Membangun Aristektur Kelembagaan Penanganan COVID-19 Yang Operasional, Padu, Efektif dan Berkeadilan

Oleh Jonatan A. Lassa

Kita berhadapan dengan sebuah fenomena yang penuh dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang tidak gampang diurai ditengah pandemik. Berharap apalagi mengkaim mampu memahami seluruh kompleksitas persoalan COVID-19 mungkin sebuah mitos karena dinamikanya sulit di kendalikan. Namun atas nama krisis dan urgensitas solusi kebijakan publik tidak bisa begitu saja didasarkan pada cara pandang departementalistik, dan juga harus tepat waktu dan padu waktu antara lembaga. Keputusan harus dibuat dalam ketidakpastian dan kekurang-lengkapan data dan informasi.

Namun yang paling penting adalah prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam pengambilan keputusan. Pertama, prinsip efektifitas dalam konteks krisis. Bahwa apapun inovasi ataupun experiment kebijakan, kita akan melihat dari outcomes-nya, apakah tepat sasaran, tepat waktu dan berdampak. Dalam konteks COVID-19, semua paket-paket response ini harusnya dibuat untuk dapat mengontrol COVID-19 dengan demikian kita punya ruang untuk memulihkan ekonominya.

Prinsip kedua, prinsip equity, bahwa distribusi manfaatnya harus dirasakan rakyat yang membutuhkan, yakni mereka yang secara rentan secara multi-dimensi baik sosial, ekonomi, kesehatan dsb. Tidak ada winners and losers, ataupun kalau tidak bisa sempurnah, minimalisir losers, perbanyak winners-nya. Stimulus di atas hanya memasukan kelompok dari sektor formal.

Masalahnya bukan terletak pada stimulus Rp. 600 ribu per bulan dengan kelompok target karyawan swasta ber BPSJ bergaji kecil dengan kriteria di bawah 5 juta. Semua kelompok rentan perlu mendapatkan semacam insentif (kriteria inclusion berbasis tingkat kerentanan). Karena itu karwayan swasta di sektor informal maupun yang tidak memiliki BPJS juga wajib mendapatkan sejenis basic income, atau dengan dengan model BLT tanpa syarat (unconditional cash transfers) dan sebagainya. Tetapi akar masalah kontroversi bukan disini.

Kita menilai sebuah kebijakan masa pandemic atau krisis dalam konteks ex-post yakni dari hasilnya. Artinya paket-paket response emergency COVID-19 baik dari Kemendes (BLT) maupun BLT Kemensos hingga saat ini belum bisa secara kolektif berkontribusi pada penururan kasus-kasus. Sebab musababnya ada di kemandekan birokrasi di semua level untuk bertindak cepat dan tepat dan padu waktu. Hal ini diakui oleh pemerintah sendiri minimal dua kali oleh Presiden terkait besarnya anomali anggaran yang masih tertinggal di kas-kas kementrian.

Ketiga, masalah legitimasi kebijakan COVID-19. Terkait sikap terhadap kebijakan stimulus karyawan di atas, ini sebuah assessment kebijakan yang bersifat ex-ante dan/atau in situ. Karenanya, analisis kami bersifat yang prediktif dapat didasarkan pada pengalaman 4 bulan terakhir. Artinya, stimulus khusus karyawan ini menjadi kontroversi karena masalah fundamental yang kita lihat terus terjadi dalam 4 bulan terakhir.

Kita tau karakter rezim Pak Jokowi di masa COVID-19 ini sangat departmental, artinya solusinya muncul dari kementrian-kementrian sektoral, tanpa keterpaduan waktu intervensi antara kementrian yang satu dengan yang lain, antara pusat dan daerah karena di lakukan tanpa kejelasan arsitektur kelembagaan yang bisa beroperasi di masa krisis. Sebagai misal, BPJS dinaikan dengan alasan kekurangan dana. Dipihak lain insentif BLT karyawan swasta mau diberikan untuk mempertahankan employment.  Sejauh ini, pemerintah terkesesan tidak mampu bertindak dengan bacaan big picture, untuk memahami landscape yang luas dari krisis ini dan segenap penanganan krisis COVID-19 ditengah gelombang pertama yang belum kungjung usai dan belum tau kapan puncaknya manakala negara-negara lain telah memasuki gelombang kedua karena sukses mengendalikan gelombang besar pertama. Kita lihat ini berhasil di negara-negara tentangga di ASEAN. Tidak usah jauh-jauh ke Australia, New Zealand.

Masalahnya ada krisis legitimaci ditingkat input kebijakan terkait disain komprinhensif paket stimulus ini; Prinsip legitimasi terakhir adalah legitimasi proses. Pendekatan yang top down, state centric, departemanetalistik, ketidak-mampuan mendengar masukan-masukan yang relevan dengan penanganan krisis membuat informed public sulit mempercayai pemerintah dan solusi-solisusinya. Bahwa semua design stimulus ini juga harus memiliki output legitimacy, yakni benar tidaknya harus di nilai dari dampaknya dalam menurunnya kasus penularan COVID-19 secara lebih cepat sehingga ada kecepatan dalam memperbaiki kondisi ekonomi.

Keterpaduan paket-paket kebijakan tindakan lintas kementrian dan lintas sektor, lintas tingkat dibutuhkan agar ada keterpaduan waktu tindak dalam mengontrol pandemik ini. Hal ini membutuhkan sketsa arsitektur kelembagaan yang operasional. Ketiadaan sketsa arsitektur kelembagaan ini membuat kita memperpanjang kegagalan menghentikan gelombang pertama COVID-19 di Indonesia. Tanpa perbaikan dalam mengontrol penularan COVID-19, tidak mungkin ekonomi bisa sembuh. Singapura adalah contoh yang baik bagaimana penularan gelombang ke dua mengakibatkan dampak resesi yang lebih dalam dari gelombang pertama.

[Disampaikan dalam Acara “Menyikapi Pro Kontra Kebijakan Stimulus Khusus Karyawan Swasta Bergaji di Bawah Lima Juta Rupiah” yang di fasilitasi – IndoBIG Network – MINDSET Institute – UBI Lab Jakarta]

Tambang NTT dan Dunia Persilatan Antar Fundamentalisme?

Selasa, 7 Juni 2011 02:22

Oleh  Jonatan Lassa (Anggota Forum Academia NTT, Indonesia Research Fellow (Post-doctoral) di Ash Center, Harvard Kennedy School, Harvard University)

DALAM hal tambang, mana yang Anda pilih: ekonomi atau lingkungan? Bila Anda adalah pekerja LSM lingkungan, kemungkinan Anda memilih ekologi. Bila Anda penganut paham fundamentalisme ekologis, maka lingkungan adalah harga mati, insentif sebesar atau sekecil apa pun dari sumberdaya alam tidaklah penting.

Kelompok ini kemudian mendekati akar rumput untuk ‘disadarkan’ untuk ‘bertobat’ menuju jalan benar menebus kerusakan alam. Kelompok ini (selanjutnya Kelompok Pertama) dalam bentuk ekstrim disebut dengan nama eco fascism atau juga deep ecology. Dalam perdebatan tambang, tipikal kelompok ini adalah secara tegas menolak tambang secara total dan jarang parsial.

Sebaliknya, bila Anda adalah pemerintah daerah atau bupati dan perusahaan swasta, maka besar kemungkinan Anda memilih ekonomi.

Bila Anda penganut fundamentalisme pasar, maka gampang ditebak, Anda memilih ekonomi ketimbang lingkungan hidup, dengan harga apa pun, meski itu berarti penyingkiran hak-hak rakyat setempat pada tanah, air dan udara yang sehat. Bisa dipahami karena Anda berjarak (liveout)  dari risiko-risiko yang ditimbulkan. Kelompok ini mendekati aktor-aktor lokal termasuk akar rumput dengan argu-mentasi insentif ekonomi. Bila perlu, tokoh adat, toko agama dan preman lokalpun disuap untuk mendukung. Kelompok pro-ekonomi kemudian dilabel dalam perdebatan-perdebatan saat ini di media-media lokal sebagai pro neo-liberalisme.

Sebagaimana fundamentalisme agama dikritik karena hanya menggunakan teks tunggal dalam memahami semesta dan realitas kompleks, begitu pula fundamentalisme lingkungan maupun fundamentalisme pasar. Dialog-dialog pun tersendat. Di koran-koran kita ha-nya melihat binary thinking (0 atau 1), hitam atau putih. Mati atau hidup. Lingkungan atau ekonomi. Ekonomi atau lingkungan. Tidak ada ‘ekonomi lingkungan’ maupun ‘lingkungan ekonomi’.

Menurut penulis, kedua kelompok ini kelompok malas pikir karena logikanya terjebak pada pendekatan OAFAC (one approach fit all context – atau satu pendekatan untuk semua konteks). Satu doktrin advokasi lingkungan ataupun ekonomi dipakai untuk semua konteks. Flores sama dengan Timor, Timor sama dengan Australia, Australia sama dengan Kalimantan. 1000000 konteks, satu kitab.

Data-data statistik pun jadi penghias sekadar membangun legitimasi ‘kitab suci’ masing-masing – ini dikenal dengan nama ‘politik perang data’. Maka bagi fundamentalist pasar, semua sumber daya alam bisa diuangkan. Fundamentalist ekologi, istilah sumber daya alam pun adalah sebuah kesalahan karena alam janganlah dilihat sebagai uang dan jangan diganggu sama sekali.

Di NTT, perang antara dua kelompok ini pada suatu masa tentu dimenangi oleh pihak kedua (kapitalis) dan dalam masa yang lain di konteks tertentu pihak pertama (pro-ekologi). Karena pihak kedua adalah kaum marginal dengan tipikal sebagai berikut: kalau bukan kelompok akar rumput yang ‘diberdayakan’ (oleh LSM), maka mereka adalah kelompok kelas menengah, berpendidikan tinggi, berbasis di kota dan memiliki jaringan ide, ideologis dan juga finansial (yang tentunya terbatas) dan karena-nya sering dilihat sebagai kelompok pengganggu penguasa, sehingga media menjadi tumpuan untuk memberitakan peristiwa-peristiwa ‘unjuk rasa’.

Perlu ditegaskan bahwa keduanya datang dari alasan-alasan ‘demi kebaikan umat manusia’ –  mirip argumentasi fundamentalisme agama ‘untuk keselamatan manusia.’ 1000000 bencana, 1 penjelasan: ‘karena Tuhan menghukum’ atau ‘karena salah dan dosa manusia’ (pendekatan ala mengutuk korban atau kepemimpinan) – tentu ter-gantung jenis fundamentalisme yang dianut.

Apakah ada jalan tengah? Ada. Tetapi jalan tengah dicurigai para fundamentalists (ekonomi maupun ekologis) sebagai kaum kompromistis, kalau bukan penakut alias pengecut!

Pendekatan jalan tengah bicara soal 1000000 konteks 1000000 kitab, karena tiap konteks berbeda. Bagi jalan tengah, manusia tidak harus melihat semuanya dalam kaca mata pasar. Sebaliknya juga, manusia tidak harus melihat semuanya dalam kaca mata ekologis radikal karena toh radical ecologist pun konsumen tambang, jujur ataupun tidak. Radikalist pasar pun hidup bergantung pada kesehatan ekologis, jujur atau pun tidak. Manusia adalah makhluk ekonomi sekaligus manusia hanya bisa mempertahankan masa depannya dengan lingkungan yang sehat. 

Kecurigaan ini dipahami karena penggunaan teks tunggal dalam fundamentalisme agama, yang lainnya setara dengan kekafiran. Media yang mencoba memuat keduanya sering diprotes dan dicap ‘sudah dibeli’ salah satu pihak. Dalam studi kebijakan lingkungan (yang penulis anut), ada jalan ketiga yang memilih keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan.

Dalam dunia yang saling bergantung (secara lingkungan maupun ekonomi), orang butuh uang untuk hidup dan tidak mungkin hidup tanpa lingkungan hidup yang sehat.

Tetapi jalan ketiga pun tidak tunggal. Selalu ada varian dan mungkin berat sebelah – bahkan pengkianatan pada salah satu kubu. Dalam studi lingkungan, ada ilmu ekonomi lingkungan (environmental economics) yang mencoba membuat valuasi ekonomi atas alam-lingkungan dan keputusan untuk eksploitasi didasarkan pada rasionalitas cost-benefit analisis.

Pendekatan ekonomi lingkungan dikritik karena berat sebelah ke ekonomi – kemudian dengan melahirkan generasi baru seperti economi ekologis (ecological economics) yang mencoba mereformasi environmental economics dengan memberi-kan bobot yang lebih pada ekologis. Tetapi dasar korup, akademisi yang pro ecological economicspun bisa dibeli, kalau tidak bisa diteror.

Argumentasinya adalah karena lingkungan ekologis merepresentasikan kepentingan manusia – karenanya keberlanjutan (sustainabilitas) lingkungan ekologis adalah keberlanjutan manusia. Sebaliknya disadari bahwa makhluk manusia membutuhkan ekonomi, sehingga argumentasi ekonomi adalah soal kepentingan manusia. Keduanya datang dari ‘maksud baik’ dengan pendekatan berbeda, dan tentu memiliki keuntungan dan risikonya masing-masing.

Kembali ke tambang di NTT. Bagaimana menjembatani dua kubu fundamentalisme pasar dan lingkungan? Risiko bagi cara berpikir binary adalah mereka serta merta menolak kebijaksanaan jalan tengah yang datang dari refleksi-refleksi  lintas ilmu, lintas generasi dan lintas budaya ekonomi dan lintas budaya ekologis, lintas isme, lintas pengalaman. NTT membutuhkan munculnya gerakan-gerakan ‘jalan ketiga’ dari pihak-pihak moderat lingkungan – moderat pasar.

Alasannya, hanya kalangan moderasi dan modesti  yang mampu membuat dialog-dialog yang setara dan egaliter dan peduli dengan detail kehidupan yang terlalu kompleks untuk direduksi dalam logika binary. Kaum moderat pun diharapkan ‘menyelamatkan’ para mahasiswa dari cengkraman fundamentalisme pasar maupun fundamentalisme ekologis yang anti dialog – dan tentunya yang tidak diharapkan adalah gerakan anti pengetahuan yang berbasis empiris. Toh, apa artinya empirik (baca: data dan informasi bila hanya berakhir melayani penguasa lalim?)

Para pemda, belajarlah mendengar gerakan-gerakan anti tambang. Yang perlu Anda tahu, sebagian gerakan advokasi tambang bukan datang dari mahasiswa-mahasiswa maupun aktivis-aktivis yang kompensasi kegagalan akademis mereka (ataupun hasil indoktrinasi kitab ekofasis tunggal – walaupun ada dan tidak sedikit tentunya), tetapi datang dari profesional dan intelektual yang studi tambang secara bertanggung jawab.

Suara anti tambang tidak harus direduksikan pada anti ekonomi, tetapi itu bisa memiliki banyak makna. Salah satunya pro-ekonomi dalam kaca mata jangka panjang, di masa yang akan datang. Salah satunya adalah bermakna simbol tentang pentingnya masa depan rakyatmu berbasis ekologi yang sehat dan merupakan tugas Anda untuk secara kreatif mencari solusi ekonomi dengan cara lain (sektor lain yang potensial).

Mungkin, kreativitas anggaran APBD dan reformasi birokrasi untuk pelayanan hak-hak dasar lebih urgen dari eksploitasi alam terutama di tengah konteks di mana sumber daya manusia yang terbatas di SKPD-SKPBD (seperti Badan Lingkungan Hidup Daerah dan seterusnya) maupun kelangkaan tenaga ahli yang menjamin kualitas (perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi) lingkungan di pemda-pemda dan institusi AMDAL yang cenderung korup.

Pemerintah daerah perlu menerapkan stick and stick (sanksi dan insentif) bagi para pelaku pertambangan. Institusi agama yang memiliki kapasitas intelektual dan social capital perlu membebaskan diri dari ekonomi pasar maupun eco-fasis karena tanpa menjadi fasilitator yang tidak berat sebelah, Anda tidak mungkin secara jujur bisa menyelesaikan masalah Anda: menerima manfaat tambang melalui umat dan ‘persembahan’ investor sambil berpura-pura pro lingkungan.

Bagi para mahasiswa yang berpikir soal kesempatan kerja, NTT membu-tuhkan lahirnya LSM-LSM yang moderat, yang walaupun kemudian disebut ‘banci’ dan ‘kompromistis’, tetapi di tangan kaum moderatlah NTT bisa mendengar secara imbang terkait kepentingan ekonomi dan lingkungan. Pro-kontra ini akan selalu terjadi hingga ratusan tahun ke depan. Kesadaran akar rumput pun perlu dibangun secara imbang tanpa terjebak pada isme-isme yang bersaing menjajah mental mereka.
Universitas adalah tempat di mana ‘revolusi-revolusi’ sosial harusnya dipersiapkan.

Menyelesaikan masalah tambang yang bersifat multidimensi, universitas-universitas perlu secara serius meresponi bukan sekadar dengan respon konvensional (sekadar memproduksi alumnus-alumnus yang terjebak dalam dua fundamentalisme  di atas?) tetapi dengan proaktif mengintegra-sikan elemen-elemen yang memberdayakan mahasiswa seperti: kesadaran tentang naiknya permintaan raw material (termasuk mineral tambang) terutama dari negara-negara raksasa ekonomi seperti China, dan Jepang (terutama  pasca tsunami 2011) dan implikasi pada ekologi lokal di NTT.

Masalah lingkungan bisa didekati dengan belasan ilmu dan bukan urusan excavator saja didukung rumus-rumus eksplorasi geologis tetapi juga diperlukan ilmu ekonomi politik lingkungan, sosiologi-antropologi lingkungan, psikologi sosial lingkungan, budaya lingkungan, sejarah lingkungan, geografi sosial, teknik lingungan, kebijakan publik lingkungan, kesehatan lingkungan dan lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah apa yang universitas-universitas pelajari dari pro-kontra pertambangan? Haruskah menunggu peneliti-peneliti dari luar negeri ataukah secara proaktif membangun tradisi akademik yang terus gelisah dan mau berkontribusi bagi perdebatan pro-kontra ekonomi versus lingkungan pertambangan? Bagaimana posisi Anda bapak-bapak (dan ibu?) rektor?


Tulisan ini bukan memihak fundamentalisme yang lain seperti fundamentalisme sains. Opini ini bersifat membagikan kesadaran kritis bagi para mahasiswa dan calon mahasiswa, silahkan adik-adik lihat kata-kata kunci di atas dan dipelajari secara kritis dan diputuskan sesuai ‘isme’ masing-masing. Indonesia membutuhkan munculnya gerakan-gerakan baru yang bernafsu membangun dialog, mencari solusi jamak (bukan tunggal). *


Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Tambang NTT dan Dunia Persilatan Antar Fundamentalisme?, https://kupang.tribunnews.com/2011/06/07/tambang-ntt-dan-dunia–persilatan-antar-fundamentalisme?page=3.

Call for Paper – Calling for Change in Disaster Studies

Calling for Change in Disaster StudiesCall for Papers for Special Issue of Disaster Prevention and Management

There is a surge in the academic responses to the global rise of risks and disasters, indicated by the worldwide increase in peer-reviewed journals and grey literature over the last two decades. While this is a good sign of progress, it is time to ask whose voice gets heard and who are left behind in the field of knowledge production. We observed that the hegemony of Western scholarship dominates the production of disaster risk reduction, prevention and management knowledge and solutions. While we observe changing trends, we believe that global disaster and risk scholarship lacks representation from most of the ‘at-risk’ and ‘disaster hotspots’ and most vulnerable places, including low and medium income countries.

Recently, a collective of disaster and risk scholars developed a manifesto which calls for inclusive disaster and risk research. This call for papers is part of the imperative of this manifesto titled “Power, Prestige & Forgotten Values: A Disaster Studies Manifesto”. The manifesto aims to create an alternative future where local epistemologies and indigenous accounts of disasters and risks can have an adequate shared space in disaster studies. This special issue, therefore, extends a call for papers that promote knowledge plurality by valuing local ontologies and epistemologies, whenever appropriate, to decolonise disaster studies and move beyond the “well” established western approaches, sources, concepts, methodologies, values and languages that are predominantly outsiders to the disaster and risk hotspots.

The aim of this special issue is to challenge the disaster and risk research status-quo and pave the way for a new thinking beyond the established paradigms, hoping for a change in thinking around disaster and risk education curriculum and pedagogies.

We, therefore, call for submissions from researchers and practitioners from around the world seeking to challenge the status quo of disaster and risk research. We strongly encourage researchers from the most at-risk countries and disaster and risk hotspots. We also encourage equitable collaborations between local and non-local researchers. We encourage both theoretical and empirical transdisciplinary contributions.

This special edition calls for papers that share the spirit of the above-mentioned manifesto. The typical questions to be answered can be: how to decolonise disaster and disaster risk studies research and move beyond the current established sources, concepts, methodologies and languages that dominate disaster and risk research? How to create a research ethos that promotes higher representation from vulnerable and marginal research communities? How to create a system of incentives that can be respectful, reciprocal and create genuine relationships between “local” and “external” researchers in disaster studies? How to transform our methods and our allocation of resources to suit the ethos of the manifesto? How to engage non-traditional knowledge creators as part of transdisciplinary research?

It also encourages submissions of all kinds, from short opinion pieces and commentaries to full research papers addressing some pertinent questions in the field of disaster studies.

Possible themes

  1. Decolonising disaster research
  2. Disaster research alternatives
  3. Disaster research ethics
  4. Disaster epistemologies
  5. Disaster research and local epistemologies
  6. Issues of cultural sovereignty in disaster research
  7. Gender/Feminist perspective to disaster studies
  8. Subaltern disaster studies
  9. Transdisciplinary disaster risk research

Please submit your abstract of 500-700 words using this Google Form. You can also send your abstract to insideoutdpm@gmail.com

Deadline for abstract submission: September 30th, 2020.

The abstracts will be reviewed by the guest editors of this special issue. Authors of selected abstracts will be notified by 25 October 2020. The deadline for submission of full papers is 26 February 2021. Individual papers will be published online as EarlyCite shortly after being accepted. The special issue will be published in January 2022.

Guest Editors

Calling for Change in Disaster Studies

Call for Papers for Special Issue of Disaster Prevention and Management

There is a surge in the academic responses to the global rise of risks and disasters, indicated by the worldwide increase in peer-reviewed journals and grey literature over the last two decades. While this is a good sign of progress, it is time to ask whose voice gets heard and who are left behind in the field of knowledge production. We observed that the hegemony of Western scholarship dominates the production of disaster risk reduction, prevention and management knowledge and solutions. While we observe changing trends, we believe that global disaster and risk scholarship lacks representation from most of the ‘at-risk’ and ‘disaster hotspots’ and most vulnerable places, including low and medium income countries.

Recently, a collective of disaster and risk scholars developed a manifesto which calls for inclusive disaster and risk research. This call for papers is part of the imperative of this manifesto titled “Power, Prestige & Forgotten Values: A Disaster Studies Manifesto”. The manifesto aims to create an alternative future where local epistemologies and indigenous accounts of disasters and risks can have an adequate shared space in disaster studies. This special issue, therefore, extends a call for papers that promote knowledge plurality by valuing local ontologies and epistemologies, whenever appropriate, to decolonise disaster studies and move beyond the “well” established western approaches, sources, concepts, methodologies, values and languages that are predominantly outsiders to the disaster and risk hotspots.

The aim of this special issue is to challenge the disaster and risk research status-quo and pave the way for a new thinking beyond the established paradigms, hoping for a change in thinking around disaster and risk education curriculum and pedagogies.

We, therefore, call for submissions from researchers and practitioners from around the world seeking to challenge the status quo of disaster and risk research. We strongly encourage researchers from the most at-risk countries and disaster and risk hotspots. We also encourage equitable collaborations between local and non-local researchers. We encourage both theoretical and empirical transdisciplinary contributions.

This special edition calls for papers that share the spirit of the above-mentioned manifesto. The typical questions to be answered can be: how to decolonise disaster and disaster risk studies research and move beyond the current established sources, concepts, methodologies and languages that dominate disaster and risk research? How to create a research ethos that promotes higher representation from vulnerable and marginal research communities? How to create a system of incentives that can be respectful, reciprocal and create genuine relationships between “local” and “external” researchers in disaster studies? How to transform our methods and our allocation of resources to suit the ethos of the manifesto? How to engage non-traditional knowledge creators as part of transdisciplinary research?

It also encourages submissions of all kinds, from short opinion pieces and commentaries to full research papers addressing some pertinent questions in the field of disaster studies.

Possible themes

  1. Decolonising disaster research
  2. Disaster research alternatives
  3. Disaster research ethics
  4. Disaster epistemologies
  5. Disaster research and local epistemologies
  6. Issues of cultural sovereignty in disaster research
  7. Gender/Feminist perspective to disaster studies
  8. Subaltern disaster studies
  9. Transdisciplinary disaster risk research

Please submit your abstract of 500-700 words using this Google Form. You can also send your abstract to insideoutdpm@gmail.com

Deadline for abstract submission: September 30th, 2020.

The abstracts will be reviewed by the guest editors of this special issue. Authors of selected abstracts will be notified by 25 October 2020. The deadline for submission of full papers is 26 February 2021. Individual papers will be published online as EarlyCite shortly after being accepted. The special issue will be published in January 2022.

Guest Editors

Punam Yadav

Victor Marchezini

Dewald Van Niekerk

Jonatan A. Lassa

Journal Editors

JC Gaillard, The University of Auckland

Emmanuel Raju, University of Copenhagen

Teka Teki Silang Pengelolaan COVID-19

Oleh: Dominggus Elcid Li

Hobi mengisi TTS alias Teka-Teki Silang itu banyak manfaatnya, terlebih di era Covid-19. Jika anda adalah penggemar kolom Teka-Teki Silang atau Sudoku di koran atau buku kecil setengah lembar HVS untuk mengasah otak agar tak cepat lupa, atau sekedar ingin membunuh sepi diantara waktu yang enggan diberi makna agar tak terlalu melankolis, maka mungkin anda adalah calon pemimpin yang lama tersembunyi. Ya, mungkin juga kota itu city-state, bisa juga satu negara dengan banyak kota—dengan sekian desanya. Tapi, itu ya hanya jika anda memang mau, sebab tidak banyak lagi penggemar Teka-Teki Silang atau Sudoku yang mau menjadi ‘pejabat publik’. (Bagi yang belum pernah main Sudoku, kalau Teka-Teki Silang itu adalah deretan menurun mendatar kata-kata, Sudoku itu deretan angka-angka.)

Lalu apa urusannya Teka-Teki Silang dan atau Sudoku dengan Covid-19? Ya, untuk menyelesaikan Teka-Teki Covid-19, hal utama yang perlu diperhatikan adalah anda tidak berpikir untuk satu kata saja. Misalnya kata itu ‘ekonomi’ atau ‘kesehatan’. Katakan bahwa kata ‘ekonomi’ adalah jawaban mendatar, dan kesehatan adalah jawaban menurun dengan titik pertemuan pada huruf ‘k’. Lalu kemudian disambung dengan kata ‘pertanian’ atau ‘perdagangan’, atau bahkan ‘pariwisata’ di pojok bawah sebelah kanan mendatar. Permainan ini membantu orang menulis benar dengan berpikir tentang banyak hal, misalnya mencegah agar PAD (Pendapat Asli Daerah) tidak hilang total, tidak mungkin dilakukan tanpa langkah pencegahan maupun penanganan Covid-19 yang tuntas dan segera. Bermain TTS mengajak kita belajar mengoreksi atas nama keterkaitan.

Mungkin anda langsung menjawab, ‘Wah, ternyata mudah menjadi pemimpin publik!’ Besok saya mau jadi presiden, atau walikota, atau mungkin mau jadi Bu Kades dulu sebagai ajang latihan. Tapi ya sabar dulu, bukan itu saja. Bayangkan jika Teka-Teki Silang itu kita ganti jadi Sudoku. Anda yang pernah menjadi juara matematika tingkat kecamatan mungkin langsung berteriak ‘Ah, gampang!’ Persoalannya agak sedikit lebih rumit karena dalam Teka-Teki Covid-19, baik Teka-Teki maupun Sudoku ada dalam satu kolom yang sama, dan beberapa kata belum ditemukan, dan beberapa angka itu sifatnya tak terhingga alias infinite…

Tapi kita jangan masuk ke sana dulu, agar tidak disebut penggemar Novel Utopia. Cukup di bagian dua kata pertama di atas. Ekonomi mendatar. Kesehatan Menurun. Dengan titik pertemuan pada huruf ‘K’. Agar ekonomi bisa bergerak, kesehatan juga harus disentuh. Dan agar kesehatan bisa bergerak, ada kata ‘Teknologi’ yang bertemu dengan huruf ‘T’ pada Kesehatan.

Sayangnya para pejabat publik kita bukan lah penggemar Teka-Teki Silang apalagi Sudoku. Mereka lebih terbiasa hanya menggunakan ‘satu kata’. Kata itu entah ‘ekonomi’, ‘untung’, ‘rugi’, ‘pailit’, ‘bangkrut’. Karena tidak biasa main Teka-Teki, mereka tidak terbiasa menjawab serentak, bahwa antara ekonomi dan kesehatan itu bukan lah pilihan tunggal, tetapi dijawab dalam satu hela nafas. Salah menjawab, hanya membawa kematian.

Kecenderungan terbiasa menjawab ‘kata tunggal’ sebagai jawaban, memang tidak pas untuk main Teka-Teki Silang Covid-19. Sebab ketika yang dipikir hanya satu kata awal, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kata-kata berikut, kolom-kolom Teka-Teki Silang Covid-19 itu tentu kosong, atau tidak terisi.

Berhadapan dengan Teka-Teki Silang Kehidupan yang sulit ada kecenderungan orang segera meninggalkan permainan, atau bahkan melemparkan buku Teka-Teki ke dalam tong sampah sambil berseru, “Ini permainan buang-buang waktu, dan orang sudah mati.”

Ya, persoalannya kematian bagi setiap manusia itu pasti. Tetapi kematian banyak orang dalam rentang waktu yang agak sama katakan lah bagi ‘sebuah bangsa’ amat terkait dengan keputusan dan kerelaan para pemimpinnya untuk main Teka-Teki Silang dengan baik. Tidak hanya berpikir soal satu kata. Tidak hanya berpikir untuk diri sendiri.

Sehingga untuk bisa bermain, harus agak dewasa. Tidak boleh cemberut, lalu berkata “Saya ingin jadi virus untuk lawan Corona!” Ya, mungkin bisa, dalam bentuk ‘vaksin’, jika anda seorang peneliti biomolekuler yang nongkrong di Eijkman, atau kantor sejenis ini. Bisa juga anda mungkin menjawab ‘Saya ingin mencoba mendekati kematian, berikan saya virus corona, saya ingin kenalan dengannya.’ Tapi itu kan masih soal ‘Saya’. Bukan soal virus. Dalam Teka-Teki Covid-19, konsep bahwa saya penting, itu agak tidak penting. Sebab tanpa mengenali secara spesifik spike protein S1, protein permukaan pada virus SarCov2—bagian yang pertama berikatan dengan sel inang sebelum infeksi terjadi, tidak mungkin ada vaksin. Di sisi ini upaya untuk mencoba mengerti asal muasal virus corona bisa berkembang tidak terkendali tanpa mampu dikontrol oleh elemen lain, menjadi renungan tersendiri. Seharusnya riset inti semacam ini dibiayai negara, tetapi ketika negara dikuasai gerombolan perompak-pedagang, isinya kita cuma jadi distributor alat kesehatan bin toekang catoet, meskipun kaum ini sering disebut sebagai yang moelia pedjabat.

Di level industrialis, sudah lama sekian juta ‘saya’ ini merasa menguasai Planet Bumi ini, dan menganggap yang lain ada dalam kendali tangan Si Saya. Upaya melihat kembali rumah bersama dimulai di Eropa lewat renungan Laudato Si yang menjadi bagian percakapan di ruang dalam. Bahkan Si Charles, mantan suami Putri Diana, juga mengulang hal yang sama dalam World Economic Forum di awal bulan ini, ini saatnya memikirkan ulang ekonomi yang berkelanjutan. Tambang mangan dan semen, jelas bukan ya!

Karena Teka-Teki Covid-19 ini luas halamannya tidak sebesar kolom Teka-Teki Silang di Surat Kabar Minggu, tetapi ukurannya sebesar gabungan halaman muka-belakang Surat Kabar Harian, untuk mengisinya butuh kerjasama dengan banyak orang.

Masalahnya ada dua. Pertama, sudah lama kita terbiasa menjawab satu kata, bukan Teka-Teki Silang (mendatar-menurun). Kedua, sudah lama kita berpikir sendiri-sendiri dan bekerja sendirian pula sehingga untuk mengisi Teka-Teki sebesar dua kali halaman koran tidak mudah. Bagaimana mendengar jawaban 30 kawan lain? Atau 5 kawan terdekat yang ada dalam formasi elemen radikal bebas, dan bukan sekedar satuan setengah lusin kurang yang identik? Bahkan di titik ekstrim setengah lusin kurang identic ini ada dalam tawanan imajinasi jenis kelompok yang tersesat secara kolektif, hanya membawa kehancuran pada hidup bersama.

Sebenarnya itu bukan lah hal sulit, jika mau belajar bermain Teka-Teki, dan mau belajar bermain bersama-sama mengisi kolom-kolom Teka-Teki Silang.

Lho kok bermain? Ya, untuk melupakan sejenak ‘ancaman kematian karena salah mengisi kolom’, hal yang paling mudah dibayangkan adalah menganggap ini sekedar sebuah permainan. Kita hanya lah anak-anak yang sedang belajar. Agar beban itu sedikit ringan, dan kita bisa hela nafas seirama lagu zaman kita masih anak-anak, dan menjadi pusat perhatian seisi rumah.

Setiap orang pasti pernah menjadi anak-anak. Tetapi tidak setiap orang pernah mengalami rumah yang penuh tawa. Tidak semua orang beruntung. Makanya ‘Negara’ hadir untuk membantu keluarga, maupun anak-anak yang tidak diberi kesempatan itu.

Lalu ketika negara hanya menempatkan manusia sekedar kawanan (herd), yang dekat sekali dengan konsep ke-hewan-an, dan bukan ke-manusia-an, apakah itu masih disebut Negara? Supir angkot sebuah kota, atau sebuah negara mungkin menjawab ‘Kita tidak punya pilihan’.

Persoalannya, tidak semua pilihan itu terbuka, jika sejak awal ‘logika teka-teki silang’ tidak dipakai. Karena antara satu kata, atau angka sangat terkait dengan kedudukan kata dan angka yang lain pula. Untuk melihatnya butuh seribu mata pemain Teka-Teki.

Nah, rumitnya jika yang diajak untuk bermain bukan pemain Teka-Teki Silang, tetapi mereka yang diajak untuk menemani ‘bermain’ adalah pedagang setengah tukang catut. Baru tiba di kolom pertanyaan kedua, mereka sudah beramai-ramai mengajak, ‘Bagaimana kalau kita jual saja kolom Teka-Teki Silang ini, dapat berapa duit?’

Ini jelas jadi soal. Sebab meskipun anda tahu jawaban Teka-Teki, tetapi dalam mengatur kehidupan umum, ada Pemilu (Pemilihan Umum). Tapi kan, sejak lama Pemilu itu dijual bukan? Bahkan biasanya biar menambah unsur ‘kesegeraan’ yang membuat Pemilu itu serasa penting banget, biasanya ditambah unsur ‘hidup-mati’. Ya, agama. Sehingga makin hari yang terpilih orangnya makin lucu-lucu. Bahkan jika terlalu lucu, bikin kepala pening, sehingga perlu diganti sesering mungkin seperti pampers.

Lalu bagaimana?

Agar bisa bermain dengan baik kita perlu menerima logika Teka-Teki Silang maupun Sudoku. Berikutnya, karena butuh seribu mata anak-anak bahagia yang dipakai untuk menjawab maka perlu ada sistem (bersama). Sayangnya, sistem ini tidak mungkin dibangun, jika hanya dimulai dan diakhiri dengan kata ‘saya’. Karena kita sudah tahu, itu pasti salah. Apalagi jika dimulai dari kelompok yang suka mencuri, dan memanipulasi.

Saya dalam pengertian pejabat publik hanya berarti jika mampu menerjemahkan kehendak umum (general will) itu kata Si Rosseau. Saya mungkin mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan kolektif jika ada dukungan maupun publik berkenan menjatuhkan hukuman untuk yang melanggar, dan diberikan hukuman kata Si Weber dengan konsepnya soal ‘legitimasi’ satu abad kemudian setelah Rosseau.

Lalu, apa hukumannya untuk yang masih menganggap ‘Negara adalah Saya’? Konsep ini diperkenalkan oleh Raja Louis XIV tahun 1655 sebagai _L’etat, c’est moi_. Konsep ini lah yang dilawan Rosseau, yang menjadi salah satu kontributor ide dalam Revolusi Perancis (1789-1799). Pertanyaan di atas, dengan dijawab dengan kesadaran warga, yang menggantikan bangunan monarki absolut lewat revolusi. Embrio Republik pun hadir dengan munculnya Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des droits de l’homme et du citoyen). Itu kalau orang niat bernegara seperti orang-orang di negerinya Macron, yang terampil sekali menggunakan media, dan menjadi pemikir di garda republik. Sedang di sini, berpolitik masih seperti orang piknik, tidak ada pikirannya.

Jika hari-hari ini, di tahun 2020 formasi Negara yang berbentuk republik yang dihantam krisis virus, berbalik arah untuk menegakan prinsip kehewanan, maka telah cukup jauh virus berhasil menggoyahkan pikiran moderen tentang (warga) negara. Bahkan sebagian masuk kembali ke dalam konsep ruang sakral pencipta, dalam wawasan manusia yang terbatas, atau malah sekedar atas nama hubungan darah (primordial). Tetapi, sebagian besar yang muncul di era krisis ini adalah kombinasi antara kedua hal ini, ditambah dengan nalar pedagang setengah tukang catut, yang tidak ada nalarnya. Sebab nasib sekian juta warga disederhanakan seperi mereka sedang bermain lempar koin, ‘untung’ atau ‘rugi’.

Sedangkan posisi sekarang membutuhkan kebersamaan untuk menyelesaikan Teka-Teki sebesar dua kali halaman koran. Di era Revolusi Perancis, makhluk bernama virus belum lagi dikenal. Dalam dunia virologi, virus pertama, Tobacco Mosaic Virus disumbangkan oleh Ivanovsky di tahun 1892 dan Beijerinck tahun 1898. Sedangkan kata virus sendiri mulai dipakai sejak tahun 1728, untuk menyebutkan agen yang menyebabkan penyakit menular. Sedangkan sebagai sebuah konsep modern baru muncul di era Ivanovsky-Beijerink.

Kata sebagai konsep, dan angka sebagai indikator waktu sedikit membantu kita untuk berjalan, dan melihat tanda rambu bahaya, seperti panduan pertanyaan mendatar dan menurun dalam Teka-Teki Silang agar tidak keliru menjawab. Sebagai warga negara sebuah republik kita mempunyai hak untuk menolak keputusan yang keliru, maupun di saat yang bersamaan bekerjasama untuk menjaga warga negara yang lain tidak dibiarkan mati. Sebab membiarkan kematian warga negara adalah anti tesis dari konsep republik maupun warga negara. Persaudaraan (Fraternite) dan Persamaan (Egalite) adalah salah dua dari tiga konsep kunci republik. Dalam kedua konsep ini dimengerti bahwa ‘mereka yang mati adalah saya’, atau dalam Bahasa Dawan, bahasa daerah terbesar yang dipakai di Timor Barat, ungkapannya menjadi ‘Hit auk bian’, atau anda adalah bagian dari tubuh kita. Ini lah konsep dasar tubuh politik republik.

Sebelum lupa, di era krisis akibat pandemi, sebelum mengisi jawaban atas pertanyaan TTS No.2, pertanyaan No.1 perlu dilengkapi yang isinya soal kesehatan harus di-isi dengan benar, agar kita tidak hanya menunda kekalahan, atau masuk dalam krisis panjang tanpa ujung. Di sisi ini bakti terhadap publik menjadi syarat bergerak. Tanpa kecintaan pada manusia yang paling lemah, politik hanya kegiatan yang tidak ada artinya. Sekedar sirkus kawanan hewan, dan kumpulan para predator buas.

Di titik ini ketika konsep warga negara kosong dan diabaikan, partai-partai politik terasa semakin hari semakin menjadi ancaman untuk kehidupan rakyat. Trend berburu rente sampai mati jadi kebiasaan kolektif. Berhadapan dengan fenomena ini rakyat perlu belajar bergerak bersama, mengisi teka-teki silang sendiri, tetap gembira, dan memastikan agar Covid-19 tidak menggerus daya kritis.

*Sosiolog, peneliti di IRGSC, Anggota Forum Academia NTT

Perlengkapan Diri untuk Relawan dan Pekerja Kemanusiaan

volunteer kit
Sumber Foto:  asypeasypleasy.com 

Analisa awal situasi pasca gempa-tsunami Sulawesi Tengah 2018 menunjukkan dampak yang luar biasa, termasuk besarnya jumlah korban jiwa, terganggunya infrastruktur, dan kerusakan berat pada bangunan, termasuk perumahan.

Di sisi lain, listrik padam, PDAM tidak berfungsi, SPBU tidak beroperasi, pasokan air minum terganggu, serta tempat tinggal terbatas.

Oleh karena itu, para relawan dan pekerja kemanusiaan perlu menyiapkan kondisi fisik dan mental yang prima untuk menghadapi operasi penanganan darurat bencana pasca gempa-tsunami. Serta, memiliki perbekalan yang cukup agar bisa optimal bekerja.

Dokumen yang perlu dibawa:

☐Kartu Identitas (KTP dan/ atau SIM)
☐Surat tugas
☐Surat keterangan dari dokter (apabila memiliki penyakit kronis, misalnya hipertensi, diabetes, dll)
☐Asuransi kesehatan
☐Kacamata cadangan
☐Uang tunai yang cukup selama masa penugasan
☐Buku dan alat tulis
☐Peta wilayah
☐Daftar nomor telepon penting (Posko, tim di lapangan, dll)
☐Kartu Imunisasi (rekomendasi: tetanus, hepatitis A & B, typhoid, polio)

Peralatan penting untuk dibawa:

☐ Tas ransel
☐ Map plastik tahan air (untuk menyimpan dokumen-dokumen penting)
☐ Baju ganti yang cukup (sesuai dengan kondisi cuaca, disarankan lengan panjang)
☐ Sepatu boot tinggi ber-sol tebal
☐ Topi atau pelindung kepala
☐ Kacamata hitam (anti UV) dan kacamata cadangan
☐ Obat-obatan pribadi (termasuk alat penjernih air)
☐ Losion tabir surya
☐ Penangkal nyamuk/ serangga (wilayah terdampak endemik malaria)
☐ Peralatan mandi dan handuk
☐ Perlengkapan hujan (jas hujan atau jaket)
☐ Perlengkapan pertolongan pertama (untuk perorangan)
☐ Pisau multi-fungsi
☐ Sarung tangan karet
☐ Tissue basah
☐ Hand Sanitizer
☐ Masker N95
☐ Tenda
☐ Handphone, power bank, dan charger
☐ SIM Card dari berbagai jaringan yang sudah diisi dengan pulsa
☐ Senter tahan air dan batere cadangan

Peralatan yang sebaiknya dibawa:

☐ Tas cadangan
☐ Kantong tidur
☐ Handphone cadangan untuk SIM Card lain
☐ Laptop dan charger
☐ USB Memory stick
☐ Alat dokumentasi (kamera atau perekam video)
☐ Kabel sambungan
☐ Radio VHF (Handy Talkie)
☐ GPS

Disusun oleh:
Avianto Amri
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia
08552106610

Praktik Konstruksi Developer Lokal di Sikka

Foto di bawah adalah ini adalah contoh bagaimana sebuah developer di Sikka membangun rumah. Untuk memahami makna dari foto ini, anda perlu menanyakan ini pada ahli struktur rumah. Tidak heran bilamana gempa datang, kualitas rumah seperti ini dapat runtuh dengan mudah.

DSC05695a
Document JAL – Suatu tempat di Kota Maumere [Di ambil September 2018]

DSC05697
Foto oleh JAL – Kualitas pengecoran di sebuah tempat yang dibangun oleh developer lokal di Sikka.

Transboundary Water Risk Governance Research of Talau – Loes Riverbasin: Call for PhD Applicant

 

Talau
Talau River [To the left is Timor Leste; to the right is West Timor, Indonesia]
PhD research at Charles Darwin University, Australia – [for potential PhD students from ADS/Endeavour/LPDP/BUDI]  [An Insights from CDU-Undana-UNTL Workshop on Timor Leste and Indonesia Transboundary Watershed Management]

Contact:  Dr. Jonatan A. Lassa [jonatan.lassa@cdu.edu.au] 

[Note Contact me if you are interested!]

Background: A note from the Field

“Twenty five years ago, we used this irrigation channel. But it is now too high for the water to come in. So a few years ago the government of Timor Leste built this new channel.” Said Jose (not a real name) a gentlemen who have been living in Bobonaro since his childhood. Mr Jose is about in his +40s but looks older than his age and he has been witnessing changes in the river flow. The difference of ground elevation between the old and new primary irrigation channel is about +2m [See Picture taken at the bottom].[1]

Standing from the Timor Leste side, we saw the other side of the river – a village in Lamaknen, Indonesia – where we could see gabion structure built to either stabilise the slope or to protect the irrigation channel protection. The two countries with shared border and culture but each would have different solutions to water problems.

Our visit was part of sense making experience of the real world problem – part of the international workshop on Food Security and Integrated Watershed Management at the shared border of Indonesia and Democratic Republic of Timor-Leste Cross-border held in Atambua 25-27 April, 2018.

The field visit allowed us to think about how we link climatic change and risk, water management, food security, droughts and resilience together in the context of the story above? But everybody might agree that to solve water use problem in transboundary settings such as Loes-Talau river basins, it took three countries to sit and talk for sustainable solution. At least 60 people attended the workshops – they come from national ministries, provincial agencies, and universities from Indonesia, Timor Leste and Australia. Disciplinary background of the participants also varies (+20 disciplinary backgrounds).

Interestingly, the workshop, as the first step towards developing a cross-border watershed research and implementation framework – aimed at the following outcomes:

  • Demonstrate political consensus for and begin formal development of a long-term collaborative research and implementation program addressing food security, livelihood and prioritized integrated watershed management issues in the Talau – Loes watershed
  • Identify and agree on core research and knowledge gaps
  • Identify a short-list of prioritized applied research and implementation tasks, and synergies with pro­spective research and funding partners

 Potential PhD Project

The insights from the sense making exercise were beyond natural science interests (e.g. mapping river budget, mapping sediment transports, forest and vegetation covers or flood /drought hazard mappings). The field visit arrangement for one of the groups required diplomatic solution. The result was fantastic as our groups were allowed to cross-border without strict immigration procedures and controls.

One potential agenda can be from interdisciplinary social science (linking political science, International Relation, disaster studies, anthropology and development studies) with a focus on the following topics:

  • Literature review – what types of questions being asked in the previous studies? Systematic review of published work on existing transboundary water governance in other settings: from Central Asia, Mekong River Commission, and Nile River (Ethiopia and Egypt) could be also useful.
  • Potential institutional and governance scenario in the future: What kind of institutional architecture is needed to solve the transboundary water problems (e.g. Dore et. al. 2012) ? [Baseline studies needed: understanding comparative institutional landscape and arrangement between TL/Indonesia on food-water and risk governance. This includes understanding decision making and policy landscape in TL/Indonesia.
  • What are the national interest of Indonesia and Timor Leste in the Transboundary arrangement of Loes-Talau? (e.g. Hirsch et. al. 2006).
  • Understanding conflict and cooperation in transboundary river of Talau – Loes (e.g. Zeitoun and Mirumachi 2008 and Zeitoun et. al. 2011).
  • A historical institutionalism approach to understanding water use in Talau Loes during past and present and the future (e.g. before 1975, during 1975-1999, today and the future)

 

Transdisciplinary vision: Do we need different way of doing research?

There are many problems in the world that could not be solved using single disciplinary lenses. In today’s rising complexity and interdependency of the world, projects on social and policy change are no longer a simple endeavor. Water problem and food insecurity have becoming interdisciplinary problem as their solution required interdisciplinary understanding of realities. The Nicolescu’s 1996 Manifesto of Transdisciplinarity called for ‘‘New Vision of the World’’ with three pillars of transdisciplinarity: complexity, multiple levels of reality or multidimensionality and the logic of the included middle (Klein 2004).

The workshop in Atambua set the stage where policy makers, practitioners and academics can suggests future research questions. There have been productive exchanges between different communities of practice as well as academic. The workshop satisfies the transdisciplinary research criteria because different academic disciplines working jointly with different stakeholders including government officials and NGO practitioners to solve a real-world problem (Klein et. al. 2001).

Conclusion and update!

We need at least one PhD to work on one of the issue above. I am welcoming ADS/Endeavour/LPDP/BUDI applicants who might be interested in the project.

Hopefully we can get one for this.

Reference

Dore, J., Lebel, L. and Molle, F. 2012. A framework for analysing transboundary water governance complexes, illustrated in the Mekong Region. Journal of Hydrology 466–467:23-36.

Hirsch, P Jensen, KM Boer, BW Carrard, NR Fitzgerald, SA Lyster, R. 2006.  National Interests and  Transboundary Water Governance  in the Mekong. Australian Mekong Resource Centre, School of Geosciences, U. of Sydney in collaboration with Danida. http://hdl.handle.net/10453/37620

Klein, J.T., Grossenbacher-Mansuy, W., Häberli, R., Bill, A., Scholz, R.W., and Welti, M.: 2001, Transdisciplinarity: Joint Problem Solving among Science. An Effective Way for Managing Complexity, Birkhäuser Verlag, Basel, 332pp.

Klein, J.T.: 2004, Prospects for transdisciplinarity, Futures 36, 515–526.

Paisley, RK. and Henshaw, TW. 2013. Transboundary governance of the Nile River Basin: Past, present and future. Environmental Development 7:59-71.

Zeitoun, M. and Mirumachi, N. 2008. Transboundary water interaction I: reconsidering conflict and cooperation. International Environmental  Agreements. 8:297–316

Zeitoun, M., Mirumachi, N., and Warner,J.  2008 Transboundary water interaction II: the influence of ‘soft’power. International Environmental Agreements. 11(2):159-178.

 

Annex 1. The International Workshop in Atambua

The workshop held by Con­sortium for Sustainable Dryland Agriculture in Atambua on 25-27 April was funded by DFAT Australia via Charles Darwin University.

The dryland consortium was historically initiated by UNDANA-CDU-UNTL with initial funds generously supported by the Indone­sian Ministry of Research, Technology and Higher Education, Universitas Nusa Cendana (UNDANA), Kupang, East Nusa Tenggara Province, established a Con­sortium for Sustainable Dryland Agriculture on behalf of other regional Indo­nesian (Universitas Mataram of West Nusa Tenggara Province, and Universitas Halu Oleo of South East Sulawesi), Universidade Nacional Timor Lorosae of Dili, Democratic Republic of Timor-Leste (DRTL), and Charles Darwin University of Darwin, Australia.

One of the rational of the consortium is to address challenges such as climatic risks that impact food and water security in Timor-Leste, eastern Indonesia, and northern Australia as they all share geographic borders and many issues in common, including major economic and social challenges associated with living in a seasonally arid climate.  Location of Field visit on 26 April 2016 in Tonabibie, Bobonaro, Timor Leste

Detail contacts:

Jonatan Lassa, Ph.D.
Senior Lecturer & Unit Coordinator DEM511, DEM513 & DEM514

Humanitarian, Emergency and Disaster Management Studies
College of Indigenous Futures, Arts and Society
CHARLES DARWIN UNIVERSITY
Building: Yellow 1.2.58, Casuarina Campus 
Darwin, Northern Territory 0909, AUSTRALIA

+61 8 8946 6756| M. +61 466 880 630 | F. +61 8 8946 6712
E mail: 
jonatan.lassa@cdu.edu.au  |  Web: www.cdu.edu.au 

Links to list of publication and cv:
www.indosasters.org 
orcid.org/0000-0002-8432-842X 

 

[1] Based on Google maps, the location of the irrigation channel is slightly on Indonesia side. This is also proven by the constructed benchmark by both GoI and GoTL. Dynamic nature of many transboundary rivers in Timor Island make it difficult to have a fixed boundary from year to year.

Documented Floods in Toineke From 1940s – 2016

Lassa, J. Boli, Y., Nakmofa, Y., Ofong, A., Fanggidae, S. and Leonis, H. 2018. Twenty years of community-based disaster risk reduction experience from a dryland village in Indonesia. Journal of Disaster Studies (JAMBA) Vol xx Issue xx, page xx-xx

Supplemental Table Documented Floods in Toineke From 1940s – 2016.

Flood Timelines Type of event Remarks

[impacts]

1948 Floods Flood inundation – 1 m height – Population was still small
1950 Floods No food problem –population was small
1967 Floods No food problem
13 Dec 1968 Floods Big floods but livestock not affected
1982 Floods Harvest failures as crops damages and swept by flood waters [PRA PMPB 2001]. First road construction and forest logging started in 1982.
1989 Floods Crops damaged and houses flooded [PRA PMPB 2001]. 1989 marked the end of the forest logging as deforestation heavily destroy Aisio Forest.
1999 Floods Secondary hazards such as diarrhoea and cholera occurred [PRA PMPB 2001]
2000 [16 May] Flash floods Some houses collapsed; Almost all houses inundated. Secondary hazards such as diarrhoea and cholera occurred caused 22 death, mostly children [PMPB emergency assessment]
2001 Water inundation Houses inundated, lost crops and livestock
2002 Water inundation Houses inundated, lost crops and livestock
2003 [13 April] Floods Houses were inundated; 150 families evacuated to Aisio Forest, bringing their small livestock.
2004 Floods and water inundation Houses inundated, lost crops and livestock
2008 Floods Houses inundated, damaged crops
31 Dec 2011 Floods 274 households were affected: Houses inundated, damaged crops
2012 [Feb-March] Floods inundation Books in school were swept away
2012 [10-11 Mar] Flood inundation Floods 2 people death. Most houses affected and some damaged [Source: Suara Pembaruan 2012; Tusalakh 2012]
2013 [28 Feb] Floods Houses and crops inundated [Tempo 2013]
2013 [20 June] Floods Houses partially inundated, damaged crops SM and Online Media;

Books in school were swept away; People were evacuated to safe zones [Pos Kupang 2013]

2013 [23 November] Floods “One day rain and Toineke is flooded” Samadara 2013
2016 [28 Feb] Floods Widespread inundation in houses; No car could pass the village temporarily [Nenohai 2016; Boimau 2016; Pos Kupang 2016b]
2016 [12 May] Floods Flood is back and many houses inundated [Pos Kupang 201a]
2016 [26-28 May] Floods Many houses inundated [Pos Kupang 2016]

Source: PMPB 2002, 2007, internal trip reports from Pikul Foundation during 2002-2004, Alamahani and Pelokilla 2010, various media and social media reports.

 

Disaster Governance

Recent use of the term “disaster governance” has been simply meant ‘disaster management’. When i started my PhD on #disastergovernance back in 2007, no one defined what the term really meant. This led me to wrote an entry to an encyclopedia in 2010 [See disaster governance at Sage] as well as my PhD in 2011 [#disastergovernance]

In August 2007, Google hints were only 10 [See picture below] Some of the early documents using this term include UNDP’s Report 2004 [Reducing Disaster Risk, A Challenge for Development] and Dr Thea Hilhorst (Wageningen University). But the earliest should be dedicated to Peter J May. May’s work [see Environmental Management and Governance: Intergovernmental Approaches to Hazards and Sustainability (London and New York: Routledge Press, 1996].

disaster governance
Google Search on Disaster Governance 2007-2010

A critical reflection on “running to higher ground” narrative!  Myth and Reality in Tsunami Warning and Response

Screen Shot 2017-08-20 at 9.31.39 PM

This paper critically reflects the transferability of local knowledge adoption to foreign lands and/or by other peoples. It also challenges the universal construction of and acceptance of “going to the higher ground” to save lives to avoid tsunamis hitting the shore. Scientists and practitioners of tsunami preparedness and disaster management often promote the idea of “running to the higher ground” when the physical and biological indicators of tsunami appear at beaches. Many peer-reviewed and grey literature has discussed the role of local knowledge (LK) of indigenous tsunami warning systems that saved lives across the Indian Ocean from Simelue Island of Aceh. In Simelue Island, ‘only’ seven lives were lost as the people went to higher ground.

This research argues that the indigenous Smong (tsunamis) warning systems informed by TK in Semelue Island could still save the lives of the people on the island in future tsunami events. However, a critical analysis of the real merit of the LK in the context of Simelue Island needs to be made in order to be meaningful for the locals to deal with future tsunami risks. Informed by some observation from East Flores, several people who evacuated themselves to the nearby hills got killed and buried by landslides as soon after the 1992 Flores Earthquakes. This paper challenges the universal belief that “running to the higher ground” could save lives.