.’ 1000000 bencana, 1 penjelasan: ‘karena Tuhan menghukum’ atau ‘karena salah dan dosa manusia’ (pendekatan ala mengutuk korban atau kepemimpinan) – tentu ter-gantung jenis fundamentalisme yang dianut.

Apakah ada jalan tengah? Ada. Tetapi jalan tengah dicurigai para fundamentalists (ekonomi maupun ekologis) sebagai kaum kompromistis, kalau bukan penakut alias pengecut!

Pendekatan jalan tengah bicara soal 1000000 konteks 1000000 kitab, karena tiap konteks berbeda. Bagi jalan tengah, manusia tidak harus melihat semuanya dalam kaca mata pasar. Sebaliknya juga, manusia tidak harus melihat semuanya dalam kaca mata ekologis radikal karena toh radical ecologist pun konsumen tambang, jujur ataupun tidak. Radikalist pasar pun hidup bergantung pada kesehatan ekologis, jujur atau pun tidak. Manusia adalah makhluk ekonomi sekaligus manusia hanya bisa mempertahankan masa depannya dengan lingkungan yang sehat. 

Kecurigaan ini dipahami karena penggunaan teks tunggal dalam fundamentalisme agama, yang lainnya setara dengan kekafiran. Media yang mencoba memuat keduanya sering diprotes dan dicap ‘sudah dibeli’ salah satu pihak. Dalam studi kebijakan lingkungan (yang penulis anut), ada jalan ketiga yang memilih keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan.

Dalam dunia yang saling bergantung (secara lingkungan maupun ekonomi), orang butuh uang untuk hidup dan tidak mungkin hidup tanpa lingkungan hidup yang sehat.

Tetapi jalan ketiga pun tidak tunggal. Selalu ada varian dan mungkin berat sebelah – bahkan pengkianatan pada salah satu kubu. Dalam studi lingkungan, ada ilmu ekonomi lingkungan (environmental economics) yang mencoba membuat valuasi ekonomi atas alam-lingkungan dan keputusan untuk eksploitasi didasarkan pada rasionalitas cost-benefit analisis.

Pendekatan ekonomi lingkungan dikritik karena berat sebelah ke ekonomi – kemudian dengan melahirkan generasi baru seperti economi ekologis (ecological economics) yang mencoba mereformasi environmental economics dengan memberi-kan bobot yang lebih pada ekologis. Tetapi dasar korup, akademisi yang pro ecological economicspun bisa dibeli, kalau tidak bisa diteror.

Argumentasinya adalah karena lingkungan ekologis merepresentasikan kepentingan manusia – karenanya keberlanjutan (sustainabilitas) lingkungan ekologis adalah keberlanjutan manusia. Sebaliknya disadari bahwa makhluk manusia membutuhkan ekonomi, sehingga argumentasi ekonomi adalah soal kepentingan manusia. Keduanya datang dari ‘maksud baik’ dengan pendekatan berbeda, dan tentu memiliki keuntungan dan risikonya masing-masing.

Kembali ke tambang di NTT. Bagaimana menjembatani dua kubu fundamentalisme pasar dan lingkungan? Risiko bagi cara berpikir binary adalah mereka serta merta menolak kebijaksanaan jalan tengah yang datang dari refleksi-refleksi  lintas ilmu, lintas generasi dan lintas budaya ekonomi dan lintas budaya ekologis, lintas isme, lintas pengalaman. NTT membutuhkan munculnya gerakan-gerakan ‘jalan ketiga’ dari pihak-pihak moderat lingkungan – moderat pasar.

Alasannya, hanya kalangan moderasi dan modesti  yang mampu membuat dialog-dialog yang setara dan egaliter dan peduli dengan detail kehidupan yang terlalu kompleks untuk direduksi dalam logika binary. Kaum moderat pun diharapkan ‘menyelamatkan’ para mahasiswa dari cengkraman fundamentalisme pasar maupun fundamentalisme ekologis yang anti dialog – dan tentunya yang tidak diharapkan adalah gerakan anti pengetahuan yang berbasis empiris. Toh, apa artinya empirik (baca: data dan informasi bila hanya berakhir melayani penguasa lalim?)

Para pemda, belajarlah mendengar gerakan-gerakan anti tambang. Yang perlu Anda tahu, sebagian gerakan advokasi tambang bukan datang dari mahasiswa-mahasiswa maupun aktivis-aktivis yang kompensasi kegagalan akademis mereka (ataupun hasil indoktrinasi kitab ekofasis tunggal – walaupun ada dan tidak sedikit tentunya), tetapi datang dari profesional dan intelektual yang studi tambang secara bertanggung jawab.

