
Oleh: Dominggus Elcid Li*
Ketika rakyat berharap ada langkah terobosan yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi krisis yang mulai terasa dalam menghadapi pandemi Covid-19, hal pertama yang diberikan oleh pemerintah adalah memberikan jargon baru: New Normal. Kondisi ini khas sekali terjadi di Indonesia dalam sekian puluh tahun.
Ketika berhadapan dengan krisis perang dingin dan ketidakmampuan elit duduk bersama memecahkan persoalan bangsa, hal pertama yang dipikirkan Soeharto dan kawan-kawan adalah bikin kata baru: Orde Baru. Bahwa isinya kadaluwarsa atau tidak, itu tidak penting. (Ya, bukan cuma itu dibikin juga bahasa gaya baru: EYD. Bahwa itu sempurna menurut siapa, kita juga diam. Bahwa itu adalah bagian dari ‘politik bahasa rezim’, kita juga terlalu penurut untuk kritis.)
Hal serupa kembali terjadi ketika Indonesia dihantam badai krisis finansial, penyakit tua, dan berhadapan dengan marahnya anak muda, maka elit pengrajin kata-kata menghasilkan kata baru: reformasi. Jika orang bertanya apanya yang ‘direformasi’? Maka semua ramai-ramai mulai bersuara menyerupai tawon. Suaranya ribut dan bulat.
Kurang lebih 20 tahun kemudian, kata ‘reformasi’ jarang mau dipakai ulang dalam perbincangan lagi. Orang tahu bahwa kata-kata ini tidak berarti apa-apa. Kata ini lebih menyerupai penanda perampokan besar-besaran yang dilakukan secara legal untuk sesuatu yang seharusnya dijaga. Tapi, sudah lah, orang juga sudah merasa lebih baik dengan menyatakan ekspresi dengan ‘kata baru’.
Apakah kita belajar dari kelakuan yang sama setiap berhadapan dengan krisis? Pandemi yang menghantam Indonesia dan membuka selubung ketidakmampuan sistem maupun struktur untuk berhadapan dengan model perang baru di era bio security, hanya dijawab dengan kata-kata baru: “New Normal”. (Para oposisi karbitan juga tidak lebih kritis, mereka datang dengan jargon baru: Presiden Baru. Embrio akademisi juga sama, cuma jadi bebek. Aktivis bagaimana? Ya hanya bisa halusinasi ‘orde baru kembali’.)
Jadi jawaban atas pertanyaan di paragraf di atas adalah: tidak. Kita tidak belajar. Ketika ‘elit teknologi’ dunia bergerak berpindah menamai 2019-nCoV menjadi SARS-CoV-2, hal terbaik yang bisa dilakukan di Indonesia malah menyediakan pabrik kata-kata, menyediakan dana sebesar 72 Milyar rupiah untuk buzzer.
Kecenderungan orang Indonesia untuk berhalusinasi dalam dunia virtual memang mengkhawatirkan. Jika kaum setengah melek, sibuk nonton video konspirasi kelas youtubers, maka untuk kaum hawa maupun kaum adam yang senang melodrama, era pandemi disuguhi dengan ‘drama korea’. Sedangkan pemerintahnya, tetap tidak belajar. ‘Sindrom 72 M’ ini kembali dalam wajah lain ‘New Normal’.
Tetapi bukankah sekarang ini rakyat kita sudah sangat menderita sehingga pemulihan ekonomi harus dilakukan segera? Jujur saya bingung dengan pertanyaan ini. Di satu sisi kondisi rakyat begitu sulit, ada yang sudah mulai mengurangi frekuensi makan. Ada lagi yang telah mengirimkan anak-istri pulang kampung, dan bertarung sendiri di kota. Tetapi, fakta yang menyatakan pemerintah bekerja terbaik memikirkan mereka yang paling lemah itu juga menjauh.
Di level pemerintah kota, hal utama yang paling dikhawatirkan adalah PAD (Pendapatan Asli Daerah) berkurang drastis. Ini yang membuat alokasi dana Covid-19 yang diteriakan oleh pemerintah dari sekian level sejak Maret, seperti sedang ‘break dance’ leher patah. Jumlahnya besar, tapi tidak terasa, dan tidak tampak. Lalu muncul lah ide, semakin cepat ‘memasuki’ era ‘New Normal’ semakin PAD bisa diselamatkan, semakin ekonomi bisa bergerak. Ini juga halusinasi.
Setelah Jakarta, Surabaya berhadapan dengan kesalahan logika yang sama. Sejak kapan rokok menjadi industri esensial?
Cluster rokok mengubah peta Surabaya, menjadi merah kehitam-hitaman. Lebih buruk lagi koordinasi di level pemerintah provinsi dan kota juga tidak padu. Jika di Surabaya yang satu pulau saja demikan, bisa dibayangkan untuk kondisi koordinasi untuk kepulauan NTT.
Di NTT, para birokratnya mirip robot koin. Ketika koin masuk, ke kepala maka robot kucing pun bergerak maju, mundur dengan kata ‘New normal, new normal, new normal…’ Selanjutnya kita sudah paham, Sindrom 72 M berjalan cepat. Kali ini para pemimpinnya mulai bergerak membentuk panitia di setiap skala, lalu satu sama lain rajin google dan copy-paste bikin protokol.
Tapi, bukankah orang butuh panduan? Iya panduan jelas harus seperti pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak fisik. Masalahnya, kita yang ‘bangsa Indonesia’ 267,7 lebih juta ini apakah hanya mampu menghasilkan protokol, dan tidak mampu menghasilkan lompatan untuk keluar dari krisis akibat pandemi ini?
“Kamu ngomongnya jangan muter!”
‘Bukan muter atau taputar (dalam Bahasa Kupang), tetapi pakai pikiran, kepala dipakai, naluri hidup dipakai.’
Virus ini varian terbaru yang dikenal di dunia mikrobiologi. Tetapi, berapa banyak kaum ilmuwan mikrobiologi, para dokter patologi klinis, pakar biomolekuler, epedemiolog yang diajak duduk, dibuatkan tim khusus, diberikan dana cukup, dan biarkan mereka memberikan rekomendasi? Yang ada, mereka yang punya mata ilmu untuk melihat ini, hanya dijadikan bawahan kaum kapitalis birokrat. Ya, dipakai jika dibutuhkan untuk jadi figuran, tetapi tidak dipakai untuk membantu untuk memahami persoalan ini dengan sebaik mungkin, dan diajak membuat lompatan jalan keluar.
Tiga bulan awal pandemi, terhitung sejak awal Maret, para pejabat benar-benar ‘diospek’ untuk menjadi pelayan rakyat (Cilvil Servant). Yang paling lelah adalah mereka yang bekerja di sektor kesehatan dan keamanan. Ini lah dua elemen esensial, selain logistik, yang mulai ada di titik jenuh. Kelelahan mereka adalah hal terbaik dari kemanusiaan dan patriotisme yang menolak untuk takluk.
Lantas bagaiamana di level elit? Apakah mereka itu mikir? Apakah mereka itu berbuat yang terbaik? Berapa lama kalkulasi mereka kita ada dalam situasi Perang Covid-19?
“Coba ulang pertanyaan terakhir Tong, ‘perang’ katamu, yang benar itu ini dianggap libur panjang, pikirannya ya libur.”
Ya, sudah Tong saya tahu kamu kecewa, dan alasanmu juga valid. Bagaimana mungkin berhadapan dengan Perang Covid-19, kalian maju tanpa komando dan koordinasi? Bahkan anggaran Covid-19, tidak mengenal prioritas kedaruratan? Orang di Tiongkok bikin rumah sakit dalam seminggu, di sini nyaris tiga bulan proposal pool test atau test massal dengan menggunakan qPCR baru sampai pada tahap ‘terdengar’.
Kemarin siang (4 Juni 2020) di RRI (Radio Republik Indonesia) siaran pusat saya mendengar Presiden Jokowi menargetkan 10 ribu tes, dan akan menargetkan 20 ribu tes. Bahkan kata wartawan RRI ’10 ribu tes itu walaupun pernah mencapai target, masih berjalan naik turun, kadang mencapai, kadang tidak’.
Dalam hati saya menangis. Presidenku, kenapa dirimu tidak didampingi oleh pemikir terbaik? Dan kau dipermalukan sedemikian rupa. Bangsa kita dipermalukan sedemikian dalam. Mengapa kalian biarkan simbol negara kita dijadikan lelucon?
Dengan satu mesin qPCR, dengan menggunakan 1 regen, anda bisa melakukan test swab massal. Tinggal pilih angka yang harus disesuaikan rentangnya 30, 40, 50, 100. Artinya apa? Jika dengan menggunakan mesin qPCR kita sedang bermain di level kelipatan. Artinya 10 ribu tadi dikali 30, dikali, 40, dan dikali 50, bahkan 100. Kuncinya PCR “yang diadakan” bukan hanya PCR klinis, yang hanya bisa periksa otomatis 1 swab=1 regen. Tetapi gunakan qPCR, biarkan tangan-tangan laboran para ahli biomolekuler terlibat bisa mengerjakan apa yang mereka biasa mereka kerjakan.
Artinya jika para ahli biomolekuler dilibatkan maka 10 ribu tadi bisa mencapai angka 100.000 dalam kecepatan yang sama seperti saat ini. Artinya dalam sepuluh hari kita bisa tes 1 juta orang. Artinya apa? Artinya New Normal itu itu bukan cuma di level jargon Pak! Kita bisa lebih cepat lagi jika menggunakan air ludah untuk tes, dan lebih murah.
Lalu PCR klinis yang sudah ada dibuang? Tidak juga, tetap dipakai, tetapi dilengkapi qPCR agar PCR tidak hanya dipakai sebagai alat uji klinis—seperti yang sudah ada, tetapi alat surveillance! (Argumentasi ini saya rekam dari seorang sahabat, seorang ahli biomolekuler yang berjibaku mencari jalan keluar dalam rimba birokrasi)
Lalu orang mengeluh, ekonomi kita harus maju, rakyat harus makan. Tetapi PR tidak dikerjakan. Bukankah yang sedang kalian lakukan ini adalah pembiaran? Bagaimana mungkin ‘New Normal’ dikampanyekan dengan harga 1,5 juta hingga 2,5 juta rupiah per 1 swab. Atau dengan 260 ribu per rapid tes yang berlaku hanya tiga hari? Mengapa jalan lain yang lebih murah dan massal tidak dikerjakan? Tes swab bisa turun ke level 30 ribu, bahkan 15 ribu, jika dilakukan massal. Selain lebih presisi, lebih murah. Pembatasan sekaligus pembukaan ruang terbatas akan mungkin dilakukan dengan lebih percaya diri.
Sadar atau tidak sadar dalam ‘perang biologi’ terkini qPCR adalah radar. Menolak untuk menggunakan radar, artinya membiarkan musuh masuk dan mengobrak-abrik tanpa ampun. Bahkan jika saat ini jika para pejabat masih menganggap situasi kita hanya sekedar ‘liburan panjang’, maka sesungguhnya kita sedang terlena dengan sekian kemungkinan jika perang itu berlangsung bertahun-tahun. Sejarah Spanish Flu, tidak perlu diuraikan di sini, buku PDF-nya bisa dibaca, jangan hanya di-share.
Jadi sosialisasi ‘New Normal’, tanpa lompatan teknologi tidak lebih dari mengulangi kesalahan yang sama. Rakyat sekedar tumbal, tanpa para elit berpikir dalam level terbaik untuk menjaga keselamatan bersama. Pun, menegasikan New Normal, tanpa mengerti akar persoalan juga tidak membawa kita kemana-mana.
Keselamatan dalam terminologi warga negara, selalu dimulai dari titik terlemah. Logika universal basic income, juga mulai dari ide dasar ini. New Normal bukan lah hukuman untuk rakyat jika para pemimpin sudah menghitung dampaknya untuk mereka yang paling lemah. Hanya dengan tanggungjawab ini lah anda layak disebut pemimpin, dan bukan robot kucing.
Sayup-sayup terdengar suara elektronik “New normal, new normal, new normal….”
Semoga itu bukan panggilan kematian.
*Anggota Forum Academia NTT