Suara anti tambang tidak harus direduksikan pada anti ekonomi, tetapi itu bisa memiliki banyak makna. Salah satunya pro-ekonomi dalam kaca mata jangka panjang, di masa yang akan datang. Salah satunya adalah bermakna simbol tentang pentingnya masa depan rakyatmu berbasis ekologi yang sehat dan merupakan tugas Anda untuk secara kreatif mencari solusi ekonomi dengan cara lain (sektor lain yang potensial).

Mungkin, kreativitas anggaran APBD dan reformasi birokrasi untuk pelayanan hak-hak dasar lebih urgen dari eksploitasi alam terutama di tengah konteks di mana sumber daya manusia yang terbatas di SKPD-SKPBD (seperti Badan Lingkungan Hidup Daerah dan seterusnya) maupun kelangkaan tenaga ahli yang menjamin kualitas (perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi) lingkungan di pemda-pemda dan institusi AMDAL yang cenderung korup.

Pemerintah daerah perlu menerapkan stick and stick (sanksi dan insentif) bagi para pelaku pertambangan. Institusi agama yang memiliki kapasitas intelektual dan social capital perlu membebaskan diri dari ekonomi pasar maupun eco-fasis karena tanpa menjadi fasilitator yang tidak berat sebelah, Anda tidak mungkin secara jujur bisa menyelesaikan masalah Anda: menerima manfaat tambang melalui umat dan ‘persembahan’ investor sambil berpura-pura pro lingkungan.

Bagi para mahasiswa yang berpikir soal kesempatan kerja, NTT membu-tuhkan lahirnya LSM-LSM yang moderat, yang walaupun kemudian disebut ‘banci’ dan ‘kompromistis’, tetapi di tangan kaum moderatlah NTT bisa mendengar secara imbang terkait kepentingan ekonomi dan lingkungan. Pro-kontra ini akan selalu terjadi hingga ratusan tahun ke depan. Kesadaran akar rumput pun perlu dibangun secara imbang tanpa terjebak pada isme-isme yang bersaing menjajah mental mereka.
Universitas adalah tempat di mana ‘revolusi-revolusi’ sosial harusnya dipersiapkan.

Menyelesaikan masalah tambang yang bersifat multidimensi, universitas-universitas perlu secara serius meresponi bukan sekadar dengan respon konvensional (sekadar memproduksi alumnus-alumnus yang terjebak dalam dua fundamentalisme  di atas?) tetapi dengan proaktif mengintegra-sikan elemen-elemen yang memberdayakan mahasiswa seperti: kesadaran tentang naiknya permintaan raw material (termasuk mineral tambang) terutama dari negara-negara raksasa ekonomi seperti China, dan Jepang (terutama  pasca tsunami 2011) dan implikasi pada ekologi lokal di NTT.

Masalah lingkungan bisa didekati dengan belasan ilmu dan bukan urusan excavator saja didukung rumus-rumus eksplorasi geologis tetapi juga diperlukan ilmu ekonomi politik lingkungan, sosiologi-antropologi lingkungan, psikologi sosial lingkungan, budaya lingkungan, sejarah lingkungan, geografi sosial, teknik lingungan, kebijakan publik lingkungan, kesehatan lingkungan dan lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah apa yang universitas-universitas pelajari dari pro-kontra pertambangan? Haruskah menunggu peneliti-peneliti dari luar negeri ataukah secara proaktif membangun tradisi akademik yang terus gelisah dan mau berkontribusi bagi perdebatan pro-kontra ekonomi versus lingkungan pertambangan? Bagaimana posisi Anda bapak-bapak (dan ibu?) rektor?


Tulisan ini bukan memihak fundamentalisme yang lain seperti fundamentalisme sains. Opini ini bersifat membagikan kesadaran kritis bagi para mahasiswa dan calon mahasiswa, silahkan adik-adik lihat kata-kata kunci di atas dan dipelajari secara kritis dan diputuskan sesuai ‘isme’ masing-masing. Indonesia membutuhkan munculnya gerakan-gerakan baru yang bernafsu membangun dialog, mencari solusi jamak (bukan tunggal). *


Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Tambang NTT dan Dunia Persilatan Antar Fundamentalisme?, https://kupang.tribunnews.com/2011/06/07/tambang-ntt-dan-dunia–persilatan-antar-fundamentalisme?page=3